Menuju konten utama

Kejanggalan Penangkapan Paksa Dua Mahasiswa di Surabaya oleh Polisi

Dua mahasiswa non Papua ditangkap paksa dan diperiksa. Padahal mereka berdua sama sekali tak terlibat rapat maupun perumusan tuntutan aksi 1 Desember mahasiswa Papua di Surabaya.

Kejanggalan Penangkapan Paksa Dua Mahasiswa di Surabaya oleh Polisi
233 massa AMP saat berada di Polrestabes Surabaya sesaat setelah penangkapan pada Minggu (2/12/2018) pukul 01.00. FOTO/Veronica Koman

tirto.id - Usai aksi damai memperingati 1 Desember 1961, Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya didatangi polisi, Minggu (2/12/2018) sekitar pukul 24.00. Pimpinan Polrestabes Surabaya memberi dua pilihan, semua mahasiswa Papua yang tak tinggal di Asrama keluar dari Surabaya atau dibawa ke kantornya.

Veronica Koman, advokat HAM dari Civil Liberty Defenders sibuk menjadi perantara negosiasi antara polisi dengan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).

Sedangkan Arifin Agung Nugroho (19 tahun) diajak Fachri Syahrazad (20 tahun) dan satu rekannya lagi ke Kantor LBH Surabaya. Mereka berencana akan berboncengan tiga untuk istirahat di sana.

Saat Fachri menancapkan kunci ke motornya, tiba-tiba lehernya dikalungi lengan polisi yang tak berseragam. Dua polisi lain, menarik-narik bajunya. Dia dibawa paksa ke Jalan Pacar Keling, sekitar 16 meter dari Asrama. Tempat itu remang dan sepi.

Mengetahui hal itu, Arifin dan rekannya lari ke dalam Asrama. Arifin mengadu ke Veronica.

Veronica bersama Arifin kembali ke pintu masuk Asrama. Veronica memprotes mengapa ada mahasiswa non Papua yang diseret. Setelah itu dia melanjutkan negosiasi dengan polisi terkait, 233 mahasiswa asli papua yang akan dibawa ke Polrestabes Surabaya.

Tak lama Veronica masuk ke dalam Asrama, menyampaikan hasil perundingan dengan polisi kepada para aktivis AMP.

Sedangkan Arifin tetap bertahan di pintu masuk Asrama. Dia sendirian. Dia menjadi korban penangkapan paksa yang kedua setelah Fachri.

“Sekitar pukul satu [dini hari], aku diseret dua orang enggak pakai pakaian polisi, itu intel. Jaketku juga ditarik,” kata Arifin kepada reporter Tirto, Senin (3/12/2018).

Diintimidasi

Di Jalan Pacar Keling, sekitar 16 meter dari Asrama, salah satu polisi itu meminta Arifin menunjukkan kartu identitas. Pipinya berulangkali ditampar.

“Kamu ngapain ikut-ikutan kayak gini. Kamu bukan orang Papua. Kamu penghianat!” kata Arifin menirukan intimidasi seorang polisi yang memeriksanya.

Lalu dia dibawa mendekat ke mobil Toyota Innova bewarna hitam yang jaraknya sekitar sepuluh meter. Kaca mobil itu gelap, tak terlihat dari luar. Setelah pintu dibuka, Arifin kaget, ternyata Fachri sidah ada di dalam mobil.

“Rantai kacamataku putus itu waktu ditampar,” lanjut Arifin. “Waktu mau dinaikkan ke mobil itu intelnya banyak banget, ada sekitar 10. Itu ada yang dorong, nampar, narik.”

Di dalam mobil, kedua mahasiswa itu ditanyai, mengapa ikut aksi peringatan 1 Desember, apa yang dilakukan keduanya di dalam asrama. Polisi juga menanyakan terkait dua buku yang dibawa Arifin, soal apa isinya dan dari mana mendapatkannya.

Arifin sendirian di jok paling belakang. Fachri di tengah, diapit dua polisi. Pengemudi mobil itu diduga Kanit Resmob Polrestabes Surabaya Iptu Bima Sakti.

Barang bawaan mereka mulai dari gawai, tas, dompet, hingga buku disita polisi. Mereka sempat meminta untuk menghubungi pengacara atau pendamping hukum, keluarga, dan rekannya tapi tak diperbolehkan oleh polisi.

Mereka berdua dibawa ke Ruang Reserse Kriminal (Reskrim) Polrestabes Surabaya, sampai sekitar pukul 01.30, Minggu (3/12/2018). Di ruangan itu, jarak Arifin dengan Fachri hanya sekitar tujuh meter.

Samar-samar mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa) itu mendengar Fachri tengah ditanyai dua orang. Arifin yang tak ditanyai apapun akhirnya memutuskan untuk tidur di lantai.

Sedangkan Fachri masih duduk di lantai. Saat itu Bima Sakti duduk di sofa sembari melemparkan berbagai pertanyaan padanya. Topiknya seputar perbincangan di grup aplikasi WhatsApp Fachri, jaringan organisasinya, mengapa dia datang ke Asrama, dan sebagainya.

Saat itu beberapa kali rekannya menghubungi Fachri melalui gawai. Tapi polisi menolak panggilan telepon itu.

Deretan pertanyaan itu dijawab Fachri tanpa ditulis atau direkam oleh Bima Sakti. Sekitar pukul tiga pagi, Bima Sakti keluar ruangan. Kemudian giliran seorang polisi piket, bertanya pada Fachri hingga sekitar pukul 04.30.

Diancam Pasal Makar dan Penghasutan

Arifin dan Fachri dibangunkan sekitar pukul 08.00. Seorang polisi meminta keduanya masuk ke dalam ruangan khusus interogasi.

Mereka berdua akan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Awalnya Arifin menolak.

“Aku belum hubungi keluarga dan pendamping hukum. Mereka bilang nanti dikasih kesempatan,” kata Arifin yang akhirnya terpaksa menjawab pertanyaan untuk BAP.

Arifin diinterogasi seputar mengapa dia ikut aksi damai 1 Desember, mengapa ada di Asrama, apa tuntutan aksi, dan sebagainya lebih dari 20 pertanyaan. Tak satupun pertanyaan terkait strategi demo itu.

Mahasiswa yang kerap ikut Aksi Kamisan di Solo tak mungkin bisa menjawab dengan terang. Dia datang dari Solo langsung ke Monumen Kapal Selam, Surabaya. Di situ dia langsung bergabung dengan barisan massa 1 Desember yang dominan mahasiswa asli Papua.

Dia tak pernah mengikuti rapat terkait aksi itu sama sekali. Alasan ia ikut hanya karena rekan dekatnya di kampus banyak yang asli Papua dan terlibat dalam aksi itu.

Namun Arifin diancam dengan Pasal 160 KUHP. Dia diduga melakukan penghasutan menggunakan media peraga. Hukumannya pidana penjara paling lama enam tahun.

Penyebabnya, Arifin membawa kenang-kenangan dari rekannya yaitu, ikat kepala berlambang bintang kejora dan stiker AMP.

Interogasi berlangsung hingga sekitar pukul 13.00. Arifin diminta untuk sarapan. Giliran Fachri yang dihujani sekitar 12 pertanyaan yang nyaris sama dengan Arifin.

Fachri pun tak bisa menjawab dengan detail. Malam sebelum ditangkap paksa, dia baru datang ke Asrama. Jangankan rapat, aksi 1 Desember pun dia tidak ikut.

Akan tetapi anggota Front Mahasiswa Nasional (FMN) Surabaya itu diancam Pasal 106 KUHP. Delik itu terkait dengan melakukan tindakan makar. Ancaman hukumannya penjara seumur hidup atau 20 tahun.

Padahal mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu sudah dengan tegas menjelaskan, ia tak pernah mau ikut campur terkait Papua harus merdeka dengan referendum atau cara apapun. Dia hanya tertarik untuk datang ke Asrama karena ingin memperluas wacana dan tertarik pada isu HAM.

Sekitar pukul 16.00, Kanit Resmob Polrestabes Surabaya Iptu Bima Sakti masuk ke dalam ruangan interogasi. Dia memerintahkan anggotanya untuk membuat surat untuk melepas Arifin dan Fachri.

“Jadi benar-benar semua orang enggak tahu kalau aku ada di dalam situ [Ruang Reskrim Polrestabes Surabaya],” kata Arifin.

Arifin dijemput oleh Veronica Koman. Sedangkan Fachri didatangi kedua orang tuanya. Mereka berlima diminta foto bersama lalu diperbolehkan pulang, sekitar pukul 17.00.

Di sela BAP terhadap Arifin, sekitar pukul 10 pagi, Veronica bertanya pada Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Rudi Setiawan, terkait di mana keberadaan Fachri Arifin dan Fachri yang kabarnya diseret anggota polisi.

Menurut Veronica, saat itu Rudi menjawab baru mendengar informasi itu dan akan cek kebenarannya. Jawaban itu disampaikan Rudi di samping Wakapolda Jatim Brigjen Pol Widodo Prihartopo.

Maka dari itu, ketika menjemput Arifin dan Fachri, amarah Veronica meluap. Sebab sebelumnya Rudi dan Widodo meyakinkan Veronica, untuk saling percaya agar proses penanganan 233 mahasiswa Papua berjalan lancar.

“Jadi saya merasa dikhianati. Saya kira kami memang sudah saling percaya dalam hal koordinasi. Saya sampaikan saya merasa sangat tersinggung karena semua kan sudah tahu saya pendamping hukumnya,” ujar Veronica kepada reporter Tirto.

“Tapi kenapa ada dua orang tercecer yang sudah saya tanyakan pula, disembunyikan tidak diberitahukan kepada saya,” imbuhnya.

Kabar Membingungkan dari Polisi

Humas Polrestabes Surabaya mengunggah foto Arifin dan Fachri melalui akun Instagram, Minggu (2/12/2018) pukul 15.46. Mereka menegaskan bahwa informasi terkait penangkapan dua mahasiswa itu hoaks.

Padahal saat itu Arifin dan Fachri masih di dalam Ruang Reskrim Polrestabes Surabaya.

Kemudian pukul 17.52, reporter Tirto menghubungi Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Frans Barung Mangera. Saat dikonfirmasi terkait keberadaan dua mahasiswa itu, Frans malah meradang.

Dia malah menuding Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya menyebar hoaks terkait, Arifin dan Fachri hilang.

"Kontras ini sudah membuat hoaks. Tahu enggak hoaks? Sehingga rilis itu berasal dari Kontras yang bikin hoaks masyarakat Jatim tentang dua mahasiswa yang hilang. Nah Polisi mengatakan kontras yang membuat hoaks. Tulis besar-besar itu Kontras membuat hoaks," ujar Frans.

Setelahnya Frans menjelaskan, dua mahasiswa itu sudah dikembalikan ke orang tuanya. Dia juga mengonfirmasi bahwa keduanya bukan mahasiswa asli Papua. Namun ia tidak menjelaskan di mana anak itu sebelum dipulangkan.

"Siang tadi [Arifin dan Fachri] sudah di rumahnya," kata Frans. Padahal keduanya baru dibebaskan dari Polrestabes Surabaya, sore hari sekitar pukul 17.00.

Saat dikonfirmasi, Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya Fatkhul Khoir menegaskan tak pernah membuat rilis yang menyatakan dua mahasiswa itu hilang. Khoir menjelaskan, sejauh ini rilis yang dia keluarkan hanya terkait persekusi, intimidasi, dan pembubaran paksa terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

Tak lama setelah itu, Frans mengadakan jumpa pers di Mapolda Jatim. Media daring Detik memberitakan isi pertemuan itu pada pukul 20.59. Isinya Frans mengakui dua mahasiswa itu ada di Polrestabes Surabaya.

Namun kebingungan muncul ketika Frans menegaskan Arifin dan Fachri tidak menghilang tapi menghilangkan diri.

"Menghilangkan diri dengan maksud supaya membentuk opini bahwa pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini aparatur yang menangani kejadian kemarin ini melakukan hal-hal yang tidak terpuji, padahal mereka menghilangkan diri," kata Frans dikutip dari Detik.

Kemudian reporter Tirto menanyakan kembali kepada Frans. Bagaimana bisa dua mahasiswa itu dikabarkan menghilang, namun sore harinya diketahui keluar dari Polrestabes Surabaya?

Akan tetapi Frans kembali menyalahkan Kontras Surabaya. “Begini. Yang melakukan konferensi pers dengan suratnya adalah Kontras. Maka saya menyatakan bahwa mahasiswa itu mungkin melarikan diri atau menghilangkan diri. Catat itu,” ujar Frans, Senin (3/12/2018).

Frans menjelaskan, awalnya dia tahu yang dibawa ke Polrestabes Surabaya adalah 233 mahasiswa asli Papua. Kemudian setelah dia selidiki, ada dua mahasiswa nonPapua di situ.

Saat ditegaskan Kontras Surabaya tak pernah mengeluarkan rilis itu, Frans menjawab, “Suratnya ada itu. Hari ini dia rilis lagi kebohongan-kebohongan publik yang dia rilis. Saya kasih rilisnya ya. Kamu WhatsApp aja.”

Hingga tulisan ini diunggah, Frans tak pernah mengirimkan rilis yang dia maksud dari Kontras Surabaya itu kepada reporter kami.

Di sisi lain, reporter kami juga menghubungi Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Rudi Setiawan. Dia menegaskan bahwa anggotanya tidak pernah melakukan penangkapan terhadap Arifin dan Fachri.

“Siapa yang nangkap? Tidak ada penangkapan. Itu istilah mereka,” katanya singkat lalu memblokir nomor WhatsApp reporter Tirto, Senin (3/12/2018).

Kami juga menghubungi Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Sudamiran, Senin (3/12/2018). Dia menegaskan tak ada penahanan dan penangkapan paksa terhadap Arifin dan Fachri.

Namun saat ditanya apa benar dua mahasiswa itu sempat diperiksa Polrestabes Surabaya, Sudamiran menjawab, “Tidak ada, hanya tanya-tanya saja.”

Padahal sebelum dibebaskan, dilakukan BAP terhadap Arifin dan Fachri. Bahkan masing-masing dari mereka berdua diancam Pasal 160 dan 106 KUHP. Pasal tersebut tercantum dalam BAP yang mereka tanda tangani.

“Sekarang boleh dicek ke yang bersangkutan, diapain dia sama polisi,” imbuh Sudamiran.

Tentu jauh sebelum Sudamiran memintanya, kami sudah meminta penjelasan detail dari Arifin, Fachri, dan beberapa narasumber lainnya.

Polisi Tak Patuh Prosedur Hukum?

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menegaskan prosedur penangkapan terhadap Arifin dan Fachri tak sesuai prosedur KUHAP. Hal tersebut terkait polisi yang menolak permintaan kedua mahasiswa itu untuk menghubungi pengacara atau pendamping hukum.

"Pemeriksaan itu tidak boleh dilakukan kalau sejak awal mereka [Arifin dan Fachri] sudah minta didampingi. Jadi ketika pemeriksaan itu tetap dilakukan maka proses pemeriksaan itu batal demi hukum. BAP batal demi hukum, proses pemeriksaan cacat hukum," terangnya pada reporter Tirto.

Anggara menjelaskan, pemeriksaan terhadap seseorang harus memenuhi aspek formil dan materiil. Harus sesuai dengan tata cara yang diminta oleh undang-undang. Maka dari itu, ketika orang tersebut meminta bantuan hukum, pemeriksaan harus segera dihentikan sampai pengacara hadir.

Selain itu, menurut Anggara, sepanjang proses penangkapan, seseorang yang diduga melakukan tindak kejahatan, tidak boleh disiksa. Hak mereka harus tetap dipenuhi sebab dijamin oleh KUHAP.

"Ketika semua proses itu tidak dipenuhi, hubungan ke penasihat hukum dibatasi bahkan diabaikan, atau merasa hak-haknya diabaikan, di situ letak pelanggaran hukum itu terjadi. Jadi, tidak boleh sama sekali orang itu ditangkap tanpa orang lain mengetahui keberadaannya," jelasnya.

Hal serupa diungkapkan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara. Polisi harus menjamin agar Arifin dan Fachri diperlukan dengan adil, dilindungi, dan haknya dipenuhi.

“Mereka juga berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. Dari proses penangkapan sampai dengan proses BAP segala macamnya, sehingga hak-hak mereka yang dilindungi oleh hukum juga terjamin,” kata Beka kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PENANGKAPAN AKTIVIS atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Tony Firman, Felix Nathaniel & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana