tirto.id - “Papua?”
“Merdeka!”
Pekikan itu terdengar berulangkali di depan Gedung RRI Jalan Pemuda, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (1/12/2018). Suara dari orator di atas mobil komando itu, disahuti secara serentak oleh sekitar 150 orang demonstran dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
Para demonstran itu menggelar aksi rutin 1 Desember. Tujuannya untuk memperingati 57 tahun kemerdekaan Papua dari penjajahan Belanda, pada tahun 1961.
Dalam orasinya, massa aksi AMP se-Jawa dan Bali itu, menyerukan hak penentuan nasib sendiri bagi Papua untuk membentuk negara West Papua. Sebab selama ini bagi mereka pemerintah Indonesia, tak pernah peduli dengan pelanggaran HAM yang menjadikan orang asli Papua sebagai korban.
Tanggal 1 Desember 1961 merupakan momentum bersejarah bagi mereka. Dalam rilis yang mereka bagikan pada awak media, dijelaskan kemerdekaan Papua telah dianeksasi oleh Indonesia hingga kini, melalui kebijakan Trikora.
Setelah Trikora, dalam kurun waktu 1961-1991 terjadi 44 kali operasi militer dengan mobilisasi ribuan angkatan bersenjata ke Papua. Dampaknya lebih dari 500 ribu orang Papua mati dibunuh.
Proses pengintegrasian paksa Papua oleh Indonesia, melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dianggap dilakukan secara represif dan bertentangan dengan hukum Internasional. Dari 800 ribu orang Papua, hanya 1025 orang saja yang dilibatkan.
Yohanes Giyai, 25 tahun, selaku biro organisasi pusat AMP mengatakan, mereka memilih Kota Surabaya sebagai tempat penyampaian aspirasi karena dalam tujuh bulan terakhir, mahasiswa Papua kerap direpresi aparat negara dan Ormas di kota itu.
Bentuk represi itu, mulai dari pembubaran diskusi, pengintaian oleh aparat keamanan, hingga pemasangan spanduk penentangan.
Depan Gedung RRI sebenarnya bukanlah titik akhir tujuan massa AMP. Mereka awalnya akan berorasi di depan Gedung Grahadi, dekat Kantor Gubernur Jawa Timur. Mereka ingin menyampaikan aspirasi lewat mimbar bebasi di pusat pemerintahan provinsi tersebut.
Namun aparat kepolisian gabungan Polrestabes Surabaya dan Polda Jatim, mengadang massa yang baru berjalan sampai di depan Gedung RRI.
Massa AMP awalnya berkumpul di depan Monumen Kapal Selam sejak pukul enam pagi. Sebab surat pemberitahuan aksi yang mereka layangkan ke kepolisian, tertulis pukul 7 pagi.
Saat aksi dimulai, Veronica Koman, pengacara pendamping aksi AMP, mencoba bernegosiasi dengan Kasad Binmas Polrestabes Surabaya Kompol Moh Fathoni. Dia meminta agar massa aksi diizinkan mendekat ke Gedung Grahadi. Akan tetapi permintaan itu tidak dikabulkan.
Akhirnya massa AMP tetap melanjutkan aksi dengan berorasi diselingi yel-yel, nyanyian, musik dan tarian. Salah satunya lagu mereka, “Papua Bukan Merah Putih” dinyanyikan bebarengan dengan lantang.
“Papua bukan merah putih, Papua bintang kejora, bintang kejora, baru-baru kau bilang merah putih," nyanyi massa aksi dengan serempak dan berirama.
Dibalas Ujaran Kebencian & Tindak Kekerasan
Di sisi utara kerumunan massa AMP, sekitar pukul 07.00, segelintir anggota Ormas berseragam berdatangan. Mereka dari Himpunan Putra Putri Keluarga Angkatan Darat (Hipakad).
Salah seorang pria paruh baya anggota Hipakad, berkacak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepala saat melihat kelakuan massa AMP. Perlahan jumlah anggota Hipakad yang datang bertambah. Suasana menjadi semakin tegang.
Selain Hipakad, datang pula kelompok massa dari Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), Pemuda Pancasila (PP), hingga Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Mereka tergabung dalam Ormas Bela NKRI.
“Pengkhianat,” teriak salah satu anggota FKPPI sambil mengepalkan tangan ke atas. Dia membalas orasi AMP.
Dari semua Ormas, jumlah anggota PP yang paling banyak. Ketua Lembaga Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (LPPH) Pemuda Pancasila Surabaya, Rahmat Amrulah mengaku mendatangkan 300 orang anggotanya.
Sekitar pukul 7.50, seorang pria berseragam PP, mendatangi barisan massa aksi AMP menggunakan sepeda motor. Raut mukanya penuh amarah.
"Pengkhianat! Pengkhianat!" teriak anggota PP itu sambil menggeber-geber motor dua taknya. Moncong knalpot motornya diarahkan ke barisan massa AMP.
"NKRI Harga Mati!" pekik rekan-rekan anggota PP itu.
Lewat pukul delapan, massa ormas PP dan FKPPI datang bertambah dari sisi barat. Polisi dengan sigap membentuk barikade. Sebuah mobil water cannon sudah disiagakan. Beberapa personel polisi bersiaga menenteng senjata pelontar gas air mata.
Selanjutnya yang terjadi adalah kericuhan. Beberapa anggota Ormas bersikap reaktif menanggapi orasi-orasi AMP. Mereka berulangkali berusaha mendekat dan merusak ke barisan massa AMP.
"Mundur, mundur. Sabar, sabar jangan mudah terprovokasi," teriak salah satu personil polisi pada anggota Ormas itu.
Puncaknya, beberapa anggota Ormas, melemparkan puluhan bongkahan batu ke arah massa AMP. Sebagian ada yang memukulkan bambu ke barisan AMP.
Tindak kekerasan yang dilakukan anggota Ormas itu, mengakibatkan tiga kepala anggota AMP bocor. Sebagian lainnya mengalami luka ringan akibat pukulan tangan kosong dan bambu runcing.
Sekitar pukul 08.40, orator AMP mengakhiri aksi. "Terima kasih banyak bapak-bapak Ormas dan kepolisian. Aksi kami hari ini sudah selesai. Kami akan pulang ke Asrama [Mahasiswa Papua di] Kalasan," kata orator itu dari atas mobil komando.
Polisi kemudian mengawal kepulangan massa AMP. Pembukaan jalan oleh polisi sempat berjalan alot karena terhalang massa Ormas gabungan yang terus bersikap intimidatif.
“Usir, usir, usir Papua, usir Papua sekarang juga,” seru kelompok Ormas gabungan itu.
Saat massa AMP dalam perjalanan, orang-orang berseragam Ormas PP, meneriakinya. "Gak bisa pulang, gak bisa pulang, Papua anjing. Papua jancok!"
Tindakan Gabungan Ormas Melanggar Hukum
Ketua Lembaga Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (LPPH) Pemuda Pancasila Surabaya, Rahmat Amrulah mengakui anggotanya tak berhenti meluapkan amarah pada massa aksi AMP.
"Karena materi aksinya jelas-jelas separatis. Menghina negara, menghina ideologi Pancasila," kata Rahmat.
"Itu sebenarnya langsung bisa diringkus oleh kepolisian untuk diusut secara hukum. Nah ternyata ada pembiaran," imbuhnya.
Veronica Koman, pendamping hukum massa aksi AMP, masih menimbang untuk melaporkan tindak pidana kekerasan, intimidasi, dan ujaran kebencian yang dilakukan gabungan Ormas itu untuk dibawa ke ranah hukum.
Veronica menilai, tindakan gabungan Ormas itu makin membuat orang asli Papua tak simpati pada NKRI.
"Sebentar bilang NKRI sebentar bilang usir Papua. Jadi yang mana? Itu kan dua hal yang berbeda. Jadi pendekatannya salah," ujar Veronica.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Fatkhul Khoir menegaskan, kekerasan yang dilakukan beberapa anggota Ormas kepada massa AMP adalah tindakan melawan hukum.
"Kalau soal aksi tidak sepakat kan dia punya ruang untuk aksi tandingan. Yang namanya kekerasan tidak dibenarkan," ujar Fatkhul saat dihubungi reporter Tirto.
Kontras menilai, soal tudingan aksi AMP melanggar Undang-Undang atau tidak, perlu diperdebatkan ulang dan tidak bisa semata langsung dicap separatis.
"Itu kan bagian dari upaya kebebasan berekspresi menyampaikan pendapat situasi yang mereka alami. Menurut saya tidak melanggar undang-undang," pungkasnya.
Penulis: Tony Firman
Editor: Dieqy Hasbi Widhana