tirto.id - Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono merespons tudingan Pengacara Djoko Tjandra, Otto Hasibuan menyoal pengajuan peninjauan kembali (PK) nomor 12 PK/PID.SUS/2009 yang tidak sah.
Menurut Hari, yang bisa mengajukan PK sebagaimana Pasal 263 ayat (1) KUHAP ialah terpidana atau ahli warisnya. Ia meminta Otto untuk membaca pasal 263 secara komprehensif.
"Pasal 263 tidak hanya ayat 1. Ada ayat 2 dan 3, silakan baca Pasal 263 ayat 3," ujar Hari dalam video konferensi pers, Selasa (4/8/2020).
Pasal 263 ayat (3) KUHAP berbunyi: "Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan."
Sementara Pasal 263 ayat (2) KUHAP berbunyi demikian: "Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata."
Sebelumnya, Otto merasa pengajuan PK yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 2009 melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Sehingga ia menilai penahanan Djoko Tjandra di Rutan Salemba juga tidak sah, karena putusan PK Jaksa batal berdasarkan Pasal 197 ayat Pasal 197 ayat (1) huruf (k) dan ayat (2) KUHAP.
Namun, menurut Hari, ketika Djoko ditangkap tidak ada penahanan yang dilakukan Jaksa. Jaksa hanya mengeksekusi putusan MA dalam perkara PK tersebut. Proses eksekusi dilakukan sehari pasca penangkapan di Bareskrim Mabes Polri dan tertuang dalam Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi.
Oleh sebab itu, tugas Jaksa Eksekutor telah selesai. Soal penempatan penahanan, menjadikan kewenangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
"Jadi tak ada istilah penahanan. Jadi eksekusi, kalau ada yang berpendapat keputusan tersebut tidak memenuhi syarat ketentuan di dalam pasal 197 ayat 2 maka ranahnya menjadi berbeda," ujar Hari.
Hari mengatakan siap jika ada pihak-pihak yang masih belum puas dengan pernyataan Kejaksaan. Ia mendaku siap untuk menjelaskan dalam ranah hukum.
"Sudah ada putusan MK nomor 69/2012 bahwa putusan yang tidak memenuhi katakanlah pasal 197 ayat 2 huruf k itu tidak menjadikan batal demi hukum, jadi putusan MK itu tahun 2012, sementara putusan PK tahun 2009," ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri