tirto.id - Meski tak masuk dalam tema besar yang ditetapkan KPU, revolusi industri 4.0 jadi salah satu topik yang disinggung dalam debat kedua pilpres di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Minggu (17/2/2019) lalu.
Ada dua pertanyaan yang memantik debat terkait topik revolusi industri 4.0. Pertama, soal strategi menghadapi tantangan tersebut di sektor pertanian perikanan dan peternakan. Kedua, strategi untuk mencetak unicorn-unicorn baru di Indonesia.
Pertanyaan pertama dirumuskan oleh panelis dan ditujukan kepada calon presiden petahana Joko Widodo (Jokowi). Sementara pertanyaan selanjutnya dilontarkan Jokowi kepada penantangnya Prabowo Subianto.
Koordinator Kaukus Hijau Nasional Dimitri Dwi Putra melihat ketimpangan pengetahuan antara Jokowi dan Prabowo soal revolusi industri 4.0.
Capres nomor urut 01 Jokowi menurut dia cukup memahami kondisi revolusi industri 4.0. "Bisa kelihatan capres paham soal unicorn apa engga. Dia [Jokowi] memahami ekosistemnya," kata Dimitri.
Ketimpangan pengetahuan soal industri 4.0 itu, menurut Dimitri, juga terlihat saat pertanyaan soal bagaimana pertanian dikaitkan dengan revolusi industri 4.0.
Sebab, Jokowi bisa menyebutkan beberapa startup pertanian sederhana yang berhasil menyambungkan petani dan pasar secara langsung. Sementara Prabowo, kata Dimitri, terlihat seperti tak pernah punya data dan tidak bisa memberi contoh kongkrit.
Dimitri mengatakan, saat topik soal strategi sektor pertanian perikanan dan peternakan menghadapi revolusi 4.0 dibahas Prabowo tampak gagal memahami isu tersebut. Ia misalnya Prabowo malah melebarkan topik ke persoalan lain, yakni kedaulatan serta keterjangkauan harga pangan.
"Bagus kita bicara industri 4.0, tapi saya lebih ingin menjamin bahwa Indonesia bisa menyediakan pangan sendiri tanpa impor impor dari negara manapun," ucap Prabowo saat debat.
Namun kebijakan Jokowi soal industri 4.0 bukannya tanpa catatan. Dimitri misalnya mengkritisi program 1.000 startup atau perusahaan rintisan yang digalakkan Jokowi. Menurutnya hingga sekarang tidak ada bukti kesuksesan dari program tersebut. Apalagi, unicorn yang ada di Indonesia seperti Gojek, Bukalapak, Tokopedia dan Traveloka tidak ada yang berasal dari program tersebut.
"Jadi kami masih bertanya juga sebenarnya, 1.000 startup ini apa. Dan bagaimana progresnya, kami enggak pernah tahu. Bagaimana Kementerian Komunikasi dan Informatika menjangkau program ini, ini jadi salah satu catatan kami," kata Dimitri.
Sayangnya kondisi ini tidak terlalu banyak dielaborasi oleh Prabowo. Lantaran itu lah, topik ini justru berakhir antiklimaks dan jadi momentum petahana untuk memberondong Prabowo dengan pertanyaan yang tak dikuasainya. Walhasil, publik tidak dapat pemahaman utuh atas strategi masing-masing capres dalam menghadapi tantangan 4.0.
Masih Banyak yang Bisa Dikritik
Pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai pernyataan Jokowi terkait strategi menghadapi revolusi industri 4.0 punya banyak celah untuk dikritisi.
Misalnya, soal potensi adanya "middleman" atau perantara baru dalam rantai pasok komoditas pertanian yang bisa merugikan petani. Apalagi, petani yang memiliki fasilitas internet dan mengakses pasar daring sangatlah kecil atau berkisar 1 persen dari total petani di Indonesia.
"Kita realistis saja lah. Bagaimana sumber daya kita yang existing seperti ini di mana petaninya memang 87 persen di atas 35 tahun dan jumlahnya semakin menyusut," ucapnya saat dihubungi Tirto.
Dengan kondisi demikian, menurut Andreas, praktik penjualan produk pertanian lewat market place akan memunculkan pemain baru yang mengumpulkan produk-produk petani untuk dipasarkan ke konsumen. Dari sana lah mereka akan mengambil margin yang cukup menggiurkan. Sementara jika terjadi kerugian, petani-petani yang menghasilkan langsung produk-produk pertanian akan mudah ditekan dengan penurunan harga jual.
"Middle man sudah tentu tidak ada lah yang berpikir untuk kesejahteraan petani. ini pengalaman kami. dan ketika banyak pemain, lalu mereka rugi, kerugian itu akan ditransfer ke petani," ujarnya.
Topik revolusi industri 4.0 juga tidak dimanfaatkan kedua paslon untuk menjelaskan bahwa Indonesia kini tengah memasuki era disrupsi. Padahal menurut Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia, Nuly Nazlia, hal tersebut memungkinkan produksi dan penggunaan energi listrik seperti surya atap, baterai, mobil listrik, serta smart home system akan makin murah.
Nuly mengatakan, Indonesia akan ketinggalan zaman apabila masih mengutamakan energi fosil dan tidak berpaling pada energi terbarukan. “Apalagi ada banyak potensi green jobs di berbagai sektor dan poin pemikat bagi para pemilih muda untuk mendukung mereka."
Penulis: Hendra Friana
Editor: Gilang Ramadhan