tirto.id - Sesaat setelah kudeta militer terjadi di Myanmar pada bulan Februari 2021, perhatian publik Indonesia dan negeri-negeri Asia Tenggara lain terarah pada organisasi regional yang menghimpun negeri-negeri di bawah angin itu—istilah yang dikemukakan sejarawan Anthony Reid dalam anak judul jilid pertama dari bukunya, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450–1680 (2014).
Organisasi itu, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN, Association of Southeast Asian Nations), akhirnya mengadakan pertemuan ad hoc di Jakarta pada April 2021 yang dihadiri pula oleh pimpinan junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing. Namun, pertemuan formal ini pada akhirnya tidak menghasilkan komitmen riil dan tata tenteram belum kembali di Myanmar hingga hari ini (Juli 2021).
Pada masa yang penting seperti ini, kita mungkin perlu mengunjungi kembali awal mula dan arti penting dari organisasi regional Asia Tenggara tersebut dan usaha diplomasi yang mengitarinya. Seperti pertemuan formal dan penuh protokoler yang dilakukan ASEAN belakangan, pengisahan sejarah organisasi itu dalam sumber-sumber yang dapat dikonsumsi oleh publik awam—utamanya di sekolah—berisi sekedar statuta formal, visi, misi, dan daftar anggota. Padahal, di balik sejarah formal itu, tersimpan satu aspek unik yang mungkin menjadi penentu keberhasilan ASEAN untuk bertahan dalam dekade-dekade penuh gejolak hingga kini.
Sejak sebelum pendirian ASEAN lewat sebuah akta singkat pada 8 Agustus 1967, diplomasi di Asia Tenggara telah menunjukkan warna unik: penggunaan diplomasi informal. Pakar sejarah diplomasi dan sejarah regional Asia Tenggara dari Universitas Indonesia, Linda Sunarti, sempat mengungkapkan bahwa porsi penting negosiasi di Asia Tenggara sepanjang sejarahnya seringkali direbus di “kedai-kedai sambil duduk minum kopi”.
Pernyataan itu merujuk pada negosiasi-negosiasi informal—seringkali dilakukan secara rahasia—yang terjadi sebelum adanya sebuah perundingan formal. Dengan demikian, poin-poin perundingan telah disepakati sebelumnya sehingga pertemuan formal yang terjadi sesudahnya hanya merupakan pemukul gong dari butir-butir yang secara serius akan dikerjakan pihak-pihak dalam perundingan—mengingat kesepakatan pribadi yang sudah terbangun sebelumnya. Ini adalah kenyataan corak diplomasi yang terjadi di Asia Tenggara pada dekade 1960-an.
Corak tersebut juga tidak luput dalam negosiasi pendirian sebuah organisasi regional yang akan mengikat negeri-negeri Asia Tenggara. Ditulis oleh Amitav Acharya dalam The Quest for Identity: International Relations of Southeast Asia (2000), ide paling awal tentang adanya sebuah persekutuan regional muncul dari perdana menteri pertama Malaya (kini Malaysia), Tunku Abdul Rahman (1903–1990) pada 1957.
Tunku yang mengambil posisi berlawanan dengan kubu komunis memiliki ketakutan bahwa komunisme akan berkembang subur di Asia Tenggara bila negara-negara baru itu gagal mencabut akar permasalahan yang menurutnya adalah kemiskinan. Pada 1959, ia mengirimkan komunikasi ke tiga penjuru—Indonesia, Thailand, dan Filipina. Ia mengirim surat kepada Presiden Sukarno (1901–1970) pada 28 Oktober 1959. Surat tersebut menganjurkan adanya kerja sama erat antara negeri-negeri Asia Tenggara, terutama dalam masalah ekonomi, sosial, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.
Komunikasi serupa juga dikirim kepada Filipina dan Thailand. Menerima tawaran seperti ini, menteri luar negeri Thailand, Thanat Khoman—seperti ditulisnya dalam “ASEAN Conception and Evolution” (1992)—menyetujui namun kecewa luar biasa karena akhirnya hanya “embrio asosiasi kecil yang beranggotakan tiga negara—Thailand, Malaya, dan Filipina—yang dapat dibentuk”. Asosiasi ini bernama Asosiasi Asia Tenggara (ASA, Association of Southeast Asia) yang berdiri pada tahun 1961. Indonesia di bawah Sukarno yang penentangannya terhadap model baru imperialisme sedang mencapai puncak di masa Demokrasi Terpimpin (1959–1966), menaruh curiga bahwa ASA merupakan eksponen dari Blok Barat sehingga menolak untuk terlibat.
Di sisi lain, Filipina pada awal 1960-an menyerukan pula persekutuan lain, Maphilindo, yang terdiri dari Filipina, Malaya, dan Indonesia—tiga negara yang merepresentasikan Dunia Melayu—untuk meluluskan niatnya membuka ruang negosiasi konflik wilayah antara Filipina-Malaya tentang Sabah. Selama ini, Inggris yang menaungi Malaya telah menolak bernegosiasi dengan Filipina perihal klaimnya itu.
Pada pertemuan 31 Juli 1963 di Manila, Sukarno, Tunku, dan Presiden Filipina Diosdado Macapagal (1910–1997) mencapai konsensus bahwa Malaya akan meminta Inggris meluluskan peninjauan ulang keabsahan pemungutan suara di Sabah dan Sarawak perihal kemauan kedua negara bagian itu untuk bergabung menjadi Federasi Malaysia. Sayang sekali, konsensus ini hancur ketika Federasi Malaysia resmi didirikan tanpa adanya peninjauan ulang tadi. Hal ini memang tidak secara formal mengakhiri Maphilindo, tetapi riwayatnya setelah itu tidak prominen lagi. Lebih-lebih, atas pengingkaran itu, Presiden Sukarno menggencarkan seruan “Ganyang Malaysia” dan membuat situasi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia memanas.
Satu titik balik yang akhirnya membuka jalan bagi kemunculan regionalisme yang stabil di Asia Tenggara adalah insiden berdarah perubahan kekuasaan di Indonesia, rangkaian peristiwa yang selama ini disebut sebagai Gerakan 30 September 1965. Presiden Sukarno segera kehilangan otoritas kepresidenan dan kekuasaan riil berpindah ke tangan Jenderal Suharto (1921–2008) yang kemudian ditetapkan sebagai presiden Indonesia (menjabat, 1967–1998).
Pada masa genting peralihan kekuasaan tahun 1966, terbentuk dua kekuatan yang bertentangan tentang konfrontasi dengan Malaysia di Jakarta. Presiden Sukarno tetap pada pendiriannya untuk mendorong konfrontasi, sedangkan Suharto, Menko Perekonomian Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1912–1988) saat itu menjabat , dan Menteri Luar Negeri Adam Malik (1917–1984) berencana mengakhiri konfrontasi.
Pada Mei 1966, Adam Malik berangkat ke Bangkok dalam sebuah rangkaian negosiasi rahasia. Secara resmi, tujuan Adam adalah bertemu Thanat Khoman, menteri luar negeri Thailand. Namun, ia sudah mengatur pertemuan rahasia di kafe dengan sekretaris jenderal Departemen Luar Negeri Malaysia, Tan Sri Gozali. Ia mencatat dalam catatan pribadinya (Koleksi ANRI dari Keluarga Adam Malik, 1966): “Pertemuan kami itu memang dirahasiakan […] kalau ada yang bertanya […] [saya bilang] secara kebetulan bertemu dan Tan Sri Gozali adalah keluarga jadi membicarakan soal keluarga [juga] soal konfrontasi.” Melalui diplomasi informal yang rahasia ini, kesepakatan penghentian konfrontasi—yang telah direbus di kafe di Bangkok—akhirnya ditandatangani secara resmi di Jakarta pada 11 Agustus 1966.
Riwayat kesepakatan pendirian ASEAN tidak kalah informal. Perkembangan situasi kawasan yang mendorong terciptanya organisasi regional ini masih sama, yaitu ketakutan pada perkembangan komunisme. Hal ini diterangkan secara tegas oleh Sinnathamby Rajaratnam (1915–2006)—saat itu menjabat menteri luar negeri Singapura—dalam “ASEAN The Way Ahead” (1992). Oleh karena itu, kita dapat melihat dengan jelas bahwa lima negara pendiri ASEAN adalah negara-negara yang pada akhir dekade 1960 merupakan kekuatan yang condong pada ideologi Dunia Atlantik dan anti-komunis: Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Filipina.
Namun demikian, anti-komunis tidak sinonim dengan anti-diktator atau pro-demokrasi. Dengan demikian, kita dapat melihat Indonesia pimpinan diktator Suharto atau Filipina pimpinan diktator Ferdinand Marcos di sini. Menurut memori Thanat Koman (1992), ide pendirian ASEAN dimulai ketika konfrontasi Indonesia-Malaysia memasuki babak akhir.
Dalam sebuah acara makan malam peringatan berakhirnya konfrontasi, Thanat mengemukakan gagasannya tentang pendirian sebuah organisasi regional kepada Adam Malik. Gagasan ini diterima baik, namun Adam Malik mengatakan bahwa ia harus berdiskusi dengan kekuatan militer yang kini memegang pemerintahan di Indonesia. Sekali lagi, diplomasi di “kedai-kedai sambil duduk minum kopi” itu akhirnya menghasilkan persetujuan formal dan Thanat mengundang menteri luar negeri dari empat negara pendiri lain ke Bangkok.
Perundingan tentang rupa dan ideologi ASEAN tidak dilakukan di ibu kota tersebut. Thanat mengisahkan “[kami] pergi ke resor pinggir pantai di Bang Saen (karena Pattaya belum ada waktu itu), di mana dengan mengawinkan pekerjaan dan tamasya—tepatnya main golf—akta ASEAN berhasil dibuat […] [kemudian] kami kembali ke Bangkok untuk persetujuan resmi dan penandatangan akta pada 8 Agutsus 1967, yang akhirnya melahirkan ASEAN”.
Undangan untuk bergabung dikirim ke Birma (kini Myanmar), Kamboja, Laos, Sailan (kini Sri Lanka), dan Vietnam Utara juga Vietnam Selatan. Awalnya, Sailan, Birma, dan Kamboja menolak untuk masuk dalam ASEAN. Kamboja memandang ASEAN sebagai wadah negeri-negeri yang lebih condong ke Amerika Serikat dan sekutunya, sedangkan kebijakan nasional Kamboja saat itu ingin menghangatkan hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok.
Selain Sailan, yang kemudian ditolak bergabung oleh ASEAN, semua negara yang sempat diundang secara berkala akhirnya menjadi bagian dari organisasi tersebut. Sebenarnya, rupa dan batas kawasan Asia Tenggara yang ditentukan ASEAN tidak begitu jelas. Namun, bila mengacu pada istilah Asia Tenggara yang penggunaannya muncul saat operasi pembebasan tentara Sekutu terhadap kawasan tersebut dari genggaman Jepang, penolakan bergabungnya Sailan ke ASEAN menjadi masuk akal.
Pada akhirnya, rangkaian contoh yang dikemukakan di sini menunjukkan bahwa sejarah diplomatik regional tidak melulu berbicara soal visi dan misi organisasi kawasan. Kepingan memori dan catatan harian pribadi para diplomat seringkali memberi cuplikan sisi lain diplomasi yang mungkin dapat memberi tahu alasan kegagalan dan kemacetan diplomasi kiwari di sebuah kawasan yang selama ini selalu mengedepankan negosiasi informal seperti Asia Tenggara.
Editor: Windu Jusuf