tirto.id - Kecelakaan maut terjadi di KM 91 Tol Cipularang, Purwakarta, Jawa Barat, pada Senin (2/9/2019). Berdasarkan informasi dari Polda Jawa Barat, sekitar 21 kendaraan mengalami tabrakan beruntun yang berlangsung sekitar pukul 13.00 WIB.
Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Rudi Sufariadi mengatakan, setidaknya 7 orang meninggal dunia [belakangan yang meninggal menjadi 8 orang]. Rudi mengatakan, 6 dari 7 korban jiwa meninggal akibat luka bakar. Sementara 8 orang korban lainnya dibawa ke RS Siloam Purwakarta untuk mendapat pengobatan intensif.
Rudi berkata, kepolisian pun tengah melakukan penyelidikan khusus terkait insiden kecelakaan nahas tersebut. Meski belum mencapai kesimpulan, Rudi memprediksi kecelakaan terjadi akibat mobil dump truk yang terguling di ruas tol tersebut sehingga kendaraan lain yang berada di jalur yang sama berhenti mendadak hingga terjadi tabrakan beruntun.
"Penyebab kecelakaan ini sedang kami selidiki (secara) khusus. Tapi (dilihat di lokasi) di depan kami lihat ada dump truk terguling, dan terguling karena apa. Sehingga kendaraan yang di belakang mengerem mendadak," kata Rudi di Purwakarta, Senin (2/9/2019) sebagaimana dilansir dari Antara.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho berpendapat, kecelakaan di KM 91 tidak bisa hanya menyalahkan pengendara mobil truk semata. Ia menilai ada potensi kelalaian terjadi akibat kendaraan truk yang berada di tol membawa muatan berlebihan atau kendaraan tidak layak jalan, tapi masih beroperasi.
"Kalau itu [masalah kendaraan layak jalan atau membawa muatan berlebih] yang terjadi mungkin kelalaian suatu kendaraan tidak terperiksa," kata Hibnu saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (3/9/2019).
Hibnu mengingatkan, kecelakaan kali ini bukan terjadi di jalan umum, tetapi di jalan tol. Menurut dia, tol merupakan jalan yang dikelola dan dipelihara perusahaan, dalam hal ini Jasa Marga. Dalam pandangan Hibnu, perusahaan layanan jalan tol harus ikut diperiksa dan diminta tanggung jawab dalam pengawasan kendaraan yang masuk tol.
Selain itu, kata Hibnu, pertanggungjawaban juga bisa dikenakan kepada petugas KIR maupun petugas jembatan timbang (JT). Sebab, tanggung jawab juga berada di tangan pemerintah yang tidak memantau muatan dan mengontrol kendaraan tidak laik jalan tetap beraktivitas.
"Bisa. makanya ini suatu temuan baru ketika seseorang melewati jalan di mana jalan itu masih dalam pengawasannya. Ini sebagai bentuk pertanggungjawaban atas suatu korporasi yang mengelola jalan tol. Jadi jangan sampai kita salahkan pengemudinya saja," kata Hibnu.
Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar beranggapan, siapapun bisa ditetapkan sebagai tersangka dalam kecelakaan lalu lintas. Pelaku bisa dijerat Pasal 359 KUHP. Namun, aparat tidak bisa menjerat pihak ketiga seperti petugas KIR atau pejabat timbangan karena sistem hukum pidana Indonesia tidak menganut konsep tersebut.
"Sulit menghubungkan kesalahan petugas timbang dengan kecelakaan, tetapi jika digunakan teori conditio cine qua non, maka semua penyebab bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana termasuk petugas timbangan, tetapi sistem hukum pidana kita tidak menganut ajaran ini," kata Fickar kepada reporter Tirto, Selasa (3/9/2019).
Fickar mengatakan, konsep pidana Indonesia hanya mengenal sistem perbantuan lewat Pasal 56 KUHP. Selain itu, harus ada unsur kesengajaan untuk menjerat petugas timbangan dan KIR. Dalam pandangan Fickar, posisi petugas timbangan atau KIR yang lalai tidak bisa dikaitkan dengan dugaan kecelakaan beruntun.
Respons Polisi
Pihak kepolisian menyatakan belum menetapkan tersangka dalam kasus kecelakaan Cipularang. Mereka mengaku masih memerlukan hasil analisa konstruksi perkara sebelum menetapkan tersangka.
"(Penetapan tersangka) menunggu hasil Traffic Accident Analysis (TAA) hari ini," kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, ketika dihubungi Tirto, Selasa (3/9/2019).
TAA adalah proses rekonstruksi terjadinya kasus kecelakaan yang bertujuan untuk memperoleh informasi berupa kronologi, pola kejadian, informasi teknis, kondisi infrastruktur, kondisi pelaku kecelakaan baik secara fisik atau mental.
Sebagai informasi, pada Selasa (3/9/2019), kepolisian tengah melakukan olah TKP di KM 91. Hal itu dilakukan aparat untuk mengidentifikasi penyebab tabrakan beruntun nahas tersebut.
"Sebagai bentuk tindak lanjut dari kecelakaan beruntun di Jalan Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang), pagi ini pihak Kepolisian menjadwalkan olah TKP sehingga diperlukan rekayasa lalu lintas di sekitar lokasi kejadian," kata Corporate Communication & Community Development Group Head PT Jasa Marga (Persero) dalam keterangan tertulis, Selasa (3/9/2019) pagi.
Pihak Jasa Marga bersama Kepolisian kembali memberlakukan rekayasa lalu lintas contraflow yang dimulai sejak Km 96 s.d Km 90 sejak pukul 09.20 WIB. Selain itu, pengalihan arus lalu lintas juga diberlakukan, bagi pengguna jalan dari arah Bandung ke arah Jakarta dapat keluar di GT Cikamuning dan masuk kembali lagi ke Jalan Tol Cipularang melalui GT Jatiluhur.
Kementerian Perhubungan pun turun tangan dalam kecelakaan maut tersebut. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengaku sudah mengirim tim untuk melakukan monitoring penyebab kecelakaan.
Ia mengirimkan tim untuk menelaah penyebab kecelakaan yang terjadi di KM 9i tersebut.
"Memang harus ada evaluasi yang mendasar. Oleh karenanya, saya menugaskan Dirjen Darat dan KNKT untuk mengevaluasi selain hal-hal yang sudah terlihat kasat mata yang tidak taat aturan dan sebagainya," kata Budi Karya di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (3/9/2019) sebagaimana dilansir dari Antara.
Budi pun mengatakan, mereka menggandeng ITB untuk menelaah kemungkinan masalah di jalan. Ia mengaku, hasil analisa tidak akan berlangsung setidaknya mencapai satu minggu karena ingin menyelesaikan masalah kecelakaan di KM 90.
Kepolisian tidak mau terburu-buru menyimpulkan seseorang sebagai tersangka termasuk kemungkinan ada keterlibatan petugas KIR maupun petugas timbangan.
"Nanti dilihat dari dari hasil TAA, itu proses analisis menggunakan pembuktian secara ilmiah. Apakah ada penyebab tunggal atau ada penyebab lain," ucap Dedi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz