tirto.id - Pemerintah berencana menghentikan pemblokiran telepon seluler (ponsel) ilegal dari pasar gelap atau black market yang beredar di Indonesia.
Per Agustus 2019 nanti, rencananya pemerintah akan menerbitkan beleid yang mewajibkan setiap ponsel memiliki International Mobile Equipment Identity (IMEI) yang terdaftar di Kementerian Perindustrian bila ingin digunakan.
Direktorat Jenderal Bea Cuka Kementerian Keuangan mencatat, selama tiga tahun terakhir, terdapat potensi kerugian negara sebanyak Rp143,68 miliar dari ponsel ilegal yang berhasil ditangkap petugas. Jumlah itu merupakan akumulasi dari hasil penindakan pada 2017 sampai Juni 2019 yang masing-masing tahunnya berjumlah Rp63,83 miliar, Rp16,35 miliar, dan Rp63,50 miliar.
“Tahun 2019 perkiraan nilai kerugian negara mencapai Rp63,50 miliar,” ucap Deni saat dihubungi reporter Tirto pada Kamis (4/7/2019).
Menurut data Direktorat Bea dan Cukai Kemenkeu selama tiga tahun terakhir, pemerintah sudah menangkap hampir 50 ribu ponsel ilegal. Menariknya, jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.
Pada 2019, dari 132 penindakan, terdapat 19.715 unit ponsel yang ditangkap. Padahal pada 2017 dari 1.165 penindakan, hanya terdapat 21.552 unit ponsel yang ditangkap. Lalu pada 2018 hanya terdapat 9.083 unit ponsel dari 558 penindakan.
“Tahun 2019 ada 19.715 unit ponsel yang ditangkap oleh Bea Cukai,” ucap Deni.
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, rencana pemerintah untuk mendata nomor identitas telepon seluler (ponsel) dapat berdampak positif bagi perlindungan konsumen.
Menurut YLKI, melalui penerapan kebijakan bahwa IMEI harus terdaftar di database Kemenperin, maka konsumen dapat terhindar dari produk keluaran black market.
“Ini, kan, juga untuk meminimalisir black market. Bisa memberikan perlindungan sisi konsumen. Ketika kita beli produk black market kita tidak tahu siapa yang tanggung jawab. Kalau resmi negara kan tidak dirugikan dari penerimaan pajak dan cukainya,” ucap Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI Sularsi saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (3/7/2019).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno