Menuju konten utama

Kata Warga Korban Gempa/Tsunami Soal Relawan Asing di Palu-Donggala

Warga sebetulnya tak peduli dari mana asal bantuan, bahkan dari luar negeri sekali pun. Namun, pemerintah tidak mau dan membatasi bantuan.

Kata Warga Korban Gempa/Tsunami Soal Relawan Asing di Palu-Donggala
Seorang anak korban gempa dan tsunami berdiri mengharapkan sumbangan dari pengendara yang lewat di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (8/10/2018). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

tirto.id - Begitu banyak pihak yang peduli dengan korban bencana gempa Palu-Donggala. Buktinya, bantuan datang berbondong-bondong, baik dalam bentuk barang, uang, maupun relawan. Bantuan ini tak cuma dari dalam negeri.

Bantuan bahkan datang dari negara yang tengah krisis dan baru saja dilanda gempa berkekuatan 7,3 SR pada Agustus lalu, Venezuela. Negara di Amerika Latin itu menyumbang uang 10 juta dolar AS.

Pada hari-hari pertama setelah bencana, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto sempat mengatakan sudah ada 18 negara yang menawarkan bantuan. Itu belum termasuk badan internasional seperti United Nation Development Programme atau Badan Pembangunan PBB.

Persoalannya, tak semua bantuan negara asing diterima. Baru-baru ini ramai pemberitaan soal pengusiran relawan asing, padahal di tengah semua keterbatasan, orang-orang ini jelas sangat dibutuhkan. Kondisi ini mengingat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah memastikan evakuasi korban besar-besaran telah dihentikan pada 11 Oktober lalu, meski layanan kebutuhan dasar lain seperti distribusi logistik akan tetap berlanjut hingga akhir Oktober.

Ahmed Bham, relawan yang bekerja untuk Gift of the Givers, LSM yang berkedudukan di Afrika Selatan, mengaku pemerintah Indonesia menyuruh mereka kembali.

"Semua anggota tim Urban Search and Rescue Team (USAR) harus kembali ke negaranya masing-masing. Mereka tidak dibutuhkan di Indonesia," kata Ahmed kepada AFP, dikutip dari DW Indonesia.

Ahmed dan 27 orang lain sedianya ingin membantu mengangkut jenazah korban. Mereka mengaku punya kualifikasi dan peralatan untuk itu.

Ferdi Wuner, 36 tahun, seorang korban dari palu, mengatakan dia dan korban-korban lain sebetulnya tidak keberatan jika ada bantuan atau relawan internasional yang membantu. Ini karena bantuan ke lokasi pengungsian tak merata, dan itu terjadi hingga berhari-hari setelah gempa dan tsunami terjadi pada Jumat, 28 September lalu.

Beberapa dari korban, misalnya yang bertahan di sepanjang jalan hingga memasuki area perkantoran Bupati Donggala, malah harus menjulurkan kardus kosong sebagai wadah buat meminta sumbangan. Tenda-tenda pengungsian bertebaran yang tulisannya bernada sama: "kami butuh bantuan."

Apa yang terjadi di sana jelas mengindikasikan bahwa distribusi bantuan memang bermasalah, termasuk keterbatasan sumber daya manusia. Hal ini mungkin tak bakal terjadi jika para relawan asing boleh membantu.

Ferdi yakin apa yang dikhawatirkan pemerintah kalau para relawan asing itu punya maksud lain itu terlalu berlebihan.

"Kan mereka bukan hanya penasaran atau macam-macam. Ketika sudah meninggalkan daerah mereka sendiri dan pergi ke Palu untuk membantu, itu tanda kepedulian mereka," katanya kepada Tirto, Jumat (12/10/2018).

Hal yang sama disayangkan Marwan, 45 tahun, koordinator nelayan Banawa di Donggala. Ia mengaku "butuh relawan asing di sini."

"Secara kemanusiaan saya setuju-setuju saja relawan asing datang ke sini. Kami masyarakat juga bingung. [Pemerintah] mau menerima bantuan logistik dari warga internasional, tapi ketika ada relawan asing kok diusir?" katanya pada Tirto.

Infografik CI dari asing untuk palu

Alasan Pemerintah

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan sejak awal bantuan internasional memang dibatasi cuma untuk keperluan yang memang dibutuhkan saja. Dan relawan tak masuk hitungan. Mereka juga disebut tidak punya izin dan tidak koordinasi.

"Kalau tiba-tiba ada ormas asing, WNA, mereka dengan spesifikasi tenaga medis, SAR, kami enggak memerlukan. Itu sudah nyelonong masuk di wilayah Palu. Tentu saja kami imbau untuk keluar," katanya, Kamis (11/10/2018) kemarin.

Ia mengatakan keputusan ini bukan bermaksud mencegah niat baik. "Tapi untuk memastikan bahwa mereka mengutamakan koordinasi dengan tim atau badan di Indonesia yang memimpin proses penyelamatan dan upaya pemulihan."

Pernyataan Sutopo berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Pada aturan itu disebutkan lembaga asing harus menyusun proposal, nota kesepahaman, dan rencana kerja sebelum membantu. Namun itu bisa tak perlu dilakukan dan bisa dilewati jika dalam masa tanggap darurat, kecuali soal personel, logistik, dan peralatan. Tiga hal ini tetap perlu dilaporkan.

Peraturan Pemerintah ini berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sebelum ada aturan ini, beberapa kali relawan internasional datang ke Indonesia membantu penanganan bencana.

Pada 2004, Kuba menurunkan langsung dokter mereka ke Aceh setelah tsunami menerjang. Dua tahun setelahnya, negara sosialis itu kembali mengirim 100 dokter dan rumah sakit berjalan ketika gempa mengguncang Yogyakarta.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino