tirto.id - Bantuan internasional membuat penanganan bencana alam bukan sekadar aksi kemanusiaan dan filantropisme, tapi juga bersifat politis. Konstelasi negara yang dilanda bencana dalam tata politik dunia dan relasinya dengan negara pemberi bantuan memengaruhi kondisi itu.
Dua hari setelah gempa disertai tsunami memporakporandakan Donggala, Palu, dan Sigi di Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018), Presiden Jokowi dikabarkan telah memberikan wewenang kepada jajarannya untuk menerima bantuan dari dunia internasional. Pada Senin (1/10/2018), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan keputusan menerima bantuan internasional diambil atas “kebutuhan untuk meringankan saudara-saudara di Palu dan sekitarnya.”
Mantan Panglima TNI itu menegaskan, United Nation Development Programme (UNDP) dan 18 negara sudah menawarkan bantuan. Sebanyak 18 negara itu meliputi Amerika Serikat, Perancis, Ceko, Swiss, Norwegia, Hungaria, Turki, Uni Eropa, Australia, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, Qatar, Thailand, India, dan Cina. Namun, bentuk bantuan yang diberikan masih sumir.
Langkah yang ditempuh pemerintahan Jokowi mengingatkan kembali pada gempa disertai tsunami yang menghancurkan wilayah Sumatra bagian barat, terutama di pesisir utara dan barat Aceh, pada 26 Desember 2004. Gempa berkekuatan IX skala Mercalli dan 9,1-9,3 skala Moment itu menewaskan sekitar 200 ribu orang dan meluluhlantakkan puluhan ribu bangunan di Aceh.
Aceh seketika lumpuh. Pemerintah Indonesia yang kala itu dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengambil kebijakan menerima bantuan internasional guna menangani wilayah yang terdampak. Tidak hanya aliran dana dan logistik, namun relawan, termasuk tentara, dari luar Indonesia pun berbondong-bondong masuk ke Aceh. Kebijakan serupa juga ditempuh pemerintah negara-negara lain yang turut tersapu gelombang gempa dan tsunami yang berpusat di Samudera Hindia, sekitar 160 km sebelah utara pulau Simeulue, itu.
Guardianmelaporkan sebanyak 6,25 miliar dolar AS disalurkan PBB untuk 14 negara terdampak tsunami. Jatah paling besar didapat Indonesia yakni 1 miliar dolar AS, disusul Sri Lanka (651,6 juta dolar AS) dan India (150,6 juta dolar AS).
Laporan yang dilansir Stockholm International Peace Institute menyebutkan akumulasi bantuan dari 35 pasukan militer negara lain meliputi 75 helikopter, 41 kapal, 43 pesawat jenis fixed-wing, dan lebih dari 30 ribu personel yang terdiri atas pengendali lalu-lintas udara (ATC), tim medis, dan tukang. Endriartono Sutarto, panglima TNI saat itu, meminta bantuan secara langsung kepada militer Australia, Malaysia, New Zealand, Singapura, dan AS.
Indonesia, di bawah pemerintahan Presiden SBY periode pertama, juga membuka keran bantuan luar negeri untuk penanganan gempa di Yogyakarta (2006) dan Sumatra Barat (2009).
Kasus Lombok Bukan yang Pertama
Namun, tidak pada setiap bencana pemerintah suatu negara menerima bantuan internasional. Pemerintahan SBY periode kedua di Indonesia, misalnya, tidak membuka keran bantuan luar negeri ketika dua bencana terjadi dalam rentang kurang dari 24 jam pada 25-26 Oktober 2010. Saat itu, gempa disertai tsunami menghantam Kepulauan Mentawai dan gunung Merapi meletus di Yogyakarta. Kementerian Luar Negeri mengumumkan pada 29 Oktober 2010—tiga hari setelah mula bencana terjadi—bahwa “Pemerintah Indonesia masih mampu menangani situasi itu sendiri dan bantuan dari sumber-sumber asing pada saat ini tidak diperlukan.”
Pemerintahan Presiden Jokowi pun berlaku demikian kala gempa menerjang Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Agustus 2018. Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan pemerintah pusat dan daerah masih sanggup menanganinya.
“Kita ingin menunjukkan bahwa kita sanggup, mampu mengatasi bencana yang ada di Lombok. Potensi nasional masih sanggup, yang kita tegakkan bahwa Indonesia adalah negara yang kuat, negara yang tangguh menghadapi bencana. Perkara nanti bantuannya penuh dari pusat tidak apa-apa, kita tegakkan tetap keberfungsian pemerintah daerah,” ujar Sutopo.
Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) menolak bantuan internasional untuk penanganan banjir besar yang melanda wilayahnya pada 2007. Banjir tersebut menewaskan 650 orang. Sedangkan saat gempa melanda Sichuan pada 2008, pemerintah RRC menolak bantuan relawan asing, meskipun menerima bantuan dana dan logistik dari luar negeri.
Pemerintah Jepang juga menolak bantuan internasional untuk penanganan gempa Kobe pada 1995 dan gempa disertai tsunami yang menerjang Tohoku pada 2011. Gempa yang melanda Kobe itu menewaskan 5200 orang, melukai 30 ribu orang, menelantarkan 300 ribu orang, dan menghancurkan 110 ribu gedung. Sedangkan 16 ribu orang meninggal, 6100 orang luka-luka, 2601 orang hilang, dan 127.290 gedung hancur setelah gempa melanda Tohoku.
Xenofobia dan Reputasi Negara
Kebijakan menerima atau menolak bantuan internasional memiliki kompleksitasnya sendiri. Kerumitan itu datang dari seberapa besar kadar xenofobia (ketakutan terhadap yang asing) masyarakat. Penanganan korban gempa-tsunami di Aceh ialah salah satu contoh. Pernyataan para elite dan pemberitaan media berpengaruh terhadap xenofobia yang menjalar seiring datangnya bantuan internasional.
"Indonesia and the Tsunami: Responses and Foreign Policy Implications" (2006) yang disusun Rizal Sukma mencatat sejumlah isu terkait itu. Ia mengutip ucapan Syamsir Siregar, saat itu berkantor di Badan Intelijen Negara (BIN), yang percaya militer luar negeri—utamanya AS dan Australia—punya agenda tersembunyi yakni menguatkan kendali mereka atas Selat Malaka.
Isu lain diembuskan pihak militer Indonesia. Mereka takut kelompok relawan internasional bakal membantu Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Isu lain yang juga berembus yakni kristenisasi warga Aceh oleh militer luar negeri. Para anggota PKS dilaporkan memajang poster di tempat-tempat publik yang mengimbau, "Jangan biarkan anak yatim Aceh diambil orang Kristen dan misonarisnya".
Hilmy Bakar Almascaty, salah satu pimpinan Front Pembela Islam (FPI), berkoar bahwa peringatan dan serangan diperlukan apabila para pendatang tidak menghormati hukum syariah dan tradisi di Aceh. Petinggi PKS Hidayat Nur Wahid kemudian mengatakan tentara luar negeri mesti pergi dalam waktu 1 bulan.
Menanggapi xenofobia tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla malah mengeluarkan pernyataan yang menguatkannya. "Orang asing mesti keluar dari Aceh segera mungkin," katanya.
Sementara itu, cara India menerima atau menolak bantuan internasional juga menyangkut persaingan antar-negara. Sebelum 2004, India selalu menerima bantuan internasional ketika gempa melanda Uttarkashi (1991), Latur (1993), Gujarat (2001); siklon menerjang Bengal (2002); lalu banjir menggenangi Bihar (2004). India juga menerima bantuan internasional kala dilanda gempa-tsunami yang turut menerjang Aceh. Di India, ada 12 ribu orang meninggal akibat gempa-tsunami tersebut.
Namun, pada 2004 pula, India menolak bantuan internasional untuk penanganan banjir di Kashmir (wilayah perbatasan India-Pakistan) yang merusak 2.500 desa. Sejak memisahkan diri dari India pada 1940-an, Pakistan bersaing dengan India untuk menjadi penguasa tunggal yang sah atas Kashmir. Tapi justru di tahun ini juga, India memberikan bantuan kebencanaan kepada Pakistan. India juga menolak bantuan internasional saat gempa di wilayahnya menewaskan 1.300 orang pada 2005 dan banjir di Uttarakhand dan Kashmir pada 2013.
Allison Carnegie dan Lindsay Dolan menuliskan dalam makalah berjudul "The Effects of Aid on Recipients' Reputations: Evidence from Natural Disaster Reponses" (PDF) bahwa India termasuk negara yang menolak bantuan internasional agar dinilai sebagai negara berkompeten, meskipun negara itu masih membutuhkannya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan