tirto.id - Softbank Group menyatakan mundur dari proyek pembangunan ibu kota baru atau IKN Nusantara tanpa mengungkapkan alasan jelas. Padahal, proses pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur segera dilaksanakan pada semester I 2024.
“Kami tidak lagi berinvestasi pada proyek tersebut, tetapi kami akan tetap melanjutkan investasi di Indonesia melalui portofolio kami pada Softbank Vision Fund,” demikian kutipan keterangan resmi tersebut.
Direktur Centre of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, pertimbangan pemerintah menggunakan APBN akan sangat mungkin dilakukan, mengingat cukup sulit untuk mendapatkan investasi baru dalam waktu yang singkat.
“Kalau cari investor lain itu gak bisa ya karena waktunya mepet. Investor juga punya pertimbangan, selain dari sisi ekonomi global juga yang proyeksinya melambat, inflasinya tinggi, risikonya juga cukup tinggi ya [Indonesia] masuk ke negara berkembang. Jadi kalau ngejar investor rasanya gak bisa nih dalam waktu yang singkat ini,” kata Bhima saat dihubungi Tirto, Senin (14/3/2022).
Telebih isu politik di dalam negeri yang saat ini tidak kondusif. Wacana masa jabatan presiden diperpanjang, membuat investor luar menilai Indonesia tak aman jadi tujuan investasi.
“Risiko politik, ya sekarang karena gaduh masa jabatan presiden itu bisa bikin investor juga khawatir ya ada risiko gejolak sosial. Itu yang paling dikhawatirkan, jadi investasi ini investasi panjang mungkin 30 -50 tahun ke depan. Jadi kalau diganggu sama kegaduhan-kegaduhan politik, ya bisa gak tertarik investasinya,” terang dia.
Terlebih pembangunan IKN yang rencananya dilakukan adalah untuk kepentingan sosial, seperti gedung pemerintahan. Akan sulit untuk menemukan investor yang mau untuk mebangun fasilitas dasar, para investor akan lebih tertarik untuk menanamkan modalnya ke sektor industri yang memiliki imbal hasil yang lebih pasti.
Jika pemerintah ngotot untuk tetap membangun IKN di tengah keterbatasan pendanaan, kata dia, maka ada beberapa risiko yang akan terjadi. Misal proyeknya mangkrak karena dibangun, tapi tidak selesai. Ada juga ancaman lain, yaitu terganggunya kinerja APBN untuk pembangunan kawasan lain yang sebebarnya punya prospek ekonomi yang jauh lebih mengungtungkan.
“Tentunya risikonya nanti ada pelebaran defisit beban utangnya juga akan meningkat dan yang jelas pemerintah akan membebankan belanja yang membengkak tadi pada masyarakat dan pelaku usaha melalui pajak yang jauh lebih agresif itu konsekuensinya,” terang dia.
Sebenarnya, kata Bhima, tak ada ruginya jika Indonesia menunda proyek IKN untuk sementara demi kepentingan bersama, karena kerugiannya hanya soal gengsi. Namun, jika proyek ini dilanjutkan, maka kerugian Indonesia akan lebih dari itu.
“Kalau IKN ditunda, kerugiannya secara image aja ya. Karena Indonesia sudah pamer, sudah berkabar ke mana-mana kalau mau bangun IKN, kemudian tiba-tiba batal, ya tentunya mencoreng nama, tapi itu lebih ringan risikonya daripada proyeknya diteruskan dan mangkrak di tengah jalan,” jelas dia.
Menurut Bhima, Softbank mundur dari IKN tanpa menjabarkan alasan yang jelas karena Softbank telah memiliki masalah keuangan internal dan diperparah pandemi. Kerugian Softbank dari Wework tahun 2020, Alibaba pada 2021 belum bisa tergantikan hingga saat ini. Mundurnya Softbank memberi sinyal kepada investor di balik Softbank bahwa strategi perusahaan akan lebih fokus pada pendanaan startup digital, bukan proyek pemerintahan.
Faktor perang di Ukraina menambah deretan ketidakpastian global. Investor juga membaca risiko inflasi yang tinggi di negara maju akan membuat biaya pembangunan IKN naik signifikan. Biaya besi baja, barang material konstruksi pun akan mengalami kenaikan imbas dari terganggunya rantai pasok global. Hal ini pernah terjadi saat pembangunan ibu kota negara di Putrajaya-Malaysia saat krisis moneter 1998, membuat biaya pembangunan naik signifikan.
Konsekuensi dari mundurnya Softbank ada dua, kata Bhima. Pertama, jika pemerintah ingin mengejar pembangunan IKN tepat waktu, maka investasi awal IKN sebanyak 80-90 persen harus diperoleh dari APBN. Di tengah target menurunkan defisit di bawah 3 persen pada 2023, maka pemerintah akan andalkan keuntungan penerimaan dari komoditas, dan menambah pembiayaan utang baru.
Kedua, kata Bhima, pemerintah perlu mencari pengganti Softbank entah lembaga investasi hedge fund maupun sovereign wealth fund dari negara mitra, seperti Arab Saudi.
“Sayangnya mencari investor sekelas Softbank bukan hal mudah, apalagi proses pembangunan IKN segera dimulai. Butuh proses uji kelayakan, pembacaan situasi ekonomi dan hitung-hitungan manfaat sosial-politik bagi investor,” terang dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz