tirto.id - Masyarakat Cina tengah menghadapi kekhawatiran setelah sejumlah provinsi mengalami kekurangan persediaan vaksin rabies.
Padahal saat ini kasus orang-orang yang terluka akibat gigitan anjing dan kucing rabies cukup melonjak.
Seperti dikutip dari kantor berita Antara, Selasa (28/7/2020), Rumah Sakit No 5 Kota Shijiazhuang, Provinsi Hebei, menyatakan kekurangan stok vaksin rabies pada Mei hingga Juni.
Pasalnya, sejumlah perusahaan vaksin menghentikan produksinya pada kurun Januari sampai dengan Februari akibat pandemi virus Corona. Kalau pun ada, distribusinya sangat lambat.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (CDCP) Kota Jinan, Provinsi Shandong, juga menyatakan hal yang senada. Bahkan, mereka mengatakan kekurangan stok akan berlangsung lama.
Beberapa pengamat menilai, kekurangan stok tersebut akibat pengetatan sistem supervisi, sehingga lisensi beberapa perusahaan besar ditangguhkan.
Hal ini sebagai dampak skandal kegagalan vaksin yang diproduksi oleh Changchun Changsheng Life Science pada 2018.
Sebagaimana dilaporkan Global Times, skandal ini telah mendapatkan perhatian serius dari Presiden Xi Jinping selaku Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (CPC), sehingga beberapa pimpinan perusahaan vaksin tersebut dijebloskan ke penjara.
"Faktor itu tidak bisa dipungkiri sangat berdampak pada produksi vaksin sehingga stok berkurang pada Januari sampai Februari. Tapi tingginya kesenjangan antara produksi dan permintaan sudah bisa cepat teratasi pada Maret," kata Tao Lina, pakar vaksin dari Shanghai, Senin (27/7/2020).
Produsen vaksin Liaoning Chengda Co. Ltd. mengoptimalkan lagi produksinya pada 2 Maret, agar bisa menghasilkan 800.000 dosis vaksin per bulan, sama dengan kapasitas produksi pada 2019.
Nilai produksi vaksin rabies di Cina mencapai 4 miliar yuan atau sekitar Rp8,3 triliun, demikian data dari situs berita keuangan Cina eeo.com, dikutip dari Global Times, Selasa (28/7/2020).
"Saat tinggal di rumah selama pandemi, masyarakat banyak menghabiskan waktunya bersama binatang piaraan. Hal ini memungkinkan peningkatan serangan anjing pada manusia," kata Tao, mengemukakan alasan lain dari tingginya permintaan vaksin rabies tersebut.
Oleh sebab itu, dia mendesak pihak terkait memperketat aturan mengenai binatang piaraan dan memperluas jangkauan vaksinasi untuk melindungi masyarakat dari penyakit rabies.
Di Cina, kasus rabies menduduki peringkat kelima penyakit menular yang menyebabkan kematian, setelah AIDS, TBC, hepatitis A, dan hepatitis B.
Pada 2019, terdapat 276 orang di Cina tewas akibat rabies. Pada 2007 jumlah kematiannya pernah mencapai angka 3.300.
Cina bisa saja mengikuti India dengan angka kematian setiap tahun lebih dari 2.000 dalam satu dekade terakhir.
Namun Cina telah meningkatkan manajemen hewan peliharaan dalam beberapa tahun terakhir dengan mewajibkan pemiliknya mendaftar dan vaksinasi.
Menurut salah satu laporan industri, permintaan vaksin rabies di Cina akan tetap tinggi hingga 70 persen dari hewan peliharaan yang harus divaksinasi.
Saat ini rasio vaksinasinya 10-40 persen. Pada 2019, jumlah kucing dan anjing peliharaan di Cina mencapai 99,15 juta ekor, naik 8,4 persen dibandingkan 2018.
Selain dihadapkan pada krisis vaksin rabies di tengah naiknya kasus, pemerintah Cina juga sedang menghadapi wabah lain setelah penemuan kasus baru bubonic atau penyakit pes di Cina bagian Utara.
Sebelumnya dilaporkan bahwa otoritas Cina di dekat perbatasan dengan negara Mongolia, secara intensif terus meningkatkan kesiagaan mereka setelah seorang peternak di wilayah itu positif mengidap pes.
Sejumlah langkah pun telah diambil, seperti Komisi Kesehatan Cina yang telah melarang perburuan dan konsumsi hewan yang dapat membawa penyakit itu, terutama marmot serta meminta setiap warga melaporkan jika melihat tikus atau hewan sejenis lainnya yang mati.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari