tirto.id - Konflik antar organisasi masyarakat (ormas) keagamaan dinilai terjadi lantaran sikap parsial atau memihak aparatur negara terutama kepolisian. Menurut Peneliti Sosiologi, Geger Riyanto, sikap tersebut membuat konflik menjadi langgeng di masyarakat.
"Aparatur negara pada kenyataannya belum bisa bersikap imparsial (tidak memihak)," kata Geger kepada Tirto, Senin (6/11/2017).
Geger berpandangan soal penolakan Gerakan Pemuda Ansor Bangil dan sejumlah Badan Otonom NU, terhadap Felix Siauw, salah satu tokoh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), di Masjid Manarul Gempeng, Bangil, Pasuruan, Sabtu (4/11/2017) lalu. Padahal, Felix sedianya menjadi pengisi materi dalam kajian di masjid tersebut.
Alumnus Sosiologi UI ini menyayangkan sikap polisi yang meminta penyelenggara membatalkan forum. Menurutnya, diskusi atau forum keilmuan merupakan hak warga negara yang telah diatur dalam Undang-Undang.
"Ini juga terjadi dalam kejadian serupa lainnya," kata Geger.
Selain sikap setengah-setengah, Geger menyebut sikap ketakutan suatu kelompok juga turut menjadi sebab gesekan bisa terjadi. Geger menilai, mereka dilanda rasa takut lantaran perkembangan HTI bisa mengancam ideologi yang diyakini kelompok tersebut.
Bukan tanpa alasan, Geger berpendapat demikian. Ia mengaku menemukan sejumlah fakta di daerah terkait dua kelompok tersebut.
Di lingkaran NU, Geger menyebut, terdapat sebuah pemahaman bersama bahwa HTI berbeda dan juga sebaliknya. Kecurigaan di kedua belah pihak perlu dicari jalan keluar. Menurut Geger, konflik ini di satu sisi dijadikan alat oleh masing-masing ormas untuk memperkuat soliditas massa. "(Jadi) Ya, kembali lagi negara harus bisa bersikap imparsial," kata Geger.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto membantah, pihakya parsial dalam menghadapi konflik antarormas, seperti dalam kasus pembubaran diskusi Felix Siauw di Pasuruan oleh GP Ansor.
"Kita lihat dulu ada izinnya enggak? Kalau ada sesuai atau enggak isinya?", kata Setyo kepada Tirto.
Setyo mengatakan, Polri selalu bersikap sebagai penengah jika terjadi sebuah konflik. "Tugas kami mengamankan. Jadi fokus kami pada ketertiban," kata Setyo.
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama enggan berkomentar ihwal masalah ini. Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Robikin Emhas, meminta Tirto menghubungi langsung GP Ansor. Ia pun enggan memberi keterangan lebih.
"Ansor saja sudah cukup," kata Robikin.
Sabtu (4/11/2017), Felix Siauw batal memberikan ceramah di Masjid Manarul Gempeng, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Acara yang rencananya digelar itu akhirnya batal.
Pembatalan ini sempat disesalkan Majelis Ulama Indonesia. MUI menyebut penolakan ini terlalu terburu-buru. Sebab, penolakan tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan prasangka bahwa Felix Siauw akan mempromosikan gagasan khilafah sebagaimana yang kerap dilakukannya ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masih ada (baca: berbadan hukum).
Dalam kronologi yang diterima Tirto, disebutkan bahwa atas instruksi Pengurus Cabang NU Kabupaten Pasuruan, GP Ansor Bangil langsung meminta ke polisi untuk berdiskusi dengan Felix Siauw begitu tahu bahwa pentolan HTI ini akan mengisi diskusi. Karena tidak ada tanggapan, PCNU akhirnya menyatakan keberatan kepada polisi.
Kamis (2/11) malam, GP Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) sepakat untuk memperbolehkan Felix Siauw hadir, tapi dengan syarat bersedia menandatangani surat pernyataan yang isinya mengakui Pancasila, 4 pilar negara, dan tidak bicara soal khilafah. GP Ansor dan Banser pun akan menjaga keamanan dan duduk bersama mendengar kajian Felix Siauw.
Namun, Felix Siauw menolak membubuhkan tanda tangannya. Dalam laporan kronologi, kepolisian mempersilakan Felix keluar dari Masjid Manarul Gempeng dengan pengawalan kepolisian menuju ke rumah temannya di daerah Sidogiri.
"GP Ansor Bangil tidak melarang kajian ilmiah asalkan si penceramah mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia serta tidak koar-koar khilafah."
Dalam akun Instagramnya, Felix Siauw mengatakan bahwa ia sudah tahu bahwa kedatangannya ke Bangil ditolak sejumlah ormas. Sehari sebelum acara (3/11), ia mendapat kabar lanjutan bahwa semua persoalan sudah selesai. Pertemuan tokoh agama, bupati, dan pejabat terkait memastikan bahwa acaranya tetap diselenggarakan dengan jadwal yang juga tidak berubah.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih