Menuju konten utama

Kasus Pelanggaran HAM di Aceh Tidak Kelar dengan Tanda Tangan

KKR Aceh butuh dasar hukum yang kuat untuk mengoptimalkan penyelesaian kasus HAM masa lalu.

Kasus Pelanggaran HAM di Aceh Tidak Kelar dengan Tanda Tangan
Perwakilan pemerintah, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta akademisi berdialog ihwal merumuskan kebijakan negara dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi KKR Aceh, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2020). tirto.id/Adi Briantika

tirto.id - Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Afridal Darmi berpendapat perkara dugaan pelanggaran HAM dalam konflik Aceh tidak rampung begitu saja dengan menandatangani nota kesepahaman.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki guna pembentukan KKR Aceh.

"Seakan-akan ketika penandatanganan MoU itu dilakukan, masalah masa lalu semua tuntas. Padahal itu adalah utang, perjanjian harus dipenuhi," ucap Afridal di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2020).

Ditambah sejak Komisioner KKR Aceh dilantik oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah, melalui Paripurna Khusus DPR Aceh pada Oktober 2016, belum dapat menjalankan kewenangan secara optimal karena minim dukungan pemerintah.

Dalam utang terdapat batas waktu, selama 15 tahun terakhir kedua pihak punya waktu untuk melunasi utang. Rekomendasi pemulihan hak korban dan perubahan kebijakan mesti dilakukan, bukan diabaikan. "Pengabaian membuka peluang untuk pihak lain berkata 'saya akan tinggalkan perjanjian'," sambung Afridal.

Secara hipotesis, lanjut dia, jika GAM mundur dari perundingan damai karena batas kesabaran, maka akan menimbulkan konflik baru di Aceh. Ia mencontohkan, mudah pemerintah memusnahkan GAM dalam 1x24 jam karena mereka telah menyerahkan senjata dan hidup berbaur menjadi masyarakat biasa.

Bila pemusnahan itu dilakukan, maka akan timbul konflik baru. "Kita akan berhadapan dengan babak baru, yaitu kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh. Bayangkan, bisakah Anda hidup damai jika itu terjadi?" kata Afridal.

Tanggung jawab moral dari perjanjian ini adalah agar perdamaian berkelanjutan, tidak berhenti setelah 15 tahun. Kondisinya saat ini, Afridal berujar, seolah terjadi pembiaran dari pemerintah pusat terhadap orang Aceh.

Ia melanjutkan, saat KKR Aceh menjalani tiga program (pengungkapan kebenaran, reparasi dan rekonsiliasi), mereka tidak bisa optimal lantaran tidak ada kebijakan yang melindungi dari pemerintah pusat. "Ketika kami ingin minta pernyataan korban, ada kemungkinan korban dikriminalisasi. Kami butuh perlindungan hukum," kata Afridal.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Taufik Basari menyatakan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah bagian negara hukum. Maka kewajiban negara untuk merampungkan pelanggaran tersebut.

Bicara KKR sama saja bicara keadilan transisional (transitional justice). "Ini satu upaya ketika ada pergantian rezim, kemudian dalam menyelesaikan masalah masa lalu, disesuaikan dengan konteks yang ada," ujar Taufik. Jika tidak terjadi pergantian rezim, maka tidak bahas soal penuntasan kasus.

Sebelum Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR, Taufik berharap KKR Aceh bisa jadi contoh yang dapat dijadikan bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang KKR.

Proses KKR, lanjut dia, semestinya dapat mengakomodasi 'suara yang tak terdengar'. Dalam konteks Aceh, pihak GAM, pemerintah maupun pemerintah mendapatkan kesempatan bicara. Masing-masing punya catatan peristiwa. "Jadi cukup imbang terkait porsi menceritakan hal-hal yang selama ini tidak terungkap secara utuh," tutur Taufik.

Jangan sampai KKR justru menjadi negasi antara pihak yang terlibat. Misalnya, pihak TNI yang berpendapat KKR adalah cara menghujat korps atau korban yang merasa itu adalah jalan untuk impunitas.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri