tirto.id - Kasus penyerangan air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang menyebabkan kerusakan matanya pada 9 Desember 2018 nanti memasuki hari ke-60. Wadah Pegawai (WP) KPK dan keluarga Novel Baswedan menyampaikan protes terkait kasus yang masih mandeg penanganannya ke Presiden Jokowi dan hingga hari ini belum ada respons.
“Kami keluarga besar KPK RI, Rakyat Indonesia, hampir putus asa harus kemana untuk mencari keadilan. Sampai hari ini, Presiden masih tidak menunjukkan tindakan yang tegas dan konkret, seakan-akan tidak memiliki kuasa apapun sebagai pemimpin negara untuk membongkar kasus Novel Baswedan," Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap, melalui rilis yang diterima Tirto, Senin (3/12/2018).
Menurut Yudi, berbagai pihak yang dekat dengan Presiden selalu berupaya mengalihkan tanggungjawab tersebut bukan pada Presiden, sehingga bagi rakyat terkesan jelas pesan bahwa Presiden menghindar. "Padahal presiden pada awal-awal penyerangan Novel berjanji kasus ini akan dituntaskan," ujarnya.
Sedangkan, di sisi lain berbagai gelombang upaya pelemahan KPK terus berlangsung. Nawacita yang membuat janji hadirnya negara dalam penegakan hukum masih hanya menjadi angan di kasus Novel Naswedan. Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya pihak yang bisa diminta pertanggungjawabannya dalam penegakan kasus ini, baik pelaku intelektual maupun pelaku lapangan sampai saat ini masih bebas berkeliaran menyebar teror.
Akibatnya, dikatakan Yudi, pegawai KPK berada dalam posisi yang tidak merasakan adanya kepastian keberpihakan Presiden terkait perlindungan para penegak hukum dalam melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Terlebih masa kerja efektif tersisa hanya sekitar 4 bulan sebelum adanya pemilihan presiden periode selanjutnya di republik ini.
"Kami Wadah Pegawai KPK kembali untuk kesekian kalinya menuntut Presiden Jokowi untuk hadir dan melakukan tindakan sebagaimana selayaknya seorang Presiden untuk membongkar kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. Kami keluarga besar Komisi Pemberantasan Korupsi RI, Rakyat Indonesia, menuntut keadilan dengan membentuk TGPF," ujarnya.
Pada 2 November lalu, KPK buka suara atas pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang seolah lepas tangan terhadap kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
KPK menegaskan bahwa serangan terhadap Novel Baswedan bukanlah serangan terhadap Novel pribadi. Febri mengatakan, banyak juga petugas KPK, atau masyarakat sipil yang aktif di kegiatan anti-korupsi mengalami intimidasi serupa.
Sehingga ia menilai perlu kepemimpinan yang kuat untuk memastikan hal seperti ini tak terjadi lagi. "Pertanyaannya, ke mana lagi Novel dan wadah pegawai dan semua yang berkegiatan dalam kegiatan anti-korupsi akan mengadu? Itu pertanyaannya," tanya Febri.
Editor: Maya Saputri