Menuju konten utama

Kasus KDRT Lesti Viral, KPI Larang Rizky Billar Tampil di TV?

KPI mengimbau seluruh lembaga penyiaran agar tidak menampilkan pelaku (KDRT) sebagai pengisi acara, penampil dan pemeran. 

Kasus KDRT Lesti Viral, KPI Larang Rizky Billar Tampil di TV?
Rizky Billar. instagram/rizkybillar

tirto.id - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami penyanyi dangdut Lesti Kejora menuai berbagai reaksi dan kecaman, baik dari masyarakat, fans, hingga Komisi Penyiaran Indonesia.

Atas kejadian tersebut, KPI memberi imbauan kepada seluruh lembaga penyiaran agar tidak menampilkan pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai pengisi acara, penampil dan pemeran.

"Jadi ini adalah permintaan yang bersifat imbauan, memang secara eksplisit tertulis tidak disampaikan, tapi ini menjadi komitmen dari Komisi Penyiaran Indonesia," ujar Komisioner KPI Pusat Nuning Rodyah saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu (1/10/2022).

Adapun KDRT yang dialami oleh Lesti, diduga dilakukan oleh Rizky Billar yang merupakan seorang publik figur, sekaligus suami Lesti.

Jika nantinya terbukti bahwa Rizky telah melakukan KDRT, namun masih kerap tampil di televisi, maka akan dianggap berbahaya jika tetap diberi ruang dalam program penyiaran.

KPI menilai hal ini dapat menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa KDRT adalah kejahatan yang lumrah lantaran pelakunya bebas tampil di televisi.

"Jangan sampai pelaku ini kemudian diglorifikasi, dipuja-puja sebagai seorang publik figur. Kita juga harus turut serta memberikan efek jera pada pelaku KDRT pun itu ada di ruang siar kita," kata Nuning.

Lebih lanjut, Nuning mengatakan bahwa KPI tetap akan memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran meski larangan menampilkan pelaku KDRT hanya sebuah imbuan.

Pihak KPI akan mengkaji apakah program tersebut murni sebagai proses hukum atau sebagai pembenaran dari pihak pelaku.

Teguran atau sanksi yang nantinya diberikan oleh KPI akan merujuk pada UU Penyiaran 32 Tahun 2002 yang mengamanatkan bahwa penyiaran harus memiliki fungsi untuk mengedukasi, memberikan informasi dan hiburan bagi masyarakat.

Fungsi edukasi itulah yang kemudian menjadi dasar untuk meminta ke semua lembaga penyiaran untuk tidak menampilkan, tidak memberikan ruang bagi pelaku KDRT.

Selain itu, rujukan lainnya yang bisa digunakan untuk memberikan teguran adalah melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

"Kalau dalam konteks penegakan hukum kita akan berikan permakluman itu, tapi kalau dia jadi narasumber yang justru akan membuka ruang privat dan semakin menguatkan hegemoni dia atas perilaku yang dilakukan, bagi kami itu sudah tidak layak lagi untuk tampil di televisi," ujar Nuning.

Apa Sanksi Jika Melakukan KDRT dan Bagaimana Pasalnya?

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan, definisi dari kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT adalah"

"Setiap tindakan pada seseorang terutama perempuan, yang berakibat munculnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, seksual dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan tindakan pemaksaan, perbuatan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga."

UU Nomor 23 Tahun 2004 juga memuat sanksi pidana bagi pelaku KDRT yang terbagi dalam kategori kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.

Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan fisik dalam rumah tangga adalah:

    • pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp15 juta bagi setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga.
    • pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp30 juta jika kekerasan fisik tersebut menyebabkan korban jatuh sakit atau luka berat.
    • pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp45 juta jika kekerasan fisik tersebut menyebabkan korban meninggal.
    • pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp5 juta jika kekerasan fisik tersebut dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari.

Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan psikis dalam rumah tangga adalah:

    • pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp9 juta bagi setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam rumah tangga.
    • pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp3 juta jika kekerasan psikis tersebut dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari.

Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dalam rumah tangga meliputi:

    • pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36 juta bagi setiap orang yang melakukan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga.
    • pidana penjara selama empat tahun hingga 15 tahun atau denda sebanyak Rp12 juta hingga Rp300 juta bagi setiap orang yang memaksa orang dalam lingkup rumah tangganya melakukan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu.
    • pidana penjara selama lima tahun hingga 20 tahun atau denda mulai dari Rp25 juta hingga Rp500 juta jika kekerasan seksual tersebut menyebabkan korban menderita luka yang tidak dapat sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama sebulan atau satu tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.
Ancaman hukuman bagi pelaku penelantaran rumah tangga meliputi:

    • pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta bagi setiap orang yang menelantarkan orang lain dalam rumah tangganya atau yang membatasi keluarganya untuk bekerja sehingga menimbulkan ketergantungan ekonomi.

Selain sanksi pidana, UU KDRT juga mencantumkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku KDRT, yakni berupa:

    • pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; dan
    • penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Baca juga artikel terkait KASUS KDRT LESTI KEJORA atau tulisan lainnya dari Yandri Daniel Damaledo

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Iswara N Raditya