tirto.id - Natal pada 1929 justru menjadi hari kelabu bagi keluarga Lawson. Arthur, si anak sulung, kala itu sedang pergi mencari bekal berburu ketika sang ayah, Charlie Davis Lawson, membunuh ibu dan keenam adiknya di rumah mereka yang berlokasi di Germanton, Carolina Utara, Amerika Serikat. Setelah aksi pembunuhan tersebut, Charlie yang berprofesi sebagai petani tembakau itu juga mengakhiri hidupnya sendiri.
Dua minggu sebelum Natal, Charlie tak menunjukkan gelagat aneh. Selaiknya suami dan ayah, ia membelikan pakaian baru untuk istri dan anak-anaknya. Charlie bahkan mengajak keluarganya berfoto bersama. Bagi masyarakat kelas pekerja pada masa itu, melakukan foto keluarga adalah hal yang tak biasa.
Carrie dan Maybell menjadi yang pertama dibunuh sang ayah pagi di hari Natal itu. Usai membunuh kedua putrinya, Charlie mendekati istrinya, Fannie, yang sedang berada di beranda, kemudian menembaknya.
Marie, anak kedua Charlie, menjadi korban keempat. James dan Raymond yang mendengar suara peluru mencoba kabur lalu bersembunyi. Sayangnya, sebelum polisi tiba, Charlie menemukan kedua bocah tersebut dan membunuhnya. Mary Lou, putri bungsunya yang baru berusia empat bulan, juga dipukulnya hingga tewas. Satu-satunya yang selamat hanya Arthur.
Beberapa teori muncul untuk menyibak motif di balik tindakan Charlie. Dilansir dari Investigationdiscovery, M. Bruce Jones dan Trudy J. Smith menduga Charlie mengalami perubahan suasana hati sejak kepalanya terbentur kampak saat bekerja. Benturan ini membuat dia berubah menjadi orang yang lebih kasar ketimbang biasanya.
Teori lain juga diungkapkan Stella Lawson Boles. Boles yang merupakan sepupu Charlie mengatakan pembunuhan itu mungkin terjadi lantaran Fannie mengetahui suaminya melakukan hubungan inses dengan putri mereka, Marie. Boles tahu hal ini setelah menguping pembicaraan ibunya. Teori ini semakin kuat saat Ella May Johnson, teman Marie, mengaku bahwa Marie sempat memberitahukan kehamilannya.
Modus Sinterklas
Keluarga Lawson bukan satu-satunya keluarga yang mengalami tragedi saat Natal. Tahun 2008 di Covina, Los Angeles, Amerika Serikat, Sylvia Ortega meregang nyawa di tangan mantan suaminya, Bruce Jeffrey Padro. Dikutip dari CNN, Bruce rupanya sakit hati karena tidak diundang Sylvia merayakan Natal bersama keluarganya.
Bruce kemudian menyamar dalam kostum Sinterklas dan melemparkan pelontar api ke rumah Sylvia. Rumah pun terbakar hebat, nyawa mantan istri Bruce pun tak tertolong. Orangtua, saudari, dua saudara, dua saudari ipar, dan seorang keponakan Sylvia juga menjadi korban tewas dalam peristiwa tragis itu.
Perceraian sepasang istri dan suami ini bermula ketika Sylvia mengetahui Bruce memiliki seorang anak yang identitasnya disembunyikan. Matthew, nama anak itu, dirahasiakan lantaran menderita kerusakan otak akibat terpelesat dan tercebur di kolam renang saat berusia satu tahun. Akibat kecelakaan itu, Matthew menjalani perawatan di rumah sakit, sementara Bruce harus membayar biaya pengobatan tahun pertamanya sebesar 340.000 dolar AS.
Kemarahan Sylvia meledak saat dirinya mengetahui Bruce memasukkan Matthew sebagai tanggungan pajak selama bertahun-tahun. Pertengkaran demi pertengkaran pun terjadi hingga akhirnya Sylvia memutuskan bercerai, dan terjadilah aksi pembunuhan pada hari Natal itu. Bruce sebenarnya sudah menyiapkan tiket penerbangan untuk kabur, namun ia justru memutuskan bunuh diri.
Pada Natal 2011 pernah pula terjadi insiden pembunuhan yang dilakukan oleh orang terdekat, juga di Amerika Serikat. Aziz Yazdanpanah sedang dalam kondisi pailit ketika istrinya, Nasrin Rahmaty, malah pergi meninggalkannya sejak Maret 2011, demikian diberitakan ABCNews.
Nasrin pindah ke Apartemen Grapevine di Texas bersama dua anak mereka. Tekanan ekonomi akibat menganggur dan ditinggalkan istri serta anak-anaknya diduga kuat menjadi alasan Aziz melakukan pembunuhan. Seperti Bruce, Aziz juga menyamar sebagai Sinterklas.
Polisi menemukan enam korban dan si pelaku tergeletak di apartemen yang ditempati Nasrin dan anak-anaknya. Selain membunuh istri dan dua anaknya, Aziz juga membunuh saudara iparnya, Hossein Zarei dan Zohreh Rahmaty, serta keponakannya, Sahra Zarei.
Mengenai kasus pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga pada musim liburan Natal semacam ini, psikolog klinis bernama Renee Carr, mengatakan, “Orang-orang yang membunuh keluarga atau anggota keluarga mereka selama musim liburan sebenarnya menahan kecemburuan, permusuhan, iri hati, atau kemarahan yang ditunjukkan keluarga mereka.”
“Ini karena musim liburan diharapkan menjadi waktu berbahagia di mana anggota keluarga bisa saling mengisi. Anggota keluarga yang tak menjadi bagian dari kebahagiaan ini merasakan kesenjangan dan jarak yang tak lagi bisa mereka tahan. Pembunuh tipe ini biasanya reaktif dan tidak merencanakan tindakannya,” beber Carr.
Editor: Iswara N Raditya