tirto.id - Kanti Utami, seorang ibu di Brebes, Jawa Tengah, tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat karena tega membunuh anaknya sendiri. Wanita yang berprofesi sebagai makeup artis itu menganiaya tiga anaknya, dua di antaranya mengalami luka serius dan dilarikan ke rumah sakit, sedangkan satunya tewas di tempat akibat luka sayatan di leher.
Berdasarkan video yang beredar di media sosial, ketika ditangkap polisi, Kanti sempat mengatakan alasannya membunuh buah hatinya. Ia merasa khawatir anak-anaknya akan mendapat bentakan dari ayah mertuanya, Amin. Ia pun merasa harus menyelamatkan anak-anaknya agar tidak menderita.
"Saya mau menyelamatkan anak saya. Amin bapaknya suami saya, saya cuma mau taubat, sebelum saya mati, saya cuma mau menyelamatkan anak-anak biar enggak dibentak-bentak," katanya.
"Mendingan mati aja, enggak perlu ngerasain sedih. Harus mati biar enggak sakit kayak saya, dari kecil saya memendam puluhan tahun."
Ada banyak spekulasi warganet yang mengatakan kalau Kanti sedang depresi berat karena tekanan hidup. Terlebih dalam video itu dia sempat menceritakan kalau ingin mendapat kasih sayang dari suami.
"Saya enggak gila Pak. Saya pengin disayang sama suami. Tapi suami saya sering nganggur, saya enggak sanggup kalau kontrak kerjanya habis lagi," ujar Kanti kepada polisi dalam video yang viral di media sosial.
Sampai saat ini, motif apa yang melatari Kanti tega membunuh dan menganiaya anaknya masih belum diketahui. Dan polisi masih terus mendalami kasus ini.
Mengapa Orang Tua Tega Membunuh Anak & Apa Alasannya?
Dalam kasus yang berbeda, di Australia, setidaknya ada satu anak yang dibunuh oleh orang tuannya setiap dua minggu. Data tersebut diambil dari laporan tentang pembunuhan yang dirilis oleh Institut Kriminologi Australia. Istilah umum yang mengacu pada pembunuhan seorang anak oleh orang tua disebut filicide.
Bagaimana pun, kasus pembunuhan tidak dapat dibenarkan karena menghilangkan hak orang lain untuk hidup. Seperti dikutip The Conversation, filicide menyumbang sekitar 10 persen dari semua pembunuhan di Australia. Sedangkan di Amerika Serikat, dari 94 ribu kasus pembunuhan, filicide berada di angka 15 persen.
Filicide adalah salah satu sub-klasifikasi pembunuhan seorang anak oleh orang tua asuh atau orang tua tiri. Sedangkan kasus pembunuhan anak terhadap orang tua disebut parracide dan pembunuhan saudara kandung disebut siblicide.
Sebuah studi tahun 2018 tentang penganiayaan anak menemukan bahwa perempuan menyumbang lebih dari setengah kasus dan bertanggung jawab atas penganiayaan.
Sedangkan laporan AIC 2015 tentang pembunuhan domestik antara tahun 2002-2003 dan 2011-2012, ditemukan laki-laki melakukan 77 persen pembunuhan pasangan intim, 80 persen pembunuhan massal dan 89 persen pembunuhan saudara kandung.
Filicide sering dilihat sebagai tindakan yang jahat. Terry Goldsworthy, seorang profesor kriminologi di Bond University menemukan, satu atau lebih dari tiga elemen yang diperlukan untuk menyebut pembunuhan anak oleh orang tua sebagai tindakan yang jahat.
Pertama, ketidakberdayaan yang dirasakan dari tindakan pembunuhan. Kedua, ketidakbersalahan korban. Ketiga, keunikan dari tindakan pembunuhan. Sebab, kasus filicide pasti mengandung ketiganya.
Apa Motivasi Orang Membunuh Anak?
Profesor psikiatri Phillip Resnick, dalam artikel 2016, mengidentifikasi lima motivasi utama pembunuhan anak seperti yang dijelaskan di bawah ini:
- Filicide psikotik akut: Alasan ini dapat diterapkan pada orang tua psikotik yang membunuh tanpa motif yang bisa dinalar.
- Filicide penganiayaan anak: Biasanya melibatkan sindrom anak babak belum (di mana anak terluka karena kekerasan fisik). Ini adalah satu-satunya dari lima kategori di mana kematian anak mungkin tidak disengaja.
- Filisida altruistik: Tindakan ini dilakukan karena cinta, biasanya untuk membantu anak menghindari penderitaan yang dirasakan.
- Pembunuhan anak yang tidak diinginkan: Anak tidak lagi diinginkan. Ini sering diterapkan pada pembunuhan bayi yang baru lahir.
- Filicide balas dendam pasangan: Alasan dan tindakan pelaku adalah sengaja membuat pasangannya menderita.
Editor: Iswara N Raditya