tirto.id - Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, dikejutkan dengan kemunculan tiba-tiba kasus-kasus hepatitis akut misterius, atau yang disebut oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai acute hepatitis of unknown aetiology dalam rilis terakhirnya tertanggal 23 April 2022.
Hingga Rabu, 11 Mei 2022 malam, ada telah ada 5 orang yang meninggal dunia di Indonesia akibat hepatitis akut ini, yang dilaporkan dari DKI Jakarta, Jawa Timur dan Sumatera Barat, menurut Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Siti Nadia Tarmizi ketika dihubungi redaksi Tirto.
Sementara itu, menurut dr. Siti Nadia pula, ada 15 kasus dugaan atau suspek hepatitis akut yang tercatat di Indonesia. Sebanyak 4 kasus diklasifikasi sebagai pending klasifikasi dan 11 lainnya masih memerlukan pemeriksaan laboratorium. Pending klasifikasi maksudnya adalah belum terkonfirmasi hepatitis akut misterius.
Menukil dari Kompas.com,dr. Siti Nadia juga menyatakan bahwa kasus-kasus tersebut tersebar di 5 provinsi yaitu, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Bangka Belitung. Rata-rata pasien yang terkena hepatitis akut berusia 1-6 tahun.
Baru-baru ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria juga menyebutkan per 11 Mei, ada 21 kasus dugaan hepatitis akut yang ditemukan di ibukota dengan catatan tiga anak meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), seperti dinukil dari Liputan6.com. Bahkan, satu dari 21 kasus diduga terinfeksi hepatitis misterius adalah pasien dewasa.
Sebagai catatan, menukil dari laman Halodoc, hepatitis sendiri adalah penyakit peradangan hati yang dapat berkembang menjadi fibrosis (jaringan parut) dan sirosis atau kanker hati.
Seperti apakah kasus-kasus hepatitis akut yang terjadi di Indonesia, dan seperti apa data kasus hepatitis di Indonesia pada umumnya?
Kasus Hepatitis Akut di Indonesia dan di Dunia
Kemenkes mulai meningkatkan kewaspadaan setelah WHO menyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) pada kasus hepatitis akut yang menyerang anak-anak di Eropa, Amerika dan Asia, sejak 15 April 2022.
Kewaspadaan tersebut meningkat setelah tiga pasien anak yang dirawat di RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta dengan dugaan hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya meninggal dunia, dalam rentang dua minggu pada akhir bulan April, menurut laman resmi Kemenkes.
Ketiga pasien ini merupakan rujukan dari rumah sakit yang berada di Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Gejala yang ditemukan pada pasien-pasien ini adalah mual, muntah, diare berat, demam, kuning, kejang dan penurunan kesadaran.
Tidak hanya di Jakarta, kasus hepatitis akut juga menyebabkan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun meninggal dunia di Kabupaten Tulung Agung, Jawa Timur, seperti dilaporkan Kantor Berita Antara.
Pasien anak di Tulungagung sebelumnya mendapat perawatan intensif di RSUD dr. Iskak Tulungagung. Ciri-ciri klinisnya identik dengan penyakit hepatitis. Namun penyebab dan sumber hepatitis belum diketahui.
Sementara di seluruh dunia, mengutip dari WHO, per 21 April 2022, setidaknya 169 kasus hepatitis akut yang tidak diketahui asalnya telah dilaporkan di 11 negara di Eropa dan satu negara di Amerika. Kasus yang dilaporkan berasal dari Inggris Raya dan Irlandia Utara (114), Spanyol (13), Israel (12), Amerika Serikat (9), Denmark (6), Irlandia (< 5), Belanda (4), Italia (4), Norwegia (2), Prancis (2), Rumania (1), dan Belgia (1).
Kasus-kasus ini secara global terjadi pada anak berusia 1 bulan hingga anak berusia 16 tahun. Sebanyak 17 anak (10 persen dari kasus) membutuhkan transplantasi liver, sementara ada satu kematian yang dilaporkan.
Baik WHO maupun Kemenkes sampai saat ini masih melakukan investigasi untuk mengetahui lebih lanjut penyebab dari penyakit ini.
Prof. Dr. dr. Hanifah Oswari, Sp. A, yang merupakan dokter Spesialis Anak Konsultan Gastro Hepatologi RSCM FK UI, pada laman Kemenkes menyebutkan bahwa dugaan awal penyebab hepatitis akut yang menyebar saat ini disebabkan oleh adenovirus, SARS CoV-2, dan virus ABV. Virus tersebut utamanya menyerang saluran cerna dan saluran pernafasan.
Menurut WHO, virus umum yang menyebabkan hepatitis akut (virus hepatitis A, B, C, D dan E) belum terdeteksi dalam kasus-kasus ini. Perjalanan internasional atau hubungan ke negara lain berdasarkan informasi yang tersedia saat ini belum diidentifikasi sebagai faktor.
Menurut WHO, adenovirus atau virus umum yang bisa menyebabkan infeksi pada mata, saluran pernapasan, dan pencernaan, telah terdeteksi dalam 74 kasus, dan dari jumlah kasus dengan informasi pengujian molekuler, 18 telah diidentifikasi sebagai tipe F 41. Kemudian virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 diidentifikasi dalam 20 kasus. Selanjutnya, 19 kasus terdeteksi dengan koinfeksi SARS-CoV-2 dan adenovirus.
WHO juga menegaskan bahwa hipotesis yang menyebut bahwa hepatitis akut ini berhubungan dengan efek samping COVID-19 belum didukung oleh bukti-bukti karena mayoritas anak yang terdampak belum menerima vaksin COVID-19.
Di luar penyebabnya yang belum ditentukan, dr. Siti Nadia dari Kemenkes menghimbau para orangtua bahwa untuk segera memeriksakan anak ke fasilitas layanan kesehatan terdekat jika anak-anak memiliki gejala kuning, sakit perut, muntah-muntah dan diare mendadak, buang air kecil berwarna teh tua, buang air besar berwarna pucat, kejang, dan penurunan kesadaran.
Kasus Hepatitis di Indonesia, Memburuk?
Per 23 April ini WHO mengumumkan multi-kasus hepatitis akut pada anak sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB/Outbreak). Indonesia hingga saat ini belum menetapkan kejadian hepatitis akut ini sebagai KLB. Terakhir, pemerintah menetapkan Kejadian Luar Biasa terkait hepatitis pada 2019 ketika terjadi penyebaran penyakit hepatitis A yang cukup cepat di Pacitan, Jawa Timur.
Pada saat itu, dalam kurun waktu sekitar tiga bulan, hampir seribu warga Pacitan mengidap hepatitis A.
Sebagai catatan, menukil dari laman Halodoc juga, secara umum, ada sekitar 5 virus hepatitis utama, yang disebut sebagai tipe A, B, C, D dan E. Cara penularannya ke tubuh cukup bervariasi, tergantung jenisnya. Dua cara utama yang dilewati oleh hepatitis dari orang ke orang adalah kontak dengan darah yang terinfeksi atau cairan tubuh lainnya dan kontak dengan kotoran yang terinfeksi.
Hepatitis A dan E biasanya disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi, sehingga penyebarannya terkait sanitasi. Virus hepatitis A dan hepatitis E (HAV dan HEV) keduanya ditularkan oleh enterik, yaitu pencernaan atau melalui rute fecal-oral. Untuk terkena virus ini, bisa karena seseorang menelan kotoran yang terinfeksi virus.
Hepatitis B, C, dan D biasanya terjadi sebagai akibat dari kontak parenteral (suntikan) dengan cairan tubuh yang terinfeksi. Cara penularan yang umum untuk virus ini termasuk penerimaan darah atau produk darah yang terkontaminasi dan prosedur medis invasif menggunakan peralatan yang terkontaminasi.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah hepatitis B (21,8 persen) dan hepatitis A (19,3 persen). Indonesia juga disebut oleh Kemenkes sebagai negara dengan pengidap hepatitis B kedua terbesar di antara negara-negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region) dan digolongkan sebagai negara dengan prevalensi hepatitis B dengan tingkat endemisitas menengah sampai tinggi.
Memang, data terakhir menunjukkan bahwa tingkat prevalensi hepatitis di Indonesia secara umum terlihat memburuk.
Hal ini tentu menarik untuk dipertanyakan, bagaimana bisa mayoritas provinsi di Indonesia mengalami peningkatan prevalensi kasus alih-alih pengurangan.
Perlu juga diketahui bahwa prevalensi adalah proporsi dari populasi yang memiliki karakteristik tertentu dalam jangka waktu tertentu, sehingga ia bukanlah jumlah kasus/insiden.
Lebih jauh lagi, tingkat kematian akibat hepatitis di Indonesia juga paling tinggi di Asean pada 2019 dengan 2,14 kematian per 100 ribu penduduk, menurut Our World in Data. Di tempat kedua ada Kamboja dengan 1,87, dan di tempat ketiga ada Vietnam dengan 0,7. Sementara negara dengan tingkat kematian paling rendah adalah Singapura dengan 0,02 per 100 ribu penduduk.
Namun, perlu juga diperhatikan bahwa perbandingan jumlah penduduk tentunya berkontribusi pada proses penghitungan.
Sementara itu, dilihat dari kelompok umurnya, prevalensi penyakit hepatitis pada 2013 paling banyak diderita penduduk kelompok usia 45-54 tahun (1,4 persen) dan usia 65-74 tahun (1,4 persen). Jika dibandingkan dengan tahun 2018, prevalensi penyakit hepatitis paling banyak ditemukan pada kelompok usia <1 tahun (0,5 persen) dan kelompok usia 45-54 tahun (0,5 persen).
Secara keseluruhan, terjadi penurunan prevalensi kasus di semua usia. Meski usia 45-54 tahun masih jadi kelompok usia dengan prevalensi paling tinggi.
Menurut Tri Yunus Miko Wahyono, Epidemiologi FKM UI, ada potensi memburuk dari kasus hepatitis A, B, dan C pada anak di Indonesia akan lebih luar biasa, dengan lebih banyaknya suntikan yang dilakukan terkait vaksin COVID-19 dan bakteri dan virus dari makanan.
"Kemerosotan ekonomi juga membuat orang lebih bisa jadi faktor, tingkat kebersihan/kualitas makanan yang kurang diperhatikan karena kesulitan ekonomi," katanya.
Langkah Pemerintah Selanjutnya
Terkait kejadian hepatitis akut di Indonesia, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/C/2515/2022 Tentang Kewaspadaan terhadap Penemuan Kasus Hepatitis Akut yang Tidak Diketahui Etiologinya (Acute Hepatitis Of Unknown Aetiology) tertanggal 27 April 2022.
Surat Edaran tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan dukungan Pemerintah Daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, Kantor Kesehatan Pelabuhan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, dan para pemangku kepentingan terkait kewaspadaan dini penemuan kasus Hepatitis Akut yang Tidak Diketahui Etiologinya.
Kemenkes juga meminta pihak terkait untuk menginformasikan kepada masyarakat untuk segera mengunjungi Fasilitas Layanan Kesehatan (Fasyankes) terdekat apabila mengalami sindrom penyakit kuning, dan membangun dan memperkuat jejaring kerja surveilans dengan lintas program dan lintas sektor.
“Selama masa investigasi, kami menghimbau masyarakat untuk berhati-hati dan tetap tenang. Lakukan tindakan pencegahan seperti mencuci tangan, memastikan makanan dalam keadaan matang dan bersih, tidak bergantian alat makan, menghindari kontak dengan orang sakit serta tetap melaksanakan protokol kesehatan,” kata dr. Siti Nadia pada siaran pers Kemenkes.
Editor: Farida Susanty