Menuju konten utama

Kasus Deir ez-Zor yang Memicu Perang Terbuka AS dan Rusia

Gencatan senjata yang digagas Rusia dan Amerika Serikat membuat Suriah sedikit lebih tenang. Namun siapa sangka, serangan salah sasaran dilakukan jet-jet tempur AS terhadap tentara Suriah di Deir ez-Zor. Puluhan tentara rezim dinyatakan tewas. Alhasil bukan membuat kedamaian, gencatan senjata malah membikin Suriah terancam menjadi ajang pertempuran antara kubu AS dan Rusia

Kasus Deir ez-Zor yang Memicu Perang Terbuka AS dan Rusia
Marinir AS mempersiapkan diri untuk naik MV-22B Ospreys dalam latihan di daerah Komando Pusat AS. (FOTO/Korps Marinir/Kopral. Skyler E. Treverrow/defenseforces.com]

tirto.id - Tidak pernah ada kedamaian di Suriah. Saban tiap hari jet-jet tempur rezim tidak henti menjatuhkan bom-bom di pemukiman sipil. Kedua pihak yang berseteru baik itu kubu pemberontak ataupun rezim berkeras kepala bahwa perang adalah jalan satu-satunya mencapai perdamaian. Alhasil sipil lah yang selalu jadi korban.

Konflik Suriah semakin diperumit setelah negara-negara asing mulai dari Turki, Iran, Arab Saudi, Lebanon hingga koalisi barat pimpinan Amerika Serikat dan pesaingnya Rusia ikut campur di sana. Alhasil nasib hidup-mati bangsa Suriah kini ditentukan oleh diplomasi yang dilakukan orang-orang asing macam AS dan Rusia.

Angin kedamaian itu berhembus pekan lalu saat koalisi pimpinan AS dan Rusia sepakat menggelar gencatan senjata. Kesepakatan ini dimulai Senin pekan lalu dengan tujuan mengurangi tingkat kekerasan dan meningkatan akses bantuan kemanusiaan kepada daerah-daerah yang diblokade rezim.

Gencatan senjata sebenarnya hanya formal belaka, karena kedua belah pihak tetap saja saling menyerang dan korban dari sipil tetap berjatuhan. Rezim pun tetap tidak henti membom sipil di daerah yang dikuasai pemberontak seperti Alepo, Homs dan Idlib, sebaliknya milisi tidak henti menyerang pos-pos militer milik rezim.

Ketegangan semakin memanas setelah Minggu kemarin (18/9) jet-jet tempur AS memborbardir posisi tentara Suriah di Deir al-Zour. Serangan dilakukan olehh empat jet koalisi pimpinan AS, dua jet F-16 dan dua A-10 pesawat milik AS serta drone. Serangan menghantam posisi pertahanan tentara kunci Suriah sekitar enam kilometer sebelah selatan dari bandara Deir ez-Zor.

Tak tanggung korban salah tembak ini cukup banyak. Obsevatorium kemanusiaan Suriah menyebut militer yang tewas mencapai 90 orang, sedangkan pemerintah AS menyebut 82 orang dan klaim dari Rusia berkisar 63 orang. Rencana semula jet-jet koalisi yang dipimpin AS ini hendak menyerang ISIS, entah disengaja atau tidak serangan itu malah mengenai militer Suriah.

Serangan ini membikin posisi srategis di Gunung al-Tharda, Deir ez-Zor jatuh ke tangan ISIS. Rencana yang bertujuan untuk membuka jalan antara Deir al-Zour dan Palmyra jadi berantakan. Di sisi lain dari lokasi inilah ISIS dengan leluasa menembaki jet-jet tempur yang mendarat untuk mengisi amunisi di pangkalan Deir Ezzor.

Kondisi ini membikin Damaskus dan Moskow murka. “Tindakan pengecut Amerika ini adalah bukti nyata dukungan AS untuk ISIS,” tulis rilis dari Kementrian Luar Negeri Suriah.

“Jika sebelumnya kita memiliki kecurigaan bahwa AS melindungi front al-Nusra, sekarang, setelah serangan udara hari ini terhadap Tentara Suriah, kita sampai pada suatu kesimpulan yang benar-benar menakutkan bagi seluruh dunia: Gedung Putih membela ISIS," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova dikuti dari Russia Today.

Meski sudah meminta maaf, Pusat Komando AS (CENTCOM) enggan disalahkan sepenuhnya atas insiden ini. Mereka beralibi bahwa setengah jam sebelum hendak menyerang, AS terlebih dahulu mengabari Rusia dan diberi lampu hijau. Namun setelah satu jam serangan terjadi, mereka diberi kabar oleh Rusia bahwa telah terjadi salah sasaran tembak. Pihak Rusia bungkam enggan menyikapi pernyataan ini.

Insiden di Deir ez-Zor membuat Rusia meminta Dewan Keamanan PBB segera menggelar rapat darurat. Permintaan ini disikapi secara sinis oleh Dubes AS untuk PBB, Samantha Power. Keluhan Rusia ini dianggap sebagai upaya mengalihkan perhatian publik dari sejumlah "kekejaman" rezim Assad di Suriah.

Kata dia, pemerintah Amerika masih mengumpulkan fakta-fakta tentang pemboman tersebut. Dia kemudian menyindir kejahatan kemanusiaan Rusia dan Suriah yang sering meluncurkan serangan udara terhadap rumah sakit dan sekolah-sekolah, serta pengepungan kota yang menyebabkan kelaparan dan penggunaan senjata kimia yang menarget warga sipil. Bagi Samantha, tindakan Rusia dan Suriah amat cengeng.

“Bayangkan seberapa sering Dewan Keamanan akan bersidang jika kita mengadakan sidang darurat setiap kali Rusia atau Suriah membom rumah sakit di negara yang dilanda perang itu," kata Samantha Power. “Rusia tidak pernah menyerukan konsultasi Dewan Keamanan tentang praktek-praktek ini," tambahnya.

Ucapan Power ini ditanggapi oleh Jubir Kemlu Rusia, Zakharova. Dalam akun Facebook-nya dia menulis: “"Untuk Samantha Power tersayang, untuk memahami arti dari kata 'malu,' Saya sarankan pergi ke Suriah dan berbicara dengan orang di sana. Mari kita pergi bersama-sama. Jangan takut. Tak seorang pun akan memaki Anda di hadapan saya. Kecuali, tentu saja, orang-orang menganggap Anda tidak lagi 'keliru' menyerang sasaran yang salah, “ tulisnya.

Saling meledek itu tidak hanya terjadi di meja perundingan, di lapangan aksi saling membalas pun terjadi. Pagi tadi dilaporkan sebuah pesawat pengintai drone milik AS dilaporkan jatuh pada di provinsi Deir ez-Zor – dekat dengan lokasi di mana jet Amerika membom pasukan Suriah.

Dilaporkan TV milik rezim, Tentara Suriah menjatuhkan UAV yang terlihat melayang di atas gunung di daerah Jabal Therdeh di sebelah timur Deir ez-Zor. Drone tersebut ditembak oleh pasukan Brigade Artiler 137 Divisi Tank ke-17. Sebuah ancama muncul bahwa mereka akan menembaki pesawat koalisi AS yang terlihat beroperasi di Deir ez-Zor.

Jadi sebuah pertanyaan menarik adalah mungkinkah Suriah dan Rusia kembali menetapkan larangan zona terbang dan mengaktifkan sistem rudal S400 di Deir ez-Zor seperti yang mereka lakukan di Latakia. Namun kasus pemicu ketengangan di Latakia kala itu adalah Turki yang notabene secara militer dan diplomasi masih bisa ditaklukan, tidak seperti AS – musuk mereka saat ini yang dikenal sebagai penguasa dunia.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti