tirto.id - Bishop Charles Ellis III sedang dirundung masalah. Ia terekam foto dan video tengah memeluk Ariana Grande sembari menyentuh sisi payudara penyanyi berusia 25 tahun tersebut. Warganet yang menyaksikan unggahan video itu di media sosial merespons negatif tindakan Ellis. Tanda pagar #RespectAriana pun seketika menjadi tren di seluruh dunia.
Kejadian tersebut berlangsung usai Ariana membawakan lagu (You Make Me Feel Like) a Natural Woman di acara pemakaman Aretha Franklin pada Jumat (1/9/2018) waktu setempat. Pada waktu itu, Ellis bertugas sebagai pemimpin acara pemakaman.
Bishop Ellis lantas menanggapi video yang sedang viral tersebut. Ia mengatakan bahwa dirinya tak pernah berniat untuk memegang payudara perempuan mana pun, termasuk milik Ariana. Ellis juga mengatakan bahwa dirinya memeluk semua artis yang naik ke panggung selama acara pemakaman berlangsung.
“Saya tidak tahu, saya rasa saya hanya merangkulnya. Mungkin saya telah melewati batas, mungkin saya terlalu ramah atau akrab tetapi sekali saya minta maaf,” ujarnya.
Memeluk, seperti yang dilakukan Uskup Ellis, menurut Lena M. Forcell dan Jan A. Åström dalam “Meaning of Hugging: From Greeting Behaviour to Touching Implications” (2012) adalah bentuk sapaan pada orang lain yang lebih menunjukkan kedekatan dibandingkan berjabat tangan atau menganggukkan kepala. Dalam budaya Barat, sapaan dengan memeluk ini terkadang diikuti dengan daratan ciuman di pipi orang lain yang disapa.
Menurut Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Anita Dhewy, pelukan dan sentuhan lain seperti ciuman atau pegangan tangan merupakan bentuk ekspresi yang pada dasarnya tak memiliki efek buruk. Namun, modus (cara) dan konteks saat kontak fisik dilakukan dapat diperiksa guna mencari tahu apakah tindakan tersebut merupakan pelecehan seksual atau bukan.
“Modus terkait dengan motif atau alasan yang mendasari tindakan tersebut. Konteks mengacu pada suasana, situasi, dan atmosfer ketika tindakan tersebut terjadi. Di sini, kita bisa melihat apakah ada unsur paksaan, tekanan, ketidaksukaan, ketidaknyamanan, ada atau tidak persetujuan dan sebagainya,” ujarnya ketika dihubungi Tirto.
Sementara itu, Lutviah, yang menjadi media officer LSM Rifka Annisa, mengatakan bahwa sentuhan akrab seseorang yang ditunjukkan salah satunya dengan memeluk bisa menimbulkan masalah jika disertai dengan rabaan di bagian sensitif dan tak melibatkan persetujuan atau consent. Kedua hal tersebut, menurut Lutviah, bisa dipakai untuk menilai apakah sentuhan akrab yang diberikan seseorang masuk dalam kategori pelecehan seksual atau tidak.
“Hal yang paling mudah diidentifikasi apakah itu pelecehan atau tidak, mungkin [dengan melihat] bagian mana yang oleh pelaku disentuh. Kalau tangan atau bahu, kan, bisa jadi orang enggak sengaja [menyentuh] karena sudah merasa akrab. Tapi yang mudah diidentifikasi adalah sentuhan yang memang di bagian tertentu, misalnya payudara, bokong, vagina, dan penis. Karena teman seakrab apa pun tidak akan melakukan itu, kan,” katanya.
Selain itu, Lutviah mengatakan bahwa persetujuan atau consent adalah indikator lain yang bisa dipakai untuk menentukan apakah sentuhan akrab seseorang tergolong pelecehan seksual atau tidak.
“Consent itu tahunya dari mana? Paling gampang dengan nanya dulu, 'aku boleh pegang tangan atau pundak kamu', dan kalau orangnya jawab iya atau tidak, itu bisa dikatakan consent,” jelasnya.
Namun, Lutviah mengatakan bahwa umumnya perempuan tidak terbiasa asertif atau berani mengungkapkan secara langsung apa yang mereka rasakan. Hal ini dikarenakan mereka hidup dalam budaya patriarki yang menjadikan perempuan mesti menurut dan tak boleh menolak perintah.
“Makanya, salah satu hal yang dilakukan Rifka Annisa adalah mendorong perempuan untuk berani asertif. Tapi di sisi lain, orang lain harus belajar untuk menghormati tubuh perempuan meski perempuan dipegang diam saja,” ujarnya.
Kedua indikator yang disampaikan di atas lebih lanjut bisa dijadikan parameter dalam menilai tindakan seseorang di dalam atau di luar tempat kerja. Seperti ditulis CNN, sentuhan seperti memeluk atau tepukan di bahu oleh atasan atau kolega kerja bisa dianggap sebagai perilaku yang tak keliru. Namun, bagi sebagian orang tindakan tersebut dapat direspon negatif sehingga dianggap sebagai pelecehan seksual.
Masih dalam tulisan CNN, pengacara Kelly Amstrong mengatakan bahwa sentuhan di tempat kerja dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual jika kejadiannya parah (severe) dan merembet (pervasive).
“Jadi, parah bisa merujuk pada tindakan meraba payudara seseorang atau memperkosa,” katanya. “Tindakannya terjadi sangat parah sehingga masuk dalam kategori pelecehan seksual. Merembet biasanya berhubungan dengan tingkah laku atau pola tindakan yang pada akhirnya bisa didefinisikan sebagai pelecehan seksual.”
Dari sisi tata cara sopan santun kerja, pakar etiket Daniel Post Senning menjelaskan kepada CNN bahwa seseorang harus lebih memperhatikan tanda nonverbal yang menunjukkan kenyamanan atau ketidaknyamanan rekan kerja. Sementara itu, pihak yang merasa tak nyaman dengan sentuhan akrab bisa dengan tegas mengatakan “saya tak suka berpelukan” atau menjaga jarak dengan kolega maupun atasan.
Apa yang disampaikan oleh Post Senning dan Amstrong pada akhirnya memang perlu diperhatikan sebab dampak negatif akan dirasakan oleh pekerja jika mereka mengalami pelecehan seksual. Penelitian menunjukkan perempuan yang pernah menerima pelecehan seksual akan merasakan kecemasan, depresi, gangguan tidur, serta penilaian diri yang buruk. Dalam beberapa kasus, pelecehan seksual bahkan bisa memicu major depresive disorder (MDD), gangguan stres pascatrauma (PTSD), atau keinginan bunuh diri.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Maulida Sri Handayani