tirto.id - Ahmad Daryoko heran dengan rencana manajemen PT PLN (Persero) yang hendak memangkas gaji 40 ribu karyawan demi membayar ganti rugi kepada masyarakat akibat blackout yang terjadi Ahad (4/8/2019) lalu. Kebijakan tersebut salah alamat, katanya.
"Kejadian itu sifatnya force majeure, tidak bisa dikalkulasikan dengan rumusan yang sifatnya kebijakan kekaryawanan," kata bekas Ketua Umum Serikat Pekerja PLN itu kepada reporter Tirto, Rabu (7/8/2019) kemarin.
Dengan kata lain, kata Daryoko, kebijakan itu sama sekali tidak profesional. Kebijakan tersebut juga patut dipertanyakan dasar hukumnya.
"Jangan pakai perasaan, atas dasar keinginan direksi sendiri. Dasarnya apa memotong-motong seperti itu?" tanyanya.
Setidaknya ada 40 ribu karyawan PLN yang gajinya akan dipotong demi membayar kompensasi sebesar Rp839 miliar. Pernyataan ini pertama kali diutarakan Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Djoko Rahardjo Abumanan di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (5/8/2019) kemarin.
Djoko bilang, uang kompensasi akan diambil dari biaya operasional perusahaan, dan termasuk di dalam biaya operasional itu adalah gaji karyawan dan uang tunjangan.
Sebanyak 21,9 juta pelanggan akan menerima kompensasi. Bentuknya bukan uang, tapi diskon 20 persen dari biaya beban untuk golongan subsidi dan 35 persen untuk non-subsidi.
Djoko tidak menjelaskan kenapa mesti semua karyawan yang terkena dampak. Dia justru mengaitkannya dengan perkara prestasi dan produktivitas karyawan--yang pasti dilakukan meski misalnya tak ada kasus blackout.
Dia bilang: "di PLN sudah ada aturan itu, kalau kinerja tidak bagus, ya, dipotong gajinya."
Karena mesti ditanggung semua karyawan, tidak heran kalau Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, sinis dengan rencana ini.
"Masak karyawan jadi korban? Tidak fair," katanya, Rabu kemarin.
Ditentang Karyawan
Penolakan juga datang dari Ketua Umum Serikat Pekerja PLN Eko Sumantri. Ia menilai kebijakan ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
"Namanya pekerja itu ada peraturan Undang-Undang tentang gaji. Jadi tidak serta-merta bisa dipotong gaji bulanannya," kata Eko kepada reporter Tirto.
Pada Pasal 93 UU 13/2003 dan Pasal 24 PP 78/2015, kata Eko, disebutkan upah tidak dibayar hanya jika pekerja tidak melakukan pekerjaannya. Pekerja tetap harus diupah jika mereka sakit, menikah, hingga mengambil hak cuti.
"Ada perlindungan [mendapatkan] upah di aturan itu," tambahnya.
Dia juga khawatir dengan pernyataan Djoko Rahardjo yang mengatakan pemotongan akan berdasarkan kinerja. Jika gaji dipotong karena kinerja karyawan buruk, itu sudah biasa terjadi, kata Eko. Tapi karena kasus ini, sangat mungkin perusahaan mencari-cari kesalahan karyawan demi memenuhi angka kompensasi. Dengan kata lain, tidak objektif.
Dalam waktu dekat, Eko dan serikatnya akan beraudiensi dengan pimpinan PLN. Dia berharap dalam forum itu kedua belah pihak akan menemukan jalan keluar tanpa merugikan karyawan.
"Sebuah institusi, kan, mempunyai hak dan kewajiban, sama seperti karyawan. Perusahaan pasti mempertimbangkan dan menghitung terkait hal tersebut," katanya, optimis.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino & Mufti Sholih