tirto.id - Kelumpuhan melanda Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada Minggu (4/8). Selama lebih dari enam jam lamanya, akses warga terhadap jaringan listrik di beberapa wilayah tersebut menjadi terbatas bahkan terputus sama sekali.
Blackout yang terjadi kemarin merupakan peristiwa paling parah jika dilihat dari durasi listrik padam dan luas area terdampak. Setidaknya jika dihitung sejak 1991.
Banyak aktivitas sehari-hari yang tertunda atau bahkan tidak bisa dilakukan pada hari itu. Sejumlah mesin anjungan tunai mandiri (ATM), misalnya, tidak bisa digunakan untuk mengambil uang atau melakukan transaksi perbankan lain. Beberapa convenience store bahkan memutuskan untuk menutup gerainya karena transaksi pembayaran menggunakan komputer dan mesin kasir sedang tidak bisa digunakan.
Dari semuanya, di era digital ini, gangguan yang mungkin paling terasa saat mati listrik tersebut adalah putusnya jaringan telekomunikasi. Jaringan telepon seluler baik layanan maupun data menjadi tidak berfungsi. Perusahaan penyedia layanan telekomunikasi kemudian seolah berlomba-lomba memberikan penjelasan dan permintaan maaf kepada masyarakat dan juga pelanggan.
"Saat ini terjadi gangguan pasokan listrik dari PLN di wilayah Jakarta, Banten, Jawa Barat dan sekitarnya. Hingga saat ini kami masih menginventarisir jumlah perangkat jaringan yang terkena dampak penurunan kualitas akibat gangguan ini dan memastikan back up power berfungsi secara maksimal," tutur Vice President Corporate Communications Telkomsel Denny Abidin, dalam pernyataan resmi kepada media, Minggu (4/8).
Perwakilan provider XL Axiata pun turut memberikan pernyataan."Sehubungan dengan padamnya aliran listrik di sejumlah wilayah di Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, layanan XL Axiaata ikut terdampak dan berimbas pada menurunnya kualitas layanan di wilayah tersebut," tulis Group Head Corporate Communication XL Axiata Tri Wahyuningsih.
Masih Tergantung 'PLN'
Tenaga listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih menjadi daya dorong utama untuk perangkat pendukung telekomunikasi di Indonesia. Tanpa adanya sumber daya energi alternatif yang bisa digunakan sebagai pasokan tenaga pengganti, jaringan telekomunikasi di Indonesia menjadi sangat rentan. Tidak mengherankan bila pasokan atau suplai listrik dari PLN terganggu, jaringan telekomunikasi pun ikut terganggu.
Hilangnya sinyal ponsel dan terganggunya jaringan seluler dikarenakan terganggunya base transceiver station (BTS) milik operator telekomunikasi. BTS merupakan infrastruktur telekomunikasi yang digunakan sebagai pemancar dan penerima jaringan seluler di suatu cakupan wilayah. BTS berfungsi mengkonversi sinyal-sinyal yang dipancarkan dan diterima menjadi sinyal digital, untuk selanjutnya dikirim ke terminal lain dan diproses sebagai sirkulasi pesan atau data.
Jaringan telekomunikasi seluler sesungguhnya bisa tidak terganggu oleh pemadaman listrik jika BTS memiliki uninterruptible power supply (UPS). UPS ini berfungsi memberikan suplai listrik ketika tegangan utama tidak berfungsi alias terjadi padam listrik. Jadi, UPS hanya akan berfungsi jika terjadi pemadaman listrik.
"Mungkin tidak semua BTS dilengkapi dengan UPS atau kalaupun dilengkapi tapi kapasitasnya sudah menurun. Sehingga kalau listrik PLN padam dalam waktu yang lama, akibatnya jaringan telekomunikasi seluler terganggu juga,” ungkap Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono kepada Tirto.
Penyedia layanan seluler sejatinya telah memiliki standar prosedur operasi uninterruptable service. Ini artinya, perangkat pendukung jaringan seluler seperti BTS telah dilengkapi dengan back up power atau tenaga cadangan berupa baterai dan genset .
Namun demikian, jika hanya tersedia baterai pada BTS sedangkan listrik PLN padam lebih lama dibanding daya baterai, maka jaringan telekomunikasi seluler otomatis pada akhirnya ikut terputus bersamaan dengan habisnya daya baterai.
"Dengan luas area terdampak padam listrik seperti yang terjadi kemarin, pasti tenaga cadangan yang dimiliki BTS untuk suplai layanan jaringan telekomunikasi tidak mencukupi. Jadi pasti terputus. Selain itu, perusahaan telekomunikasi juga mempertimbangkan perihal efektivitas biaya jika menggunakan tenaga cadangan yang lebih mahal dibanding listrik," jelas Kristiono.
Tenaga dari baterai cadangan tersebut sekiranya bisa digunakan selama lebih kurang empat jam untuk kapasitas penuh. Ridan Effendi, Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) bilang, daya tahan baterai bisa bertahan lebih dari empat jam jika kapasitas BTS dibuat tidak mencapai 100 persen. "Konsekuensinya adalah pelanggan merasakan jaringan seluler lebih lemot atau lama koneksinya,” sebut Ridwan kepada Tirto.
Ridwan mengatakan, Indonesia sesungguhnya memiliki tenaga panel surya yang potensial diolah sebagai energi alternatif penggunaan listrik sebab pasokan sinar matahari terbilang cukup besar di Indonesia. "Yang masih menjadi masalah adalah karena harga sel surya masih agak mahal," sebut Ridwan.
Pengamat Telekomunikasi dan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi juga menyebut tenaga matahari atau panel surya bisa digunakan sebagai energi alternatif dari penggunaan listrik.
Salah satu BTS bertenaga surya yang dimiliki Indonesia adalah BTS untuk sistem telekomunikasi di Desa Oebela, Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). PLTS sebagai sumber listrik utama perangkat BTS ini memiliki kapasitas 4.680 watt peak yang terdiri dari 18 unit panel surya 260 watt peak. BTS ini turut pula dilengkapi dengan 24 unit baterai di area lahan seluas 324 meter persegi.
"Indonesia memang telah memiliki beberapa BTS yang menggunakan energi matahari dan juga angin sebagai tenaganya. Tapi persentase jumlah dan waktunya juga sangat kecil dan belum dimanfaatkan secara maksimal," jelas Heru.
Belajar dari Jerman
Sementara itu di Jerman, energi angin dimanfaatkan sebagai pemasok tenaga pada BTS-BTS di pedesaan, sehingga sejumlah BTS tersebut tidak semata mengandalkan pasokan dari perusahaan-perusahaan listrik.
Di antara negara-negara Uni Eropa, Jerman memang dikenal dengan 'ladang angin' atau wind farm mereka. Bisnis turbin angin di negara itu berkembang cukup pesat dan bahkan merangkul masyarakat hingga ke pedesaan.
Masyarakat yang memiliki lahan, bisa menyewakan tanahnya sebagai ruang untuk memasang antena turbin kepada perusahaan telekomunikasi. Ujungnya, perusahaan telekomunikasi bisa mengurangi jumlah pemakaian listrik yang dibeli dari pemasok listrik tingkat nasional. Perusahaan telekomunikasi selanjutnya juga dapat dengan mudah memasok listrik dari tenaga angin ke dalam jaringan telekomunikasi.
Catatan "WindEurope Annual Statistic 2018" (PDF) menyebut, Jerman merupakan negara yang memasang kapasitas energi tenaga angin terbesar pada 2018 di antara negara-negara UE. Penggunaan energi angin bahkan naik sebanyak 20 persen selama paruh pertama 2019, dilansir Interesting Engineering.
Lebih lanjut, penggunaan tenaga surya di Jerman pun naik 6 persen di periode yang sama. Sementara itu, penggunaan batu bara sudah berkurang 30 persen sepanjang semester I/2019 dibanding periode yang sama 2018. Ke depan, Jerman berencana untuk menutup sejumlah tambang batu bara.
Sebagai catatan, hal ini mungkin terjadi di Jerman salah satunya karena sistem liberalisasi listrik di negara itu memungkinkan perusahaan swasta masuk ke dalam bisnis listrik. Listrik tidak dikuasai oleh negara dan siapapun bisa masuk ke dalam bisnis pengadaan listrik di Jerman.
Masih dari "WindEurope Annual Statistic 2018," secara keseluruhan, Eropa memasang 11,7 gigawatt energi angin baru sepanjang 2018. Rinciannya, 9 gigawatt berada di darat dan sisa 2,65 gigawatt berada di lepas pantai. Tenaga angin terpasang merupakan bentuk lain dari pembangkit listrik di Uni Eropa dan menyumbang 48 persen dari total kapasitas daya instalasi yang dibutuhkan.
Energi terbarukan menyumbang sekitar 95 persen dari seluruh Uni Eropa dengan 18,8 persen diantaranya merupakan energi angin. Saat ini terdapat tenaga angin dengan kapasitas 189 gigawatt terpasang di seluruh Eropa. Sebanyak 170 gigawatt berada di darat dan 19 gigawatt lainnya berada di lepas pantai.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara