tirto.id - Beberapa kiai atau ulama sering dianggap punya karomah atau ajian-ajian sakti. Padahal, tidak sedikit kiai yang sebenarnya tidak punya kelebihan itu. Cara-cara mendidik santri dan masyarakat yang kerap aneh dan di luar dari perkiraan membuat dugaan soal karomah itu muncul.
Salah satunya adalah kisah Kiai Ali Maksum saat mengajak jalan-jalan santrinya yang sering membolos.
“Kang Majidun, dipanggil Pak Kiai Ali,” kata seorang santri.
Entah mimpi apa Ahmad Majidun tadi malam. Pagi-pagi itu K.H. Ali Maksum, pengasuh Pesantren Krapyak, mencarinya. Bagi santri, dipanggil seorang kiai itu bisa mengandung beragam kemungkinan dan arti.
Dipanggil karena pernah melakukan kesalahan di pesantren, misalnya. Ini jelas bukan panggilan yang menyenangkan. Rasanya malah sangat menakutkan. Bisa juga dipanggil karena kiai hapal dengan si santri. Dalam beberapa aspek, tentu saja ini menyenangkan. Akan tetapi, perlu diketahui, dikenal dan dihapal oleh pengasuh sebenarnya lebih banyak tidak enaknya daripada enaknya. Dan hal ini disadari betul oleh Majidun yang bersiap-siap menuju kediaman Kiai Ali.
Kedatangan Kiai Ali di Krapyak
Kiai Ali merupakan putra dari K.H. Ma’shum (di kalangan pesantren sering dikenal panggilan “Mbah Ma’shum Lasem”), kiai legendaris pengasuh pesantren Al-Hidayah di Lasem, Rembang. Setelah belajar mengaji ke beberapa pesantren (termasuk ke Pesantren Tremas, Pacitan), Kiai Ali menikahi Rr. Hasyimah, putri dari K.H. M. Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, pada 1938.
Sepeninggal Kiai Munawwir, Kiai Ali kembali ke pesantren ayahnya di Lasem. Mengelola pesantren ayahnya dan membuat pesantren Lasem ini berkembang pesat. Di saat bersamaan di Yogyakarta (saat itu zaman pendudukan Jepang), keadaan pesantren Krapyak tidak begitu baik.
Maka, dikirimlah utusan ke Lasem beberapa kali untuk membujuk Kiai Ali ikut serta membantu Pesantren Krapyak. Sayang, permintaan ini ditolak. Barangkali bagi Kiai Ali, putra-putra Kiai Munawwir lebih punya hak untuk memimpin pesantren Krapyak daripada dirinya yang hanya menantu. Sampai beberapa kali utusan ke Lasem tidak membuahkan hasil, akhirnya Nyai Sukis (istri Kiai Munawwir sekaligus ibu mertua Kiai Ali) bersama K.H. Raden Abdullah Afandi Munawwir (putra Kiai Munawwir) datang langsung membujuk Kiai Ali.
Pada 1943, Kiai Ali menerima permintaan tersebut. Di Kraypak, ia membuat sistem pengasuhan “tiga serangkai”.
Pertama, KH. Raden Abdullah Affandi Munawwir, pengasuh yang menangani urusan relasi pesantren dengan dunia luar. Posisi ini diperlukan sebab di periode tersebut, Yogyakarta sempat menjadi ibu kota negara dan menjadi sasaran serangan militer, baik oleh Jepang maupun Belanda pada periode pasca-kemerdekaan.
Pengasuh kedua, KH. Raden Abdul Qadir Munawwir, adik dari Kiai Raden Abdullah, pengasuh yang menangani program hafalan Alquran. Kemudian terakhir Kiai Ali, sebagai pengasuh yang bertanggung jawab menangani pendidikan santri, termasuk mengelola pengajian kitab kuning.
Sayangnya, baik Kiai Raden Abdullah dan Kiai Raden Qadir tidak berumur panjang. Keduanya meninggal dunia di periode 1960-an. Pada akhirnya, Kiai Ali menjadi satu-satunya kiai besar yang tersisa mengelola pondok pesantren Krapyak sampai wafat pada 1989 di usia 74 tahun.
Dekat dengan santri
Salah satu yang dikenal dari sosok Kiai Ali adalah kedekatannya dengan anak didik. Ada banyak kisah yang bisa menjadi contoh. Seperti memberi uang kepada santri-santrinya yang ingin melihat acara sekaten tetapi, karena kere, mereka hanya bisa melihat acara sekaten dari jauh tanpa berani mendekat.
Selain itu, Kiai Ali juga dikenal selalu mencoba mengenal lebih jauh santri-santrinya yang nakal. Mencoba akrab, agar tahu apa sebenarnya permasalahan yang dialami santrinya tersebut. Dan inilah yang dialami oleh Ahmad Majidun, santri pesantren Krapyak sekaligus mahasiswa semester akhir IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada periode awal 1980-an.
Seperti halnya mahasiswa aktif lain, Majidun adalah tipe mahasiswa yang sibuk dengan komunitas dan organisasi kampus. Dan yang namanya organisasi kampus, kadang Majidun harus berkegiatan dan menginap di luar kota. Itu artinya Majidun sering tidak kembali ke pondok selama beberapa hari dan jelas membuat Majidun hampir setiap saat membolos ngaji. Bahkan termasuk jadwal ngaji yang diajar oleh Kiai Ali sendiri.
Itulah membuat Kiai Ali memanggil Majidun pagi-pagi.
“Injih, Pak Kiai. Ada apa, ya?” kata Majidun menghadap Kiai Ali.
“Oh, Kang Majidun. Aku mau tanya, hari ini lagi ada acara tidak, ya?” tanya Kiai Ali.
Majidun heran. Ada urusan apa Kiai Ali menanyakan jadwal acara seorang santri seperti dirinya?
“Tidak ada Kiai,” kata Majidun.
“Oh, kalau begitu ikut saya jalan-jalan,” kata Kiai Ali.
Majidun tentu kaget bukan kepalang. Tanpa alasan yang jelas, Kiai Ali tiba-tiba mengajaknya jalan-jalan. Dalam pikiran Majidun, ini jelas sebuah kehormatan bisa diajak jalan-jalan dengan Kiai Ali.
“Jalan-jalannya naik mobil, ya?” kata Kiai Ali.
Majidun bingung. “Oh, Pak Kiai mau saya supiri?”
“Oh, ndak perlu. Kamu duduk aja jadi penumpang,” kata Kiai Ali.
Majidun semakin bingung.
Di perjalanan percakapan tidaklah terjadi begitu intens. Tentu saja Majidun kikuk. Ia satu kendaraan dengan pengasuh pesantrennya, di saat bersamaan Majidun menyadari ia sering membolos mengaji. Dadanya berdegup kencang karena mendapati ada sesuatu yang tidak beres.
“Anu, ini kita mau kemana, Pak Kiai?” tanya Majidun sambil takut-takut.
Kiai Ali diam sejenak.
“Mau ke kampus,” kata Kiai Ali.
“Hah? Kampus mana Kiai?”
“Ke Kampus IAIN,” jawab Kiai Ali.
Deg!
Tentu saja muka Majidun jadi tidak enak.
Adalah wajar ketika Majidun menggunakan statusnya sebagai mahasiswa untuk jadi alasan ketidakaktifannya mengaji. Alasan yang sama untuk jawaban kenapa ia jarang pulang ke pondok. Jika Kiai Ali sampai tahu bahwa ia juga jarang masuk kuliah dan ke kampus karena cuma aktif di organisasi saja, masalah bisa tambah runyam. Bisa-bisa Majidun tidak akan punya alasan lagi.
Sesampainya di kampus IAIN, Majidun memberanikan diri bertanya. “Ada urusan apa Kiai ke IAIN?”
Sambil tersenyum, Kiai Ali menjawab, “Ya mengantar anakku yang paling ganteng sendiri, Kang Mas Ahmad Majidun kuliah, toh,” kata Kiai Ali dengan jelas. Majudin rasanya ingin pingsan. Dalam pikirannya, Kiai Ali pasti juga tahu kalau ia juga jarang kuliah.
Karena merasa tertangkap basah, Majidun pun turun dari mobil. Tanpa membawa buku dan alat tulis satu pun. Jadwal dan ruangan kelas pun tak tahu karena memang tidak mempersiapkan diri bahwa hari ini bakal ke kampus.
“Sudah, ya? Aku pamit dulu,” kata Kiai Ali.
“Oh, baik Kiai,” kata Majidun sambil menyalami Kiai Ali.
Dalam pikiran Majidun cuma ada satu hal, kenapa Kiai Ali sampai tahu kalau ia jarang kuliah sampai mengantar dirinya ke kampus?
Nalar yang biasa dipakai saat itu adalah Kiai Ali pasti punya semacam karomah, atau seperti ajian sakti yang bisa membaca mata batin santri-santrinya. Termasuk mata batin Majidun. Hal inilah yang membuat Kiai Ali tahu bahwa ternyata selama ini Majidun pamit ke kampus bukan untuk kuliah.
Setelah ditinggal Kiai Ali, di perjalanan menuju fakultas, Majidun bertemu dengan salah satu temannya.
“Wah, Majidun keren, ke kampus diantar pakai mobilnya Pak Kiai Ali sekarang,” kata temannya.
“Lho, kok, kamu kenal? Sampai tahu mobilnya Kiai Ali segala?” tanya Majidun.
“Ya, kenal. Pak Kiai Ali, kan, dosen kampus sini. Beliau, kan, sering ke kampus.”
Mendengar itu, Majidun rasanya ingin pingsan beneran.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS