tirto.id - Pekan terakhir Liga Sepakbola Amerika Serikat (Major League Soccer/MLS), Senin (7/10/2019) waktu Indonesia, menjadi momen getir bagi klub Colorado Rapids. Bertandang ke Banc of California Stadium, mereka ditekuk tuan rumah Los Angeles FC dengan skor 3-1.
Kendati demikian, bagi kiper Colorado Rapids Tim Howard, momen itu tetap akan ia kenang, dan mungkin untuk selamanya. Soalnya, laga tersebut merupakan pertandingan profesional terakhir pemain berusia 40 tahun tersebut.
Per akhir musim ini, Howard memutuskan berpisah dari panggung yang membesarkan namanya.
“Penyesalan [karena kalah] jelas ada. Tapi tentu, itu terlalu kecil untuk disebutkan,” kata Howard setelah pertandingan.
Howard bukan kiper sembarangan. Tak cuma di AS, dia tercatat sudah malang melintang bermain untuk dua klub besar Liga Inggris (EPL): Manchester United dan Everton.
Memang, tidak banyak gelar yang diraih Howard. Beberapa trofi yang dia sabet hanya sekelas FA Cup, Piala Liga, dan Community Shield. Tapi, jika menilik rapor penampilannya, penonton sepakbola awam sekalipun akan paham bahwa Howard bukan kiper semenjana.
Menurut hitung-hitungan laman resmi Premier League, di Liga Inggris Howard sudah tampil 399 kali dengan rapor cleansheets (nirbobol) sebanyak 132 pertandingan. Howard juga mencatatkan 992 penyelamatan selama bermain di divisi tertinggi Inggris tersebut.
Saking vitalnya untuk MU di era 2004-2007, manajer Setan Merah saat itu, Sir Alex Ferguson, berulang kali memuji Howard habis-habisan di depan media.
“Dia gesit, selalu waspada, punya daya tahan, semangat, dan kecepatan. Semua itu telah dia tampilkan di hadapan kami,” kata Ferguson ketika diwawancarai The Independent Januari 2004 lalu.
Bekas juru taktik Everton, Roberto Martínez, menilai Howard bukan hanya bagus di lapangan, tapi juga berpengaruh di ruang ganti.
“Aku rasa dia selalu memimpin tim dengan kalem, dan itu penting. Tak terhitung berapa kali dia mengarahkan suasana tim di ruang ganti, atau membantu pemain muda yang baru datang. Aku adalah pelatih yang beruntung karena bisa jadi saksi kontribusinya tak menyurut selama 10 tahun membela Everton,” kata Martinez kepada ESPN.
Howard juga sosok pemain penting bagi timnas AS. Lelaki kelahiran 6 Maret 1979 ini telah menorehkan 120 caps dan 42 nirbobol untuk Negeri Paman Sam.
Jika digabung, menurut Transfermarkt, sepanjang karier profesionalnya Howard tercatat tampil 610 kali dan mencatatkan 193 nirbobol. Tak heran jika LA Times melabeli Howard dengan julukan 'kiper terbaik AS sepanjang masa.'
Mengidap Penyakit dan Dicap Aneh
Menjadi ikon penjaga gawang yang dipuja sama sekali tak terlintas di benak Tim Howard kecil. Howard justru meyakini hidupnya bukan hal yang pantas disyukuri sebab semuanya serba buram.
Howard lahir di keluarga yang tidak bisa dibilang 'berada'. Ayah dan ibunya berpisah sejak dia masih tiga tahun. Howard lantas hidup di sebuah apartemen kecil bersama ibunya, Esther, dan dua saudaranya hingga remaja.
Karena harus menghidupi anak-anaknya, ibu Howard bahkan sampai menekuni dua pekerjaan sekaligus.
Kulminasi dari segala kenelangsaan itu adalah ketika Howard menyadari dia mengidap dua penyakit sekaligus: Sindrom Tourette dan Obsessive Compulsive Disorder (OCD).
Sindrom Tourette (TS) adalah penyakit neuropsikiatrik yang membuat seseorang mengeluarkan ucapan atau gerakan spontan tanpa bisa mengontrolnya. Sementara OCD adalah gangguan mental yang menyebabkan penderitanya melakukan tindakan berulang-ulang.
Dalam buku autobiografinya, The Keeper: The Unguarded Story of Tim Howard (2015), Howard mengaku sudah merasakan gejala dua penyakit tersebut sejak masih berusia enam tahun.
Ketika sedang di kelas, Howard kecil kerap refleks mengacungkan jari.
“Kadang aku heran kenapa aku selalu melakukannya. Dalam satu kelas aku bisa sampai enam-tujuh kali mengacungkan jari. Kalau sudah kebingungan ketika guru menanyai apa yang ingin kukatakan, biasanya aku akan berpura-pura ingin ke toilet,” ungkapnya.
Kebiasaan itu makin aneh seiring Howard beranjak dewasa. Setiap berangkat sekolah, misalnya, Howard jadi sering memasukkan batu dan pasir ke dalam tas. Atau contoh lain, ia akan memunguti sampah tanpa alasan yang jelas.
Penyakit ini semakin parah saat Howard berusia 11 tahun. Saat itu dia sulit berkomunikasi dengan orang lain kecuali menyentuhnya terlebih dulu.
“Jika aku belum menyentuh seseorang, tak peduli seberapa keras pun aku mencoba, aku tidak bisa bicara dengannya. Oleh sebab itu, aku mulai sering berpura-pura menepuk bahu temanku, kadang memukul, atau di level lebih ekstrem: berpura-pura menabrakkan diri dengan orang asing supaya bisa bicara dengannya,” aku Howard dalam sebuah kolom di The Guardian.
Periode yang melelahkan itu bikin Howard kerap dicap orang aneh.
Dia mulai jengah dengan kehidupan sosial, terutama rutinitas sekolah. Saat Esther menceritakan penyakit Howard ke pihak sekolah, para guru justru menuduhnya berbohong hanya demi melindungi kebiasaan buruk Howard memukul orang atau membawa batu.
“Aku mulai tidak betah lagi berada di kelas. Duduk berjam-jam tanpa melakukan sesuatu [secara fisik], hal seperti itu adalah penderitaan bagiku.”
Keterbatasan sebagai Senjata
Sinar terang baru muncul ketika suatu hari dia berkonsultasi dengan dokter. Howard diberi tahu bahwa pengidap TS dan OCD punya kelebihan yang tak dimiliki banyak orang: bisa belajar sesuatu lebih cepat.
“Awalnya aku meragukan perkataan dokter itu, tapi setelah aku buktikan, kurasa dia tidak berbohong,” kata Howard.
“Suatu hari aku menyaksikan video rekaman pertandingan Pelé dengan saksama. Sorenya, aku langsung bisa meniru beberapa gerakan yang sama,” kisah Howard.
Saat itu, di usia menjelang 12 tahun, sepakbola memang jadi pelarian paling mujarab bagi Howard. Di atas lapangan, dia mengaku merasa lebih bebas dan tidak terkekang. Klub amatir pertamanya bernama The Rangers.
Kalaupun ada yang mengganggu pikiran, itu adalah kebiasaan sang pelatih yang memasang Howard sebagai penjaga gawang hanya karena alasan posturnya yang tinggi besar--1,91 meter. Howard remaja “benci betul dengan posisi itu.”
Dia sudi menempati posisi tersebut cuma karena satu alasan: pelatih menjanjikannya bermain sebagai striker seandainya mau menjadi kiper di setengah babak awal.
“Aku sebenarnya tampil bagus saat jadi penjaga gawang. Tapi ketika gawangku kemasukan, aku selalu bisa merasakan semua orang sedang menghakimiku. Aku seperti jadi satu-satunya manusia yang bikin banyak orang kecewa,” terang Howard.
Tapi justru karena itulah Howard terus belajar. Howard ingin membuktikan bahwa dia kompeten dalam banyak hal, bahkan saat memerankan posisi yang sebetulnya dia benci sekalipun.
Pelan tapi pasti, Howard menikmati proses itu. Kariernya melesat bak anak panah. Dia mentas ke level senior dengan memperkuat North Jersey Imperials, MetroStars, hingga kemudian dilirik Manchester United dan Everton.
Perjalanan Howard di panggung sepakbola Eropa paripurna pada 2016 lalu, saat dia memutuskan pulang ke AS. Ia menghabiskan tiga tahun terakhir untuk memperkuat Colorado Rapids.
“Aku sebenarnya ingin menjadi penjaga gawang dan bermain sampai usiaku menginjak 80,” kata Howard seperti dilansir LA Times baru-baru ini. “Tapi sayang semua tidak bisa bekerja dengan cara demikian, tubuhku berkata lain.”
Howard kini telah gantung sepatu. Tapi perjuangannya melawan berbagai keterbatasan akan terus hidup dan menginspirasi orang-orang yang mau melirik kisahnya.
Editor: Rio Apinino