Menuju konten utama

Kapolri dan Sekeping Koin

Tito adalah anak bawang dalam daftar para jenderal polisi berbintang tiga yang ada pada saat ini. Sesuai undang-undang, hanya polisi dengan pangkat komjen yang bisa diajukan sebagai calon kapolri. Tito adalah komjen termuda dari 8 kandidat yang ada.

Kapolri dan Sekeping Koin
undefined

tirto.id - Manuver itu datang ketika para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah sibuk mengepak koper. Maklumlah, masa reses hampir tiba, demikian juga pesta merayakan hari raya Idul Fitri. Rabu (15/6) pagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengutus Menteri Sekretaris Negara Pratikno datang ke gedung DPR mengantar sepucuk surat. Isinya presiden secara resmi mengajukan nama Komisaris Jenderal (Komjen) Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang baru. Tito akan menggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang akan pensiun, Juli ini.

Ini kabar yang menggelegar. Tito adalah anak bawang dalam daftar para jenderal polisi berbintang tiga yang ada pada saat ini. Sesuai undang-undang, hanya polisi dengan pangkat komjen yang bisa diajukan sebagai calon kapolri. Tito adalah komjen termuda dari 8 kandidat yang ada. Ia alumni Akpol 1987, jauh lebih muda daripada Komjen Budi Gunawan (akpol 1983) dan beberapa Komjen yang lain. Dari sisi usia pun demikian, Tito masih 51 tahun, masih 7 tahun masa dinas aktifnya sebagai anggota Polri. Lantas, mengapa Jokowi terpaksa harus bermanuver? Mudah diduga, alasannya pasti satu: belitan politik.

Sejarah tahun 2010 memang berulang. Ketika itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga terpaksa harus bermanuver, bahkan lebih radikal. SBY harus memberikan pangkat bintang 3 kepada Inspektur Jenderal Timur Pradopo dalam semalam, dan kemudian langsung melantiknya menjadi Kapolri, keesokan harinya, menggantikan Jenderal Bambang Hendarso Danuri.

Itu semua demi melewati sejumlah nama calon kapolri lain yang lebih memenuhi persyaratan dari sisi karier, pengalaman dan kepangkatan, termasuk calon terkuat Komjen Nanan Soekarna (Wakapolri). Pada masa itu, dari segala aspek, Nanan memang seolah tak terbendung. Nanan adalah pemegang Adhi Makayasa (1978), dan ia juga pandai mengais simpati publik saat tampil flamboyan sebagai Kadiv Humas Polri menghadapi cercaan publik pada konflik Cicak vs Buaya, tahun 2009.

Hanya satu cacatnya di mata SBY, ia dianggap terlalu rapat ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Megawati, yang notabene saat itu adalah lawan politiknya. Bagi SBY, memilih Nanan, memiliki risiko politik yang besar. SBY pun berpaling.

Situasi serupa dihadapi oleh Jokowi. Presiden tersudut oleh fakta bahwa kandidat paling kuat adalah Komjen Budi Gunawan, sosok yang pernah ia anulir pemilihannya sebagai kapolri setelah dinyatakan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tekanan itu datang dengan fakta rekatnya hubungan Budi Gunawan dengan Megawati. Budi adalah mantan ajudan Megawati sewaktu beliau menjadi presiden, 2002-2004.

Belum lagi, jika kita melihat lalu lintas pemberitaan media dalam 2 pekan terakhir. Para politisi dari parpol manapun, para pengamat, tokoh, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seolah semua sepakat mendukung Budi Gunawan sebagai kapolri baru pengganti Badrodin Haiti.

Masalahnya, Jokowi tak sepenuhnya suka dikendalikan parpol. Memilih Budi Gunawan akan seperti memercik air di dulang, justru menjauhkan presiden dari semangat pemberantasan korupsi. Walaupun penetapan tersangka Budi Gunawan dicabut oleh pengadilan, tentu tak mudah menghapus opini publik yang akan terus berpikir sebaliknya.

Memilih jenderal senior selain Budi Gunawan, bukan hal yang bijak. Dalam lingkungan Mabes Polri, Budi Gunawan adalah sosok yang sangat berpengaruh, terlebih jabatannya sebagai pemimpin Wanjakti (Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi) yang menentukan karier dan penempatan perwira tinggi Polri. Tentu sulit menemukan perwira tinggi yang bukan berada dalam bayang-bayang Budi Gunawan.

Sebetulnya ada pilihan lain, yakni menunjuk Komjen Putut Eko Bayuseno. Tapi kendalanya ada 2 hal: pertama, Putut tidak memperlihatkan ia sanggup meredam pengaruh Budi Gunawan. Kedua, untuk memilihnya Jokowi memerlukan dukungan politik SBY, - Putut adalah mantan ajudan SBY - hal yang mungkin dihindari Jokowi saat ini; mengingat sikap “berbalas pantun” keduanya akhir-akhir ini.

Dalam situasi tersebut, Tito berani berbeda. Ia terlihat ada di luar pengaruh Budi Gunawan. Ketika Tito menjadi Kapolda Metro Jaya, ia bahkan berani memberikan statemen yang di luar kewenangannya. Ia menolak wacana untuk memberikan hak bagi militer untuk ikut menangkap pelaku terorisme. Ini adalah domain yang mestinya menjadi hak Mabes Polri.

Hal kecil lainnya, saat mantan Kabareskrim Komjen Suhardi Alius (1985) terpaksa harus menjalani operasi usus di RS Pondok Indah, Tito adalah jenderal yang menungguinya selama masa operasi itu bersama Badrodin Haiti. Padahal, seperti kita tahu, Suhardi tengah dalam “masa pengasingan” menyusul heboh KPK vs Budi Gunawan. Suhardi bahkan sempat dituduh sebagai “pengkhianat” oleh Kabareskrim saat itu, Komjen Budi Waseso.

Memilih Tito, walaupun dengan usia paling muda, adalah opsi terbaik yang dimiliki oleh Jokowi. Toh di luar usia dan senioritas, Tito terbilang layak. Ia punya kredit sebagai penangkap Tommy Soeharto, pelopor Densus 88, pernah menjabat Kapolda Tipe A dan juga punya gelar doktor Ilmu Strategi dari Nannyang Technologies University Singapura.

Tapi apakah Tito sama sekali terlepas dari riakan politik? Rasanya tidak juga. Tito memang tidak nampak bergaul dengan partai politik, tapi ia terlihat luwes berkelebatan di lingkungan tokoh pengambil keputusan negara saat ini. Jangan lupa, namanya sempat diakui sebagai “sahabat” oleh Riza Chalid saat menemani mantan Ketua DPR Setya Novanto menemui petinggi Freeport. Dan, jangan abaikan juga, bahwa setelah kedatangan Menkopolkam Luhut B Panjaitan ke Munas Golkar di Bali, Setya Novanto mulus menggenggam kursi Ketua Umum Partai Golkar.

Mungkin masalahnya tak lebih dari sekeping uang koin. Saat keping koin dilempar ke atas, tinggal tunggu sisi koin mana yang terbuka di atas tangan. Tito beruntung memilih sisi yang tepat.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.