Menuju konten utama

Kapal Nelayan China Kedapatan Pakai Pukat Harimau di Laut Natuna

Pemantauan udara yang dilakukan pasukan TNI menemukan penggunaan pukat harimau di Laut Natuna oleh kapal nelayan China. 

Kapal Nelayan China Kedapatan Pakai Pukat Harimau di Laut Natuna
Prajurit TNI AL di atas KRI Tjiptadi-381 saat mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020).ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pd.

tirto.id - Dua kapal nelayan China disebut kedapatan menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan di perairan laut Natuna. Informasi ini diungkapkan oleh Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksamana Madya TNI Yudo Margono.

"Berdasarkan [hasil] pantauan kami dari udara, mereka memang [kapal] nelayan China yang menggunakan pukat harimau," kata Yudo dalam konferensi pers di Pangkalan Udara TNI AL, Tanjungpinang, Kepri, Minggu (5/1/2020) sebagaimana dilansir Antara.

Dia menegaskan penggunaan pukat harimau di perairan Indonesia jelas-jelas dilarang oleh pemerintah melalui penerbitan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.

Yudo menjelaskan, pada tahun 2016 silam, pasukan TNI pernah menangkap dua kapal nelayan China yang masuk laut Natuna dan menangkap ikan dengan menggunakan pukat harimau.

Setelah itu, kata dia, hingga beberapa tahun kemudian, aktivitas kapal ikan China di laut Natuna tidak ditemukan lagi. Namun, belakangan mereka kembali datang untuk menangkap ikan di perairan Indonesia tersebut.

"Bahkan aktivitas nelayan mereka kini didampingi 2 kapal penjaga pantai [coastguard] dan 1 [kapal] pengawas perikanan China," ujar Yudo.

Menurut dia, pasukan TNI sejauh ini melakukan upaya persuasif dengan meminta kapal penjaga pantai China membawa nelayan-nelayan asal negaranya untuk meninggalkan perairan Natuna.

"Kami lakukan upaya damai. Meminta mereka keluar [dari perairan Indonesia] dengan sendirinya, di samping upaya negosiasi juga dilakukan Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan China," kata dia.

Dia mengakui, sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia, seharusnya nelayan-nelayan China tersebut ditangkap untuk menjalani proses hukum. Namun, saat ini, mereka baru sekedar diusir dari perairan Indonesia.

Yudo menambahkan TNI juga telah menggelar operasi dengan menurunkan dua unsur KRI guna mengusir kapal-kapal nelayan asing yang memasuki laut Natuna. Operasi ini tidak memiliki batas waktu sampai kapal-kapal ikan asing berhenti memasuki perairan Indonesia.

"Fokus kami sekarang ialah menambah kekuatan TNI di sana. Besok akan ada penambahan empat unsur KRI lagi untuk mengusir kapal-kapal tersebut," jelas Yudo.

Patroli Kapal RI di Laut Natuna Ditingkatkan

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan kegiatan patroli kapal keamanan Indonesia di perairan Natuna, akan ditingkatkan. Jumlah kapal patroli pun ditambah.

"Patroli akan diperkuat, penguatan kapal-kapal kita, yang sekarang ada di wilayah lain, akan dikerahkan ke sana untuk menghalau," kata Mahfud di Kampus Universitas Brawijaya, Malang, pada hari ini.

Penguatan patroli itu merupakan respons pemerintah Indonesia setelah sejumlah kapal nelayan asing, termasuk asal China, kedapatan aktif melakukan penangkapan ikan secara ilegal dalam kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, di laut Natuna.

Menurut Mahfud, kapal-kapal patroli keamanan Indonesia akan mengusir kapal-kapal ikan asing milik China dan negara lain yang memasuki laut Natuna secara ilegal.

"Kita tidak berperang, akan tetapi menghalau untuk menjaga daerah kita sendiri," ujar Mahfud.

Pemerintah China selama ini secara sepihak mengklaim perairan Natuna sebagai bagian wilayah yang disebut Nine Dash Line.

Adapun Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus adalah wilayah historis Laut Cina Selatan seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen di dalamnya mereka klaim sebagai hak maritimnya, bahkan meski wilayah-wilayah ini berjarak hingga 2.000 km dari Cina daratan. Garis putus-putus itu pertama kali muncul di peta Cina pada 1947, setelah Perang Dunia II selesai.

Namun, pemerintah Indonesia sudah menegaskan tidak pernah mengakui klaim China tersebut. Mahfud menilai klaim itu juga tidak didasari bukti kuat.

"China menyatakan itu hak tradisional mereka, karena sejak ribuan tahun nelayan mereka ke wilayah itu. Apa dasarnya, dan apa buktinya?" Kata Mahfud.

Sikap pemerintah Indonesia itu didasarkan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 yang menyatakan bahwa perairan Natuna merupakan wilayah ZEE Indonesia.

Baca juga artikel terkait NATUNA

tirto.id - Hukum
Sumber: Antara
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH