tirto.id - Sebelum pihak kepolisian merilis sketsa wajah terduga pelaku kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan pada akhir 2017, Kapolri Tito Karnavian sudah lebih dahulu mempublikasikannya. Akan tetapi ada keanehan: sketsa yang diperlihatkan awak Polri dan atasannya tersebut berbeda rupa.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Raden Prabowo Argo Yuwono berkilah. Tidak ada perbedaan antara sketsa yang dipublikasikan polisi dengan atasannya itu. Menurutnya, sketsa terduga pelaku ada tiga, sementara polisi secara institusi dan Tito merilis sketsa sama, namun dengan versi berbeda.
Di lain pihak, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menegaskan bahwa perbedaan sketsa, dengan menitikberatkan pada alur waktu publikasi, adalah wajar belaka. “Kan itu namanya temuan-temuan berkembang,” ucapnya.
Membuat sketsa terduga pelaku memang sukar dan perbedaan atau kesalahan rupa wajar pula terjadi. Vox dalam laporannya yang berjudul “Is It Time To Retire The Police Sketch?” menyebut kesukaran itu terjadi karena sketsa dibuat berdasarkan ingatan manusia atas wajah seseorang.
Dan ingatan manusia sangat tidak bisa diandalkan manakala harus mendeskripsikan bagian-bagian wajah, seperti bentuk hidung, alis, bibir, atau pipi seseorang.
Katakanlah, coba deskripsikan wajah Brad Pitt atau Lionel Messi atau Nikki Lauda? Wajah mereka memang familiar dan mudah dikenali, tetapi sangat sukar dideskripsikan dengan kata-kata, yang mana merupakan sumber utama polisi dalam membuat sketsa.
Sketsa hanya akan mampu dibuat bagus tatkala terduga pelaku memiliki sesuatu yang khas di wajahnya. Misalnya saja seperti codet di pipi, gigi yang maju, atau telinga yang runcing.
Masih seturut laporan Vox, dari 160 sketsa yang diriset, hanya 13 sketsa yang terbilang baik dan memiliki kemiripan dengan terduga pelaku. Artinya, tingkat akurasi sketsa yang dibuat polisi hanya berkisar di angka 8 persen.
Kendati demikian, upaya mengungkap pelaku berdasarkan sketsa jelas tidak serta merta ditinggalkan. Saat ini teknologi untuk penciptaan sketsa demi membantu memperbaiki kualitas tengah dirancang. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh University of Winchester di Inggris.
Sebagaimana dilaporkan Vox, universitas tersebut menggunakan Big Data dan algoritma khusus bernama Genetic Algorithm untuk membuat rupa pelaku. Hasilnya, selepas dicoba di lima departemen kepolisian, tingkat akurasi sketsa meroket hingga 40 persen.
Selain dengan Big Data dan Genetic Algorithm yang sukses membantu polisi membuat sketsa lebih baik, Reuben Brewer, seorang peneliti pada SRI International di Menlo Park, California, Amerika Serikat, juga tengah mengembangkan robot polisi yang diberi nama GoBetween.
Dalam laporan The Washington Postdisebutkan, GoBetween merupakan robot yang bertindak selayaknya pemeran pengganti untuk polisi ketika hendak menindak masyarakat yang melanggar aturan.
Penciptaan GoBetween hadir karena interaksi langsung antara polisi dan masyarakat yang hendak ditindak adalah salah satu titik berbahaya. Polisi kadang sewenang-wenang, sementara di sisi lain, masyarakat yang ditindak juga kadang terlalu reaktif.
Setiap tahun, polisi melakukan penghentian kendaraan yang tengah melaju sebanyak 50.000 kali dengan berbagai alasan, misalnya, kendaraan terbukti melaju di luar ketentuan. Sialnya, menurut laporan yang dirilis Uniform Crime Reporting, 5.108 petugas kepolisian diserang ketika melakukan tugasnya pada tahun 2017. Di sisi lain, pada 2019 ini, menurut laporan The Washington Post, 323 warga tewas akibat kesewenang-wenangan polisi menindak.
Brewer menjelaskan, keuntungan menugaskan robot seperti GoBetween untuk melakukan penindakan adalah “bahaya fisik kemudian hilang. Dan robot dirancang berperilaku defensif, tetapi jika warga menyerangnya tidak akan ada manusia yang jadi korban, hanya uang.”
GoBetween sendiri akan dirancang bergaya polisi dengan mengenakan topi khusus. Robot tersebut juga disematkan dua kamera video, microphone, speaker, hingga pemindai barcode yang berguna memeriksa kartu identitas warga yang hendak ditindak.
Robot GoBetween dengan demikian dapat menjadi semacam win-win solution. Adakah inovasi yang lain?
Kamera Sebagai Pengendali
Peter K. Manning, dalam studi berjudul “Information Technologies and the Police” (1992) menyebut bahwa kepolisan, dalam hal ini di AS, telah bekerja menggunakan teknologi semenjak teknologi lahir.
Pada 1877 misalnya, kepolisian di Albany, New York, telah menggunakan telegraf untuk berkomunikasi. Lalu pada 1923, teletype digunakan oleh kepolisian Pennsylvania dan kepolisian Detroit memanfaatkan radio searah sejak 1928.
Pada dekade 1930-an, seiring dengan berkembangnya mobil, polisi pun memanfaatkan teknologi itu untuk melakukan tugas-tugasnya. Dan penggunaan teknologi terkini pada kepolisian, menurut Manning, didukung oleh Komisi Presiden bernama Law Enforcement and Administration of Justice yang dibentuk pada 1967.
Penggunaan teknologi, menurut pandangan komisi itu, dapat berguna sebagai “sarana pengendalian kejahatan, menyederhanakan waktu pemrosesan tindak kejahatan, mempercepat gerak polisi ke TKP, dan meningkatkan penangkapan.”
Namun, Manning tegas menuliskan bahwa bersatunya teknologi ke dalam tubuh kepolisian sesungguhnya memiliki makna sosial: mengubah organisasi yang ditanami teknologi untuk lebih baik, bukan hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga pihak-pihak yang terlibat, khususnya masyarakat sipil.
Meskipun banyak teknologi yang dipakai polisi, tak bisa dipungkiri bahwa kamera menjadi alat yang paling populer dan terbukti sangat berpengaruh. Allyson Roy, dalam studinya berjudul “On-Officer Video Cameras: Examining the Effect of Police Department Policy and Assignment on Camera Use and Activation” (PDF) menyebut penggunaan kamera oleh pihak kepolisian bisa ditarik hingga 1956.
Pada masa itu, polisi menggunakan kamera sebagai alat pengawas lalu lintas. Lantas, empat tahun berselang polisi memasang kamera di Trafalgar Square untuk memantau situasi banyaknya orang-orang yang berkunjung ke parlemen.
Pemanfaatan kamera untuk mengawasi berkembang seiring dengan lahirnya Closed Circuit Television (CCTV). Roy, yang merujuk meta-analisis yang dilakukan oleh Welsh dan Farrington (2009), menemukan fakta bahwa CCTV memang terbukti menyebabkan penurunan tingkat kejahatan yang sederhana namun signifikan.
Sialnya, di awal penggunaan kamera oleh polisi mereka menggunakannya untuk memantau masyarakat. Padahal, relasi polisi dan masyarakat kadang menegangkan. Kedua belah pihak, secara bergantian, jadi korban.
Pada dekade 1960-an polisi kemudian memasang kamera pada dashboard mobil mereka. Tujuannya sederhana: memantau kerja dan interaksi dengan masyarakat. Pemasangan ini berujung positif. Community Oriented Policing Services (COPS) bahkan menyiapkan jutaan dolar untuk membuat kamera terpasang di semua mobil petugas kepolisian.
Menurut The International Association of Chiefs of Police (IACP) adanya kamera pada dashboard mobil polisi diklaim meningkatkan keamanan petugas sekaligus juga meningkatkan integritas mereka karena kerja terpantau.
Namun demikian, pada tahun 2000, kelompok masyarakat di New Jersey sempat melakukan gugatan hukum kepada polisi dengan bukti berupa hasil rekaman kamera dashboard tersebut
Komandan Mike Kurtenbach dari Departemen Kepolisian Phoenix mengatakan, “kerja kami melakukan penegakan hukum tidak hanya di dalam mobil atau di sekitar mobil.”
Maka sebab itu, kamera yang tertanam di dashboard mobil polisi, dalam beberapa kasus, tidak berpengaruh. Kamera seharusnya melekat pada tubuh polisi alias perlu hadirnya on-officer video camera. Dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan YouGov pada 2015, sebagaimana dilaporkan Vox, 88 persen warga AS mendukung ide tersebut.
Ada pun salah satu alasannya: polisi kadang sewenang-wenang melakukan tugasnya. Apalagi di AS orang-orang kulit hitam sering memperoleh perlakuan berbeda dari aparat sampai-sampai melahirkan kampanye media sosial bertajuk #BlackLiveMatter.
Di bawah pemerintahan Barack Obama, AS meloloskan kehendak rakyat ini. Pada 2016, 95 persen departemen kepolisian di kota-kota besar Amerika Serikat sudah siap menggunakan kamera pada tubuh mereka.
Kamera yang melekat pada tubuh petugas kepolisian, menurut penelitian yang dilakukan Center for Evidence-Based Crime Policy, George Mason University, menuai hasil positif. Tingkah laku aparat dianggap lebih baik dan opini publik pada polisi juga bagus.
Sayangnya, teknologi pemasangan kamera ini terbilang mahal. Di Wahoo, Nebraska, misalnya, diperlukan dana hingga $15.000 untuk menyiapkan kamera bagi lima personel. Sementara untuk memelihara sistem ini, misalnya untuk menyimpan rekaman yang dihasilkan, setidaknya dibutuhkan $300.000.
Nominal tersebut semestinya tidak perlu dianggap besar jika tujuannya adalah menjaga aparat agar tidak berlaku sewenang-wenang.
Editor: Eddward S Kennedy