tirto.id - Pembangunan Jalan Layang Ciroyom di Kota Bandung menimbulkan kegaduhan. Pasalnya, proyek ini rencananya akan menggusur bagian depan bangunan cagar budaya rumah pemotongan hewan yang berada di Jalan Arjuna.
David Bambang Soediono dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Bandung, seperti dikutip Detik, menyebut bahwa cagar budaya merupakan satu kesatuan yang utuh, otentik, dan signifikan. Jika satu bagian dipotong, maka satu kesatuan akan terganggu.
Saat ini, rumah potong hewan tersebut digunakan sebagai kantor Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung. Kompleks ini peninggalan masa kolonial Belanda dan telah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya.
Dalam lampiran Perda Kota Bandung No. 7 Tahun 2018 disebutkan bahwa bangunan ini terdaftar sebagai Bangunan Cagar Budaya golongan A.
Pembangunan rumah potong hewan yang berada di kawasan Andir ini tidak lepas dari perkembangan politik dan ekonomi di Hindia Belandamasa lalu. Saat itu, pemerintah kolonial berusaha menarik hati masyarakat untuk banyak mengonsumsi produk hewani. Produk yang bersih dan bergizi menjadi label sakti yang disebarluaskan oleh pemerintah.
Proses produksi di rumah potong hewan menghilangkan kesan negatif akan proses pengolahan daging. Menurut koran Preanger Bode edisi 23 Maret 1912, para pedagang daging saat itu memiliki kesadaran rendah akan kebersihan daging yang dijualbelikan. Kehadiran rumah potong ini untuk mendorong pengawasan yang ketat terhadap kebersihan dan kesehatan daging.
Selain dua label di atas, pemerintah juga menggunakan label halal untuk produk daging yang diproduksi. Dalam jurnal berjudul "Bouillon for His Majesty: Healthy halal Modernity in Colonial Java", Chiara Formichi menyebut bahwa penambahan label halal bertujuan untuk memperluas pangsa pasar, terutama masyarakat muslim.
Jejak Sang Arsitek
Secara historis, keiginan untuk mendirikan rumah potong hewan di Bandung sudah muncul sejak lama. Salah satunya dicetuskan oleh Firma H. Jenne en Co yang merupakan importir sapi Australia.
Perusahaan asal Batavia ini mendapat ide untuk mendirikan rumah potong di Bandung atau Cimahi. Bahkan, mereka berencana mengirim para koboi untuk mengawasi sapi-sapi asal Australia yang sulit diatur.
Keinginan Firma H. Jennne en Co tak pernah terwujud. Salah satu alasannya, Pemerintah Kota Bandung akhirnya membuat dua rumah pemotongan sendiri, yakni di Andir di Jalan Arjuna sekarang, dan Pajagalanweg, kawasan Astana Anyar.
Pada mulanya, pemerintah kota akan membangun satu rumah potoh hewan saja untuk menghemat biaya pendirian dan pengelolaan. Meskipun tempat pengolahan masing-masing terpisah, rencana ini mendapat kecaman dari masyarakat yang khawatir akan kehalalan daging sapi yang diproduksi.
Menurut koran Bataviaasch Nieuwsblad edisi 24 Januari 1916, pemerintah kota akhirnya memisahkan proses produksi antara pengolahan daging babi dan sapi. Rumah Potong Hewan Andir dikhususkan sebagai tempat pengolahan daging babi. Sedangkan pemotongan sapi dilakukan di Astana Anyar, yakni di Jalan Pajagalan.
Keinginan pemerintah untuk menyatukan dua tempat pemotongan dalam satu kawasan terus bergulir. Rencana ini mulai dijajagi kembali pada tahun 1928. Pemerintah juga berencana untuk memperluas ruangan administrasi dan menambah gudang yang dilengkapi instalasi pendingin.
Menurut Gerrit Hendriks, insinyur arsitektur di Pemerintah Kota Bandung, pemisahan tempat pemrosesan daging sapi dan daging babi tetap menjadi dasar perbaikan Rumah Potong Hewan Andir. Atas alasan tersebut, Rumah Potong Hewan Andir tetap dimodifikasi supaya memenuhi kriteria kebersihan dan kehalalan.
Dalam buku Architectuur en stedebouw in Indonesie 1870-1970 disebutkan, Gerrit Hendriks merupakan arsitek pembangunan Rumah Potong Hewan Andir. Meskipun tidak terlalu terkenal, arsitek kelahiran Kampen, Belanda, ini memiliki fortopolio arsitektur yang baik di Kota Bandung.
Dalam tulisannya yang dimuat di Chronica Naturae terbitan tahun 1947, Jac. P. Thijsse memuji trio arsitek yakni Gerrit Hendriks, Thomas Karsten, dan E. H. de Roo. Ketiganya digambarkan sebagai orang-orang dengan kemampuan dan cita-cita yang hebat.
Selepas lulus dari de Academie van beeldende Kunsten, Hendriks pernah bekerja sama dengan de Roo di satu biro arsitek di Wegerif tahun 1916-1918. Kerja sama dengan de Roo dilanjutkan di Hindia Belanda saat keduanya bekerja di BOW pada 1918.
Setahun kemudian, Hendriks bekerja di Pemerintah Kota Bandung. Di tahun yang sama, pria kelahiran tahun 1890 ini juga mulai bekerja membangun Gedung Verkeer en Waterstaat dan kantor PTT Bandung (Gedung Sate dan Museum Pos sekarang), di bawah arahan J. Gerber.
Saat bekerja di Pemerintah Kota Bandung, Hendriks bekerja di bagian pekerjaan konstruksi dan pengembangan kota. Dalam buku Architectuur en stedebouw in Indonesie 1870-1970, Huib Akihary menyebut beberapa karya Hendriks di Bandung.
Karya-karya tersebut antara lain kompleks Pekuburan Pandu, sketsa bangunan Indische Pensioenfondsen (Gedung Dwi Warna sekarang), dan gedung bagian radiologi Juliana Ziekenhuis (Rumah Sakit Hasan Sadikin sekarang).
Hendriks bekerja di pemerintah kota sampai Jepang masuk tahun 1942. Bersama hampir semua warga Belanda, Hendriks mendekam di kamp interniran Jepang dan meninggal pada 3 Agustus 1945 di Kamp Baros, Cimahi. Ia dimakamkan di Ereveld Leuwigajah, Cimahi.
Kawasan Andir
Perbaikan rumah pemotongan di Andir didukung oleh pemerintah lewat proyek pembuatan jalan. Menurut Bataviaasch Nieuwsblad edisi 16 Januari 1929, pemerintah kota membangun jalan yang kemudian diberi nama Slacthhuis Weg yang menghubungkan Jalan Kebonjati dan Jalan Arjuna di tahun 1929.
Jalan Arjuna merupakan potongan jalan kecil yang menghubungkan Slachthuisweg dengan Burgemeester Coops weg (Jalan Pajajaran sekarang).
Kawasan Andir semakin terkenal setelah pembukaan lapangan udara militer yang merupakan pindahan dari Lapangan Udara Sukamiskin. Bandara ini kemudian berkembang menjadi lapangan udara yang melayani penerbangan sipil sejak 1928.
Di kawasan ini pula, seturut Haryoto Kunto dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1985),
sebuah kompleks perumahan elite pertama di Bandung didirikan dengan nama Fokkerhuis.
Soft opening penampilan baru Rumah Pemotongan Hewan Andir dilakukan pada Desember 1935. Dalam acara tersebut, sang direktur menjelaskan langkah-langkah pemrosesan daging. Dimulai dari penurunan sapi dari gerbong-gerbong kereta api di peron yang berada di jalur utama Bandung-Cimahi sampai penyediaan daging bagi para pedagang.
Rumah Pemotongan Hewan Andir adalah peninggalan masa kolonial yang memiliki sejarah panjang di Bandung. Selain memiliki kisah sejarah transportasi, arsitektur, dan perkembangan Kota Bandung, ia juga memiliki kisah tentang sejarah sosial dan ekonomi di masa Hindia Belanda.
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi