tirto.id - Sewaktu kuliah di Technische Hoogeschool (THS) di Bandung, Sukarno diajar oleh professor-profesor Belanda. Kemampuan Sukarno pun cukup baik sehingga dapat atensi dari salah seorang dosennya. Sang dosen pun pernah mengajaknya untuk mengerjakan sebuah proyek pemerintah kolonial di Bandung.
“Saya menghargai kecakapanmu dan saya tidak ingin kecakapan ini tersia-sia. Engkau mempunyai pikiran yang kreatif. Jadi saya minta supaya engkau bekerja dengan pemerintah,” kata profesoer itu.
Sukarno sebenarnya agak enggan bergabung, tapi dia tetap disuruh menemui Direktur Pekerjaan Umum. Dia kemudian diminta merancang rumah untuk bupati. Sukarno lalu menceramahi si direktur: bahwa Kota Bandung dirancang seperti kandang ayam dengan jalan-jalan yang sempit dan itu dibuat berdasar cara pikir Belanda yang sempit.
Sukarno yang kesal lalu pergi menemui profesornya lagi. Kepada sang profesor Sukarno bilang dirinya memang ingin berkarya tapi tidak untuk Belanda. Kisah itu diceritakan Sukarno kepada Cindy Adams dan kemudian dimuat dalam autobiografi Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat (1966, hlm. 92-93).
Profesor dalam cerita itu adalah Charles Prosper Wolff Schoemaker. Selain mengajar di THS, Schoemaker juga dikenal sebagai perancang Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika No. 65 (1921), Observatorium Boscha di Lembang (1925), dan Villa Isola di kompleks kampus UPI Bandung (1932).
Meski sempat kesal, Sukarno rupanya masih menaruh hormat pada gurunya itu. Dia pun pernah memuji Schoemaker yang dinilainya punya sisi humanis.
“Profesor Ir. Wolff Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warna kulit. Baginya tidak ada Belanda atau Indonesia. Baginya tidak ada pengikatan atau kebebasan. Dia hanya menundukkan kepala kepada kemampuan seseorang,” aku Sukarno dalam autobiografinya.
Yuke Ardhiati dalam Bung Karno Sang Arsitek (2005, hlm. 143) menyebut Schoemaker sangat terpengaruh oleh gaya arsitektur yang dikembangkan Frank Lloyd Wright dari Amerika. Pengaruh itu pun kemudian menurun pada Sukarno yang pernah magang sebagai juru gambar di biro arsitek milik Schoemaker.
Menurut Rudolf Mrazek dalam Engineer of Happyland (2006, hlm. 87-88), Schoemaker punya renjana untuk “menyerap semua dorongan modern dan avant garde zaman itu”. Tak hanya mempelajari Wright, dia juga menyerap langgam Bauhaus dari Jerman dan Niuewe Bouwen dari Belanda.
Di Hindia Belanda era 1930-an, Schoemaker sama sohornya seperti Henri Maclaine Pont yang namanya terkait dengan pengembangan situs purbakala Majapahit di Trowulan, Jawa Timur.
Sukarno belakangan memilih jalan yang berbeda dari gurunya itu. Dia lebih larut dalam dunia politik pergerakan nasional dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kala PNI digulung pemerintah kolonial, Sukarno ditangkap dan kemudian menjalani pembuangan ke Ende dan kemudian ke Bengkulu.
Perjalanan Karier
Sebelum jadi pengajar dan dikenal sebagai arsitek, Wolff Schoemaker adalah seorang perwira militer. Koran Bredasche Courant (28/07/1905) menyebut berdasar dokumen Koninklijk Besluit nomor 20 bertarikh 24 Juli 1905, Schoemaker adalah lulusan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda. Pangkat pertamanya adalah letnan kelas dua dan bertugas di Korps Zeni Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL).
Kala itu, Schoemaker berusia 23 tahun. Dia disebut lahir di Banyubiru pada 25 Juli 1882.
Ketika masih berpangkat letnan kelas dua, seperti disebut De Locomotief (26/10/1908), Wolff Schoemaker pergi ke Belanda untuk belajar di Technische Hoogeschool Delft. Sebagai orang zeni, Wolff Schoemaker mudah saja dapat akses kuliah dan menyesuaikan diri di sana.
Pada 1910, seperti diberitakan Bataviaasch Nieuwsblad (26/09/1910), Letnan Wolff Schoemaker dipindahkan dari Padang ke Batavia. Lalu pada 1911, seperti diberitakan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië (12/10/1911), dia naik pangkat menjadi letnan kelas satu. Namun, setelah itu dia memutuskan keluar dari kemiliteran.
Wolff Schoemaker lalu bekerja di Departemen Pekerjaan Umum di Batavia hingga mencapai posisi direktur. Pada 1916, Bataviaasch Nieuwsblad (31/10/1916) memberitakan dia berhenti dari posisinya dan berkarier sebagai arsitek partikelir di Bandung.
Setelah beberapa tahun berkarier sebagai arsitek dan merancang lebih dari 20 bangunan, Wolff Schoemaker ditarik untuk mengajar di THS Bandung. Pada 1922, dia dapat posisi sebagai profesor luar biasa dan sejak Oktober 1924 menjadi profesor penuh.
Selain berkarier sebagai pengajar dan arsitek, Schoemaker juga mempelajari budaya Nusantara. Dia lalu menulis Aesthethiek en Oorsprong der Hindoe Konenst op Java (1924). Schoemaker kemudian juga tertarik dengan Islam.
Pada 1934, Schoemaker membuat heboh tanah koloni dengan keputusannya memeluk agama Islam. Koran De Telegraaf (29/01/1934) memberitakan dia lantas mengganti namanya jadi Kemal.
Schoemaker alias Kemal pernah memberikan kata pengantar pada buku Muhammad Natsir yang berjudul Cultuur Islam (1937). Sebelumnya, pada 1933, dia merancang Masjid Cipaganti. Koran De Indische Courant (22/06/1938) memberitakan rencana Schoemaker berhaji ke Mekkah.
Benar saja, pada 10 Agustus 1938, dia dikabarkan berangkat ke Tanah Suci dengan kapal Sibajak. Rencananya, Schoemaker juga akan tinggal di Arab selama setahun.
Sebagai orang terhormat di zamannya, Wolff Schoemaker pernah dianugerahi Ridder in de Orde van de Nederlandse Leeuw. Dia menjadi guru besar di THS hingga mengundurkan diri pada 1940. Dia lantas memutuskan menetap di Bandung hingga tutup usia pada 22 Mei 1949.
Kakak Beradik Schoemaker
Wolff Schoemaker diketahui punya adik bernama Richard Leonard Arnold Schoemaker (1886-1942) yang juga mengikuti jejaknya masuk kemiliteran. Richard Schoemaker masuk Akademi Militer Breda di tahun kelulusan kakaknya.
Richard Schoemaker, seperti diberitakan Bredasche courant (01/07/1908), lulus pada 1908 dan diangkat menjadi letnan kelas dua. Setelah lulus, Richard Schoemaker juga memulai dinasnya di Korps Zeni KNIL. Di luar bidang militer, Richard Schoemaker disebut pernah ikut Olimpiade ke-4 di London pada 1908. Kala itu, dia tergabung dalam tim anggar Belanda.
Wolff Schoemaker kemudian keluar dari kemiliteran ketika berpangkat letnan kelas satu, sedangkan Richard Schoemaker keluar dengan pangkat kapten. Kakak beradik Schoemaker lalu sama-sama mengajar di THS Bandung.
Dalam hal karier akademik, Richard bisa dikatakan lebih cepat melesat ketimbang Wolff. Richard, misalnya, lebih dulu jadi guru besar dan baru kemudian Wolff. Kala Perang Dunia II meletus, Richard Schoemaker bertugas kembali bergabung dengan Korps Zeni dan dikirim ke Belanda. Dia sempat ikut dalam gerakan perlawanan bawah tanah sebelum akhirnya terkangkap oleh Jerman pada Mei 1941. Richard Schoemaker dieksekusi oleh Nazi Jerman dan dikabarkan wafat pada Mei 1942.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi