tirto.id - Banyak pemuda dari luar Jawa yang berada di Jawa pada masa revolusi berdiri membela Republik. Para pemuda yang ikut angkat senjata itu dikenal sebagai Laskar Seberang. Ketika pecah lagi perang dengan Belanda, menurut Abdul Haris Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia 2 (1968:211), mereka disusupkan ke daerah asal.
Kebanyakan personel Laskar Seberang dikirim ke Sulawesi karena mereka memang berasal dari pulau itu. Kala itu, Sulawesi diduduki militer Belanda dan telah berdiri negara federal bernama Negara Indonesia Timur (NIT).
Laskar Seberang, bersama Tentara Rakyat Indonesia Persiapan Sulawesi (TRI PS), Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), dan Angkatan Laut Republik Indonesia Divisi VI (ALRI Div VI) disatukan dalam Kesatuan Reserve Umum X (KRU X) dan menjadi bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai Brigade ke-16.
Komandan Brigade 16 dipercayakan kepada bekas pelarian tentara Kerajan Belanda Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang bernama Adolf Gustaaf Lembong (1921-1950). Untuk jabatan itu Lembong mendapat pangkat letnan kolonel.
Lembong membelot (desersi) dari unit Belanda-nya yang beroperasi di Jakarta dan mendapat rekomendasi dari Gubernur Sulawesi Sam Ratulangi. Desersinya terjadi sekitar Agresi Militer Belanda pertama, pertengahan 1947. Lembong diterima sebagai anggota TNI ketika di Yogyakarta.
Dia harus rela hidup susah. Kabur dari KNIL ke TNI sebelum 1950 adalah pilihan bodoh bagi orang mapan. TNI, dikatakan pada wartawan asing Manila Times (15/11/1948), adalah angkatan bersenjata miskin. Tentu saja dengan bergabung TNI Lembong jadi perwira miskin juga.
Ia tak lama menjabat sebagai Komandan Brigade 16, posisi yang punya banyak bawahan itu. Salah satunya karena Lembong dianggap orang asing. Bahkan karena latar belakang sebagai bekas letnan KNIL, Lembong justru harus diwaspadai karena bisa saja dia adalah mata-mata Belanda.
“Betapa pun tingginya keterampilan militer Lembong, ia adalah orang yang tidak dikenal dan tidak terpercaya,” jelas Barbara Sillar Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (1989:48).
Ketika itu 'bapakisme' mengakar kuat di kalangan para kombatan. Mereka kerap memosisikan diri sebagai anak yang hanya mau diperintah oleh komandan karismatik seperti seorang bapak. Orang yang kerap dilihat sebagai bapak saat itu adalah Kahar Muzakkar, meski secara pengalaman ia belum pernah bergerilya di Filipina waktu Perang Pasifik seperti Lembong.
Pada September 1948, bersamaan dengan Peristiwa Madiun, Letnan Kolonel Kahar Muzakkar memerintahkan bawahannya, Mayor Puddu Mas’ud, untuk menggerakkan pasukan menangkap Lembong dan stafnya.
“Detasemen di markasnya dilucuti Kahar Muzakkar. Tak ada yang berkutik. Kahar memang sudah senior di lingkungan KRIS. Laki-laki berperangai panas ini bahkan pernah jadi orang kedua setelah Langkai dalam kepemimpinan laskar,” tulis Benni E. Matindas dan Bert Supit dalam Ventje Sumual: Pemimpin yang Menatap Hanya ke Depan (1998:71). Ventje Sumual ikut bertindak atas penculikan Lembong.
Tak hanya membawa para perwira, semua senjata di markas pun dirampas pasukan penculik. Setelahnya mereka pergi ke daerah Klaten.
Pasukan KRIS, yang kebanyakan berasal dari Sulawesi Utara seperti Lembong, mencoba membebaskan Lembong. Lembong akhirnya bebas dengan selamat.
Terdongkelnya Lembong, menurut Nasution yang saat itu merupakan orang ketua di tentara di bawah Sudirman, karena ada desas-desus bahwa Lembong ambil bagian dalam aksi Belanda di Sulawesi Selatan dan sebagai mantan tentara sekutu dia telah bertempur di Filipina.
Sebagai sesama mantan KNIL, Nasution tampaknya menganggap Lembong punya potensi. Namun Nasution juga politikus yang harus mau berbagi dengan pihak yang berseberangan dengan dirinya sekalipun. Masalah ini juga konon cukup merepotkan Presiden Sukarno hingga harus turun tangan.
Pemerintah akhirnya menyelesaikan masalah dengan menggeser Lembong pada November 1948. Letnan Kolonel Jacob Frederik Warouw menggantikan posisi Lembong, Letnan Kolonel Kahar Muzakkar menjadi Wakil Komandan Brigade, dan Mayor Ventje Herman Nicolas Sumual menjadi Kepala Staf Brigade.
Warouw jadi orang pertama karena dia lebih punya pengalaman militer. Dalam Kami Perkenalkan (1954:49), dikatakan sebelum pendudukan Jepang dia pernah menjadi petugas lampu sorot zeni KNIL dengan pangkat serdadu kelas dua. Sebelum jadi Komandan Brigade 16, Warouw memimpin Batalyon Pesindo di sekitar Surabaya pada periode 1945.
Nasution melihat hal buruk dalam kepemimpinan brigade tersebut, yaitu ada lebih dari satu golongan yang merasa paling kompeten dibanding yang lain. Parahnya lagi para perwira juga berasal dari etnis yang berbeda-beda. Warouw dan Sumual berasa dari Minahasa di Sulawesi Utara; sementara Kahar Muzakkar, Andi Mattalata, dan Saleh Lahade dari Sulawesi Selatan.
Jika perwira dan prajurit dari Sulawesi Utara lebih menonjol, salah satunya karena sejak lama orang-orang dari sana lebih terbuka pada profesi militer ketimbang mereka dari Sulawesi Selatan yang kebanyakan mengharamkan bekerja sebagai serdadu Belanda. Di luar dua daerah tadi ada Palaupessy dari Maluku.
Lembong sendiri setelah tak lagi jadi komandan ditempatkan sebagai perwira staf di Markas Besar Angkatan Darat. Setelah Yogyakarta diduduki Belanda, Lembong menjadi tawanan perang dan baru bebas setelah gencatan senjata.
Nasib Brigade 16 sendiri juga tak beruntung. Mereka tercerai-berai setelah Belanda menyerbu. Salah satu pecahan pasukan, dipimpin Sumual, akhirnya ikut Letnan Kolonel Suharto. Sumual belakangan ikut serta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil menduduki Yogyakarta dalam operasi selama enam jam.
Meski demikian, para pemimpin Brigade 16 kelak menjadi 'tokoh penting' di Sulawesi era 1950-an. Kahar Muzakkar didekati Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kartosuwiryo dan menjadi bagian darinya karena banyak bekas pejuang tidak diterima masuk TNI, sementara Warouw dan Sumual memimpin Permesta di Sulawesi Utara. Keduanya dianggap sebagai gerakan pemberontakan terhadap Republik.
Lembong kemudian terbunuh oleh pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) Westerling pada 23 Januari 1950 di Bandung.
Editor: Rio Apinino