Menuju konten utama

Jurnalisme yang Lebih Greget dengan Teknologi Virtual Reality

Pemanfaatan Teknologi Virtual Reality diharapkan dapat membantu menciptakan karya jurnalistik yang lebih greget.

Ilustrasi virtual reality. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pada Mei sampai Juni tahun 2016, militer Irak harus kembali bertempur melawan ISIS. Merebut kembali Kota Fallujah dari ISIS—kota yang terletak di 69 kilometer sebelah barat Kota Baghdad—menjadi objektif utama pertempuran itu. Karena invasi ISIS, kota yang dulunya berpenghuni 50.000 orang itu kini berubah menjadi kota hantu.

Laporan soal Pertempuran Fallujah (The Battle of Fallujah) itu kini tak hanya bisa dibaca. Anda juga bisa seakan-akan berada di pertempuran ini; melihat detail kota mati yang telah menjadi medan perang sekaligus mendengar suara tembakan, roket, atau teriakan pasukan tentara Irak dan ISIS. Memanfaatkan teknologi Virtual Reality (selanjutnya VR), jurnalis New York Times mengabadikan pertempuran ini sehingga tak lagi hanya menggunakan kata-kata.

Kolaborasi antara jurnalisme dan teknologi VR menjadi sebuah fenomena yang memungkinkan jurnalis membawa peristiwa yang terjadi di tempat yang jauh menjadi "dekat" dengan khalayak. Konten jurnalisme yang tadinya hanya berupa artikel maupun audio-visual yang satu arah ditambah variasinya menjadi konten audio-visual dengan format 360 derajat—khalayak tidak hanya menyimak, tapi seakan berada dalam lingkungan yang menjadi konteks penting dari peristiwa yang dilaporkan.

Baca juga: Virtual Reality, Tak Sekadar Pemuas Seks Khayalan

Nonny de la Peña, seorang jurnalis dan CEO Emblematic Group — perusahaan yang fokus dalam pemanfaatan teknologi digital untuk jurnalisme — dalam tulisannya yang dipublikasikan oleh Jurnal Massachusetts Institute of Technology (MIT) menjelaskan integrasi teknologi VR dalam jurnalisme membuat “pembaca sebagai seorang pengunjung atau subjek dalam narasi cerita, dapat melihat pemandangan dan suara yang belum pernah dirasakan sebelumnya, dan kemungkinan, merasakan perasaan dan emosi yang ada di dalam berita” (Peña et al, 2010, hal. 200).

Sementara itu, penelitian Google News Lab (2017) menjelaskan bahwa kolaborasi VR dan jurnalisme membuat reportase tak hanya dapat dilakukan melalui storytelling yang satu arah tapi juga storyliving yakni khalayak seakan mengalami sendiri peristiwa yang diceritakan.

Penggunaan teknologi VR dalam berita tak hanya dilakukan oleh New York Times. The Guardian menggunakan strategi ini untuk mengajak pembaca merasakan pengalaman 80.000 warga Amerika Serikat yang mendekam di ruang isolasi penjara. Pembaca diharapkan dapat membayangkan kerusakan psikologis yang dialami oleh mereka yang harus hidup di ruangan dengan ukuran 2 x 3 meter selama 23 jam setiap harinya. Total 10 reportase berbasis VR lain dengan topik yang menguak isu-isu sosial di masyarakat seperti autisme dan lika-liku hidup pengungsi pencari suaka telah dipublikasikan oleh media Inggris ini.

Washington Post memiliki rubrik VR Room yang menyajikan berbagai foto 360 derajat tempat-tempat historis di Amerika Serikat seperti District of Colombia War Memorial dan Lincoln Memorial. Selain itu, liputan VR New York Times juga tak hanya soal Pertarungan Fallujah tapi telah pula diliput kehidupan anak-anak yang harus mengungsi karena perang dan potret kehidupan masyarakat Sudah yang terjebak perang di Pegunungan Nuba.

Optimisme mengenai kolaborasi VR dan jurnalisme terletak pada kemampuan teknologi ini untuk meningkatkan aspek emosi, perasaan dan pengalaman. Lantas, apakah penggunaan VR dalam laporan jurnalistik memberikan efek yang berbeda terhadap khalayak?

Associated Press (AP) bekerja sama dengan MIT Media Lab untuk mengukur efek dari penggunaan teknologi ini. 12 orang yang menjadi partisipan studi ini menyimak tiga cerita melalui teknologi realitas digital: Cardboard (hanya bisa digunakan dengan smartphone), Headset VR, dan Room-scale VR (tidak perlu diam di tempat selama digunakan).

Para khalayak dipaparkan empat reportase dalam format VR yaitu perdagangan gading gajah di Thailand, biodiversitas laut, perang melawan ISIS di Irak, dan parade budaya di New Orleans. Peneliti kemudian merekam data aktivitas otak, detak jantung dan pergerakan tubuh.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi virtual reality meningkatkan ketertarikan khalayak terhadap karya jurnalistik yang mereka tonton. Reportase mengenai kampanye multikulturalisme di New Orleans memberikan efek paling tinggi dalam meningkatkan pesona sebuah narasi terhadap khalayak. Sementara itu, laporan mengenai perang melawan ISIS di Irak memberikan dampak pengalaman yang paling lama; para partisipan kemudian memberikan komen mengenai perang dan dan rasa takut.

Baca Juga: Teknologi Virtual Reality Menyapa Film Hollywood

Namun, riset ini juga menemukan bahwa efek dari jurnalisme berbasis virtual reality tidaklah konsisten. Tingkat ini bergantung dengan jenis alat virtual reality yang digunakan—seberapa ciamik dan canggih alat itu. Google Cardboard merupakan perangkat paling murah seharga 15 dolar AS namun memberikan efek pengalaman menyimak yang tidak maksimal. Kekuatan pengalaman yang paling maksimal diciptakan oleh room-scale VR headset yang harganya tentu tidak murah; misalnya paket komplit Oculus Rift milik Facebook dibanderol hingga 600 dolar.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/30/jurnalisme-realitas-maya--mild--rangga-01.jpg" width="860" alt="Infografik Jurnalisme Realitas Maya" /

Karena faktor mahalnya teknologi VR yang bagus, jurnalisme berbasis VR pun menghadapi tantangan berupa adaptasi teknologi ini oleh khalayak. Berkaca dari survei online yang dilakukan oleh Newzoo pada April 2016 untuk responden umur 10-65 tahun, tak heran jika 51 persen responden di Amerika Serikat tidak memiliki keinginan untuk membeli teknologi ini. Begitu juga dengan lebih dari 50 persen responden di Jerman, Kanada, Perancis, Inggris juga belum memiliki rencana untuk merogoh kocek membeli VR.

Tantangan lain yang dihadapi oleh jurnalisme VR adalah memilih cerita yang cocok untuk disajikan dalam format ini. Menurut penelitian oleh Zilliah Watson (2017), editor dan pengembang jurnalisme VR di BBC, bekerja sama dengan Reuters Institute dan Oxford University, menjelaskan bahwa narasi yang cocok untuk diceritakan dalam bentuk realitas maya adalah reportase yang konteks lingkungan tempat kejadian menjadi salah satu aspek penting yang perlu dirasakan oleh khalayak. Seperti reportase Pertempuran Fallujah oleh New York Times.

Namun, penelitan dengan metodologi etnografi oleh Google News Lab (2017) menyimpulkan reportase berbasis VR memang meningkatkan keaslian emosi, partisipasi dan pengalaman “berada di sana”. Namun, penelitian ini juga menyoroti ketika aspek emosi menjadi elemen paling dirasakan oleh khalayak ketika menyimak berita berformat VR, aspek lain seperti fakta, konteks historis maupun politis dapat terlupakan. Tentunya, aspek-aspek ini juga penting ada dalam sebuah produk jurnalistik dan diterima oleh khalayak.

Menurut data International Data Corps yang dikutip dalam laporan proyeksi teknologi 2018 Deloitte, pengeluaran untuk investasi di teknologi realitas digital seperti Virtual Reality atau Augmented Reality akan meningkat pesat; dari 9,1 juta dolar AS pada tahun 2017 mencapai 190 miliar pada tahun 2021. Meroketnya angka investasi ini dikarenakan perpindahan fungsi VR/AR yang tadinya hanya sekadar barang mahal penuh gemerlap menjadi bagian penting dari aktivitas bisnis berbagai industri. Melihat tren kolaborasi antara jurnalisme dan teknologi VR, industri media sepertinya pun akan ikut berkontribusi kepada angka proyeksi ini.

Baca juga artikel terkait VIRTUAL REALITY atau tulisan lainnya dari Terry Muthahhari

tirto.id - Teknologi
Reporter: Terry Muthahhari
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti