Menuju konten utama

JPU Tekankan Ada Hal-Hal Tak Logis dalam Kesaksian Miryam

JPU KPK Irene Putri menyatakan terdapat hal-hal tidak logis terkait keterangan mantan anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Miryam S Haryani yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan kasus proyek e-KTP.

JPU Tekankan Ada Hal-Hal Tak Logis dalam Kesaksian Miryam
Anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani mengusap air mata ketika memberikan keterangan pada sidang lanjutan dugaan Korupsi proyek E-KTP dengan terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (23/3).ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/17.

tirto.id - Jaksa Penuntut Umum KPK Irene Putri menyatakan terdapat hal-hal tidak logis terkait kesaksian mantan anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan kasus proyek e-KTP.

"Haknya Bu Miryam untuk menolak tetapi sebenarnya ada hal-hal yang tidak logis yang dia tolak," kata Irene seusai sidang ketiga kasus proyek KTP-E di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (23/3/2017).

Ia pun mempertanyakan saat saksi ditanya oleh salah satu anggota Majelis Hakim terkait jawaban detail yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang bersangkutan.

"Saat dia diperiksa di awal, tadi salah satu anggota Majelis Hakim bertanya "apakah itu ada dalam pikiran saudara yang kemudian membuat rangkaian sedemikian detail?" dia bilang "iya"," kata Irene, seperti diberitakan Antara.

Kemudian pada kesempatan pemeriksaan kedua, penyidik memberikan kesempatan apakah ada keterangan yang ingin diubah, ditambah atau dilengkapi dalam BAP yang bersangkutan.

"Pada pemeriksaan yang kedua, itu Bu Miryam melengkapi ceritanya yang pertama dengan lebih lengkap dan detil," ucap Irene.

Terkait keterangan Miryam yang sempat diancam saat menjalani pemeriksaan oleh penyidik, Irene menyatakan KPK selama ini mempunyai SOP untuk memeriksa dan selalu merekam setiap pemeriksaan yang dilakukan.

Ia pun belum mengetahui apakah tekanan yang diterima saksi Miryam berasal dari penyidik atau mengalami tekanan yang lain.

Dalam persidangan diketahui, saksi Miryam mengaku diancam oleh penyidik saat dilakukan pemeriksaan sehingga keterangannya selalu berbeda dengan apa yang telah dituangkan di dalam BAP.

"Waktu diperiksa penyidik, saya dipaksa, saya diancam," kata Miryam.

"Diancam seperti apa?," tanya Ketua Majelis Hakim John Halasan.

"BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang penyidik," jawab Miryam sambil menangis.

Dalam dakwaan disebut bahwa Miryam S Haryani menerima uang 23 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,9 triliun tersebut.

Dalam sidang ketiga ini, terdapat enam saksi yang hadir dari sebelumnya tujuh saksi yang direncanakan didatangkan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK.

Satu saksi tidak hadir karena sakit adalah pensiunan PNS Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Dian Hasanah.

Sementara enam saksi yang hadir adalah mantan Wakil Ketua Komisi II DPR RI 2009-2010 Fraksi PAN Teguh Djuwarno, mantan Wakil Ketua Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Demokrat Taufik Effendi, mantan anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, mantan Dirjen Administrasi Kependudukan Kemendagri Rasyid Saleh, mantan Kepala Bagian Perencanaan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Wisnu Wibowo, dan Staf Bagian Perencanaan Ditjen Dukcapil Kemendagri Suparmanto.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Puluhan pihak disebut menikmati aliran dana pengadaan KTP Elektronik (KTP) tahun anggaran 2011-2012 dari total anggaran sebesar Rp5,95 triliun.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri