tirto.id - Salah satu hal paling menyenangkan dalam menonton festival adalah mendengar dan menonton nama-nama yang sebelumnya tak pernah kamu tahu.
Joyland adalah salah satu festival yang menawarkan itu bagi saya. Tahun ini, mungkin dari seluruh penampil, saya hanya pernah tahu dan mendengar 30 sampai 35 persen di antaranya. Sisanya: terra incognita.
Di hari pertama, di luar nama-nama yang saya kenal, saya sudah mengeker Fazerdaze, Benny Sings, juga D4vd. Dari tiga nama ini, Fazerdaze dan Benny Sings sukses bikin saya terus-terusan memutar playlist mereka hingga tiga hari setelah selesai festival.
Hari kedua, di tanah yang asing itu, Luby Sparks, Bayangan, Mildlife, dan Squid, masuk radar. Sayang, karena hujan dan menunggu sandal kiriman, Luby Sparks yang bermain pukul 16 sore harus terlewat.
Saya datang ketika Bayangan sedang bersiap naik ke panggung Lilypad.
Saya pertama kali mengenal proyek musikal Fikri Fadzil ini di Folk Music Festival yang diadakan di Batu, Malang, Agustus 2018 silam. Dengan gitar semi hollow, dan jaket guna mengusir suhu dingin, Fikri tampil syahdu malam itu. Ingatan sudah mengkhianati, sehingga saya lupa berapa lagu yang dibawakan musisi asal Malaysia ini. Mungkin lima atau enam (?). Yang saya ingat, setelah dari Batu, Fikri melanjutkan tur ke delapan kota di Indonesia.
Sore itu, dengan gerimis yang sedikit mirip bisa menduplikasi suasana di Batu, saya melihat Bayangan sudah berjalan sedemikian jauh. Fikri mengajak empat kompatriotnya, dan menyanyikan lagu dari album terbarunya, Kelana (2022) dan album debutnya, Bersendirian Berhad (2018). Tentu ada pengaruh ketika Fikri tampil beramai-ramai, musik yang dihadirkan terasa lebih kaya dan memberikan pengalaman menonton yang berbeda.
Sama seperti di hari pertama, hujan deras turun jelang maghrib. Meski begitu, mitigasi penyelenggara sudah terlihat. Area-area yang becek sudah ditutup papan. Langkah darurat ini tampak efektif lagi penting, mengingat salah satu area becek adalah jalur utama yang dipakai untuk berpindah dari area Liliypad-Shroom Stage ke dua panggung utama. Ini membuat orang jadi mudah bergerak tanpa mengkhawatirkan becek.
Mildlife kemudian membawa saya mengarungi samudera penuh warna. Sebelum datang ke depan panggung, saya tak punya bayangan ini band seperti apa, musik yang mereka bawakan, apalagi lagu-lagunya. Dan ketika akhirnya menonton mereka, senyum saya jadi lebar. Permainan mereka rapat, memadukan psikedelik, funk, dan sedikit percikan ritme disko. Selain suara synth yang bikin pikiran mengawang, saya kagum sekali dengan sound bass mereka. Bulat, padat, dan terang, terasa amat menonjol di musik mereka.
Setelah mereka turun panggung, saya langsung memasukkan nama mereka dalam daftar band yang enak didengarkan setelah semua lampu rumah dimatikan.
Di hari kedua, secara personal ada dua band yang saya tunggu: Bloc Party dan Fleet Foxes.
Album kedua Bloc Party, A Weekend in the City (2007) dirilis ketika saya sedang gandrung-gandrungnya menjelajah berbagai situs purbakala yang menyediakan musik (halo Multiply, hai MySpace) dengan intensitas seperti orang baru kenal internet. Semua diunduh, semua didengar, semua disantap. Beberapa berkesan dan jadi lekat, lebih banyak yang minggat.
Lagu seperti “Song for Clay (Disappear Here)”, “Where is Home”, juga “Flux” menghadirkan rasa segar setelah dihantam berbagai album garage rock dan emo. Suara synth yang melapisi gitar Okereke dan Lissack, memberi pendekatan berbeda musik rock bagi saya Meski tak lagi rutin mendengarkan mereka usai Intimacy (2008), saya tetap menantikan saat menonton mereka secara langsung.
Maka betapa girangnya saya ketika lagu-lagu klasik mereka berkumandang. Walau buat saya sound mereka masih sedikit satu tingkat di bawah Mildlife, tapi kehadiran “Hunting for Witches”, “Song for Clay (Disappear Here)”, “Banquet”, “Helicopter”, dan “This Modern Love” bikin saya melonjak-lonjak. Lagi-lagi, tak pernah ada dalam pikiran saya kalau kelak bisa mendengar dan menonton mereka secara langsung. Feels like the good old days.
Lalu tibalah saat Fleet Foxes.
Kawan menonton Fleet Foxes malam ini adalah Philips Vermonte, pendiri situs Jakartabeat, yang pada satu waktu dalam hidupnya pernah bimbang di persimpangan jalan: jadi penulis musik penuh waktu atau akademisi.
Pada Juli 2011, Philips, di tengah kesuntukannya menggarap disertasi di Chicago, pergi ke Pitchfork Music Festival yang kebetulan diadakan di kotanya. Fleet Foxes jadi salah satu penampil utamanya. Dua bulan sebelumnya, orkes kongregasi pimpinan Robin Pecknold ini baru saja merilis album keduanya, Helplessness Blues.
“Dua album awal Fleet Foxes itu menemani gue di momen-momen sunyi ketika belajar dan menggarap disertasi. Album ini juga sering banget gue putar di musim dingin,” ujarnya suatu ketika.
Maka ketika Fleet Foxes naik ke atas panggung, pandangan Philips tak pernah lepas dari sana. Saya sesekali mencuri pandang, nyengir melihat dia terpatah menyanyikan bait-bait “Bedouin Dress”, “White Winter Hymnal”, “Mykonos”, hingga “Montezuma”. Mungkin sebagian besar lirik-lirik itu sudah digeser oleh segala administrasi kampus dan urusan negara yang menyita sebagian besar waktu dan pikirannya. Tapi melihat Philips bersemangat memanggil lirik-lirik dari masa lalu itu, tak urung hati saya hangat juga
Penampilan Fleet Foxes malam itu memang penggah. Dipimpin oleh Pecknold yang efektif dan tak melempar banyak kata kecuali “Thank you” dan “Thank you so much”, band asal Seattle ini menghadirkan perjamuan folk yang ramai sekaligus sendu. Sama seperti ketika mendengar Mew, saya amat terkesan dengan kualitas sound mereka. Semua terdengar jelas dan independen, tak ada yang saling menubruk dan menimpa. Harmonisasi vokal mereka terdengar begitu padu dan selaras.
Di lagu “Blue Ridge Mountain”, lutut ringkih saya minta jeda. Sembari duduk di atas rumput, saya kembali nyengir melihat Philips masih setia berdiri dan menatap ke arah jam 12 sembari sesekali mengambil foto dan video. Saya tak ingin mengganggunya.
Baginya, Fleet Foxes adalah sebuah memento dari masa-masa yang padat, berat, tapi juga menakik banyak kenangan. Ia pernah menulis usai sidang doktoralnya, bahwa jalan ilmu pengetahuan adalah jalan yang amat sunyi. Fleet Foxes menemani Philips melewati jalan itu, di tengah keraguan serta segala rintang hidup dan musim dingin Chicago yang bisa amat brutal. Usai menggondol gelar doktor ilmu politik dan pulang ke Indonesia, Philips pada akhirnya memilih dunia akademis yang membesarkan namanya –ya tentu saja.
Ketika “Helplessness Blues” memecah udara Jakarta dini hari itu, Philips tahu: Fleet Foxes tetap ada di hati dan pikirannya, tak bergerak satu sentimeter pun.
And I know, I know you will keep me on the shelf
I'll come back to you someday soon myselfGanas dari Cadas Pangeran, Berisik dari Kyoto, Muram dari New York
Hari ketiga, ada empat nama yang secara khusus ingin saya tonton: Grrrl Gang, Otoboke Beaver, Leipzig, dan Interpol.
Seperti yang saya bayangkan, Grrrl Gang tampil atraktif. Mereka dengan berhasil membawakan punk rock, mengawinkannya dengan estetika riot grrrl. Philips masih menjadi kawan menonton di hari ketiga, dan dia girang sekali menonton band asal Yogyakarta ini. Dia terkesima dalam waktu singkat.
Ketika Angeeta, vokalis Grrrl Gang, berteriak “It’s time to fuck!”, Philips terkekeh. Secara khusus, dia menyebut band baru favoritnya ini sebagai sweet punk. Term yang menarik.
“Pulang dari sini, gue harus cari piringan hitam mereka, nih,” katanya yakin.
Otoboke Beaver secara khusus sudah mengundang perhatian banyak orang. Reputasi kuartet Accorinrin, Yoyoyoshie, Hirochan, dan Kahokiss ini sejak lima tahun lalu makin mengglobal. Termasuk di Indonesia. Di Spotify, mereka punya 101 ribu pendengar bulanan. Dari mana pendengar mereka paling banyak? Betul, Jakarta.
Mereka benar-benar menjadi pencuri perhatian di hari ketiga Joyland, sekaligus memenuhi ekspektasi pendengar mereka. “Yakitori” menjadi hidangan pembuka, diikuti “Akimahenka” yang brutal itu, lalu saya lupa lagu apa saja yang dimainkan. Seingat saya ada “Love is Short” juga. Lalu ada chant yang kuping saya tangkap sebagai “owai, owai, owai” yang ternyata ketika dicek liriknya, ternyata itu why.
Di sayap kiri panggung, saya menonton mereka dengan takjub. Energi penuh para personel, musik yang cepat tapi ulutra akurat, drummer yang presisi, dan musik yang bisa belok sekonyong-konyong tanpa aba-aba. Seperti naik bajaj di lorong-lorong Tambora di hari Senin pagi pukul tujuh. Seru!
Belum juga adrenaline turun, ia sudah dipompa lagi oleh Leipzig. Band kebanggaan Cadas Pangeran ini tampil ganas di Lilypad, menyemburkan tenaga yang penuh dan cepat. Sebagai penonton perdana dan tak akrab dengan lagu-lagu mereka, Leipzig dengan segera menjadi band favorit baru saya.
Setelah mereka turun panggung, saya langsung memasukkan nama mereka dalam daftar band yang enak didengarkan di Senin pagi dan mata masih setengah tertutup. Catatan tambahan: “Gazelle (Noam Chomsky’s Unanswered Question” bisa masuk senarai lagu dengan lirik keren dalam satu dekade terakhir.
Kemudian Interpol datang di panggung Joyland. Aura dingin dan muram seketika meruap.
Ini nama penting dari rombongan band rock yang tumbuh besar di New York. Turn on the Bright Lights sempat membuat banyak kakak tingkat di SMA saya berpindah paham dan menganut gloom is the new cool, setelah kuota penggemar Julian Casablancas dirasa terlalu sesak. Meski pada akhirnya kemuraman itu hanya berakhir di titip salam bagi gebetan via radio dan tak ada yang benar-benar menulis atau membuat band dengan ruh Interpol, album itu tak pelak adalah tandingan sepadan bagi Is This It dalam hal memengaruhi satu generasi.
Tak banyak kata yang terlontar dari mulut Paul Banks. Saya cukup kaget melihat penampilannya, rambut pirang yang disisir klimis ke belakang, dan badan yang gempal. Bikin saya ingat Jax Teller dari Sons of Anarchy alih-alih vokalis band.
Dengan lekas dan terasa seperti luncuran gambar panorama Arab Saudi dan Ka’bah dalam slider oleh-oleh jamaah haji yang populer di era 1990-an, Interpol memainkan “Untitled” dan “C’mere” sebagai dua lagu pembuka. Lapisan gitar Banks dan Kessler terasa tebal dan rapat, tapi intonasinya tetap terang dan jelas. Suara bass dari Truax juga terdengar pulen dan jadi penanda ritmik yang penting.
Seperti biasa, Interpol banyak membawakan lagu dari dua album pertamanya. Dan bagi saya pribadi, puncak penampilan mereka adalah di “Rest My Chemistry”. Suara piano lamat-lamat di bagian depan, sudah memancing para penonton bersorak kencang. Ini adalah anthem esensial bagi banyak orang yang hidup dengan kemuraman, kemarahan, dan “... three kinds of yes.” Beat datar, dinyanyikan dengan dingin dan nyaris tanpa emosi, malah membuat perasaan campur aduk.
Ditutup oleh “PDA” dan “Slow Hands”, Interpol menjadi penutup sempurna bagi Joyland 2023. Mereka tak tampil dengan agung, main tanpa banyak basa-basi, dan tidak menutup setnya dengan spektakuler. Mereka seakan ingin mengingatkan: ini sudah hari Senin, kamu harus lekas istirahat karena dalam berapa jam lagi harus berjibaku dengan segala dinamika pekerja di Jakarta.
Dingin, tapi itulah Interpol buat kita semua.
Tiga hari menghadiri Joyland untuk pertama kalinya, saya bisa dengan yakin menyebut festival ini sebagai salah satu yang terbaik di Indonesia. Bahkan saya rasa, Joyland, dengan segala kekurangan minor yang amat mudah ditambal, sudah bisa sejajar dengan banyak festival musik serupa di Asia.
Nyaris segala elemen ideal festival musik bisa dieksekusi dengan baik. Mulai dari kualitas sound jempolan, senarai penampil yang sebagian besar mungkin susah datang ke Jakarta jika tidak diboyong oleh Joyland, ketepatan waktu, lokasi venue yang mudah dijangkau, wahana dan area ramah anak, hingga amenitas pendukung seperti dedicated smoking area dan penjual makanan, semua jadi penting dan membuat Joyland menjadi sebuah festival musik yang utuh, lengkap, dan paripurna. Keputusan Plainsong Live yang setia dengan komitmen untuk menjadikan Joyland sebagai festival dengan skala medium juga membuat kenyamanan menonton tetap terjaga.
Jadi tak sabar menunggu Joyland 2024 di Bali. []
Editor: Nuran Wibisono