tirto.id - Beberapa waktu lalu muncul cuitan dari akun Twitter @abirekso soal Letnan Jenderal (Purn.) Johannes Suryo Prabowo, salah satu juru propaganda media Prabowo Subianto. Menurut cuitan itu, Suryo Prabowo “punya bakat adu domba dari ayahnya.”
Disebutkan pula bahwa ayah Suryo Prabowo adalah Kolonel Ngaeran, yang berdarah Madura, sedangkan ibunya masih terhitung kerabat dengan Siti Hartinah Soeharto (Tien Soeharto). Akun @abirekso juga menyebut punya nama lain Rakimin di kalangan sipil.
Siapakah sebenarnya Ngaeran yang disebut-sebut oleh akun itu?
Ngaeran sosok yang unik. Di akhir hidupnya, laki-laki berdarah Madura namanya dicatat sebagai Joseph R. Ngaeran. Nama depan yang jarang untuk orang Madura.
Dharma Warta mencatat berita kematiannya: Joseph R. Ngaeran wafat pada 4 Oktober 1975 jam 05:30 dalam usia 50 di Jakarta. Inisial "R" kemungkinan adalah Rakimin. Kira-kira Ngaeran lahir pada 1925.
Intel Klik Soeharto
Ngaeran merasakan zaman Revolusi. Setelah Revolusi berlalu, Ngaeran menjadi anggota TNI yang cukup dikenal di Jawa Tengah. “Pada tahun 1950, ayahmu dulu jagoannya Letnan Kolonel Soeharto dalam penumpasan gerombolan MMC (Merapi Merbabu Complex),” kata Rusdin, senior Akabri Suryo Prabowo, untuk menyemangatinya, seperti dicatat Maria Dominique Setiawan dan Tony Setiawan dalam Si Bengal Jadi Jenderal (2015: 199). Buku itu adalah biografi Suryo Prabowo.
Ngaeran cukup lama di Jawa Tengah. Setelah Soeharto jadi Panglima Kostrad, pada akhir 1963 keluarga Ngaeran pindah ke Jakarta. Seperti dicatat Maria Dominique dan Tony (hlm. 188-189), keluarga ini awalnya tinggal di kompleks atlet Senayan, lalu di kompleks Kodam Jaya di Sumur Batu pada 1965, dan pada 1968 pindah ke Dharmawangsa Kebayoran.
Sejak di Jakarta, Ngaeran sudah jadi orang kepercayaan Letnan Kolonel Ali Moertopo, Asisten Intel Panglima Divisi II Kostrad. Ketika Ali memimpin Operasi Khusus (Opsus), yang kemudian ikut sukses menghentikan Konfrontasi Ganyang Malaysia, Ngaeran dilibatkan.
Dengan berada di gerbong Ali, Ngaeran sudah satu paket dengan Soeharto, yang istrinya masih terhitung kerabat istri Ngaeran. Ngaeran pun jadi orang kepercayaan Soeharto. Ia tak hanya dipercaya dalam urusan “diam-diam” perdamaian Indonesia-Malaysia, tapi juga untuk memata-matai orang-orang yang setia kepada Sukarno.
Ngaeran pernah berada di Kamboja untuk mengintai Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksaman Madya Omar Dani. Disebut-sebut Omar Dani kabur terkait G30S. Di buku Pleidoi Omar Dani, Tuhan, Pergunakan Hati Pikiran dan Tanganku (2001: 131), yang disusun Benedicta A. Surodjo dan J.M.V. Soeparno, Ngaeran (dalam buku ditulis sebagai Saeran) ditempatkan Soeharto di Phnom Penh.
“Dia tinggal di sebuah kamar hotel yang kecil, yang remang-remang di daerah pelabuhan Kali Mekong,” tulis Surodjo dan Soeparno. Perwira menengah ini tidak bisa berbahasa setempat, bahkan bahasa Perancis yang dikenal di sana. Sulit baginya bicara dengan orang-orang setempat. Surodjo dan Soeparno menyebut, “[…] dia tidak memerlukan hal itu, karena tugasnya sebagai intel adalah hanya mengawasi Omar Dani.”
Bukan cuma Ngaeran yang mengawasi Omar Dani, ada juga Kolonel Nichlany Soedardjo. Dua orang ini sukses membawa pulang Omar Dani, untuk kemudian dipenjara oleh Orde Baru.
Uniknya, puluhan tahun setelah Omar Dani dijebloskan ke tahanan militer untuk waktu yang tidak sebentar, anak Ngaeran dan Omar Dani berkawan. Suryo Susilo, anak Ngaeran, dan Perry Omar Dani, anak Omar Dani, memilih berdamai dengan kenyataan pahit sejarah Indonesia itu. Seperti dicatat buku The Children of War (2013: 151), keduanya berkawan sejak di SD Tarakanita. Bersama anak korban politik dan pelaku sejarah di masa lalu, Suryo Susilo ikut memimpin Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Suryo Susilo berbeda jalan dengan saudaranya, Suryo Prabowo, yang asyik dengan dunia politik bersama Prabowo Subianto.
Menurut mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari '74 (1998: 49), Kolonel Ngaeran adalah “tangan kanan Ali (Moertopo) di bidang keuangan.” Kolonel Sugianto juga orang Opsus yang ditugasi mencari uang.
Jika keduanya terkait dengan dunia bisnis pada awal 1970-an, tampaknya bukan hal aneh lagi. Tempo menyebut pada 1973 Kolonel Ngaeran adalah pimpinan perusahaan alat tulis bernama PT Inaltu. Dia juga sempat terlibat dalam penerbit Empat Lima. Sugianto sendiri pernah memimpin majalah Pop, yang sempat heboh karena menyinggung latar belakang keluarga Soeharto.
Di luar dunia usaha, seperti dicatat dalam buku Pemilihan umum 1971 - Volume 1 (1973: 118), Letnan Kolonel Ngaeran dalam Pemilu 1971 menjadi Kepala Biro Pengadaan. Terkait pengadaan juga, seperti tercatat dalam Njoo Han Siang: Pertemuan Dua Arus (2007: 64), Letnan Kolonel Ngaeran pernah ikut serta dalam pengadaan logistik untuk Irian Jaya.
Bersama Tien Soeharto
Setelah tinggal di Jakarta, istri Ngaeran ikut jadi orang penting ketika Soeharto jadi presiden dan Tien jadi ibu negara. Ngaeran dan istri ikut repot dengan hajatan daripada istri Soeharto: membangun semacam Disneyland yang kemudian kita kenal sebagai Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Seperti dicatat Suradi H.P. dalam Sejarah Taman Mini Indonesia Indah (1989: 10), peninjauan bakal lokasinya di lahan 14 hektar dilakukan pada 2 Desember 1970. Ketika itu Tien Soeharto didampingi Gubernur Ali Sadikin dan Nyonya E.S. Ngaeran beserta suaminya.
Suatu kali, Sukamdani Sahid dan istrinya diajak Tien Soeharto untuk terlibat dalam proyek TMII. Sukamdani dan istri lalu diarahkan Tien Soeharto kepada Ngaeran dan istrinya. Nyonya E.S. Ngaeran adalah Ketua Pelaksana Harian di Yayasan Harapan Kita, di mana Tien Soeharto jadi Ketuanya. Maka bertamulah Sukamdani ke rumah Kolonel Ngaeran untuk tahu lebih lanjut soal Taman Mini yang tidak mini itu.
“Selang beberapa hari setelah itu, diadakan suatu presentasi di Jalan Tegalan, Matraman, oleh ahli ITB yang direkrut oleh Pak Ngaeran untuk menuangkan konsep TMII,” aku Sukamdani Sahid dalam autobiografinya, Sukamdani Sahid Gitosardjono, Wirausaha Mengabdi Pembangunan: Otobiografi, Volume 1 (1993: 185-186).
Beberapa bulan setelah TMII diresmikan pada 20 April 1975, Ngaeran meninggal di usia yang belum tergolong tua.
Sebelum kematiannya, dia sempat mengunjungi anaknya, Johannes Suryo Prabowo, di Akabri Magelang dan diajak jalan-jalan ke Yogyakarta atas izin Gubernur Akabri Wiyogo Atmodarminto.
Ngaeran tutup usia ketika pangkatnya masih kolonel. Anaknya yang dikunjungi beberapa bulan sebelum meninggal itu belakangan jadi jenderal.
Editor: Ivan Aulia Ahsan