tirto.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, bea keluar ekspor konsentrat tetap mengikuti peraturan menteri keuangan (PMK).
PMK yang dimaksud tergistrasi nomor 13/PMK.010/2017 tentang pengaturan tarif didasarkan pada kemajuan pembangunan fisik fasilitas pemurnian (smelter), dan menghilangkan poin penghitungan yang didasarkan jaminan kesungguhan.
Berdasarkan PMK itu, PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) seharusnya dikenai bea keluar 7,5 persen. Namun, ia mengakui soal adanya kesepakatan tarif bea keluar sebesar 5 persen.
Kesepakatan ini, kata dia, diatur dalam PMK, namun penerbitannya terlambat, sehingga tarif bea keluar mengikuti PMK yang berlaku.
"Jadi tetap kita tagihnya merujuk aturan eksisting yang sebesar 7,5 persen," kata Jonan dalam rapat dengan Komisi VII DPR DI, Kamis (18/9/2019).
Jonan juga menjelaskan, pengenaan tarif bea keluar itu ditentukan bergantung seberapa besar progres pembangunan melter di dalam negeri.
"Ini kan tujuannya agar mereka mau buat smelter. Jadi bukan untuk mencari pendapatan juga, tapi dipaksa buat smelter," ujar dia.
Semakin besar progres pembangunan smelter, semakin murah pula bea keluar yang dikenakan.
Jika tingkat kemajuan fisik smelter di bawah 30 persen, maka bea keluar dikenakan 7,5 persen.
Sedangkan, jika pembangunan fisik smelter di rentang 30 sampai 50 persen, maka bea keluar yang dikenakan sebesar 5 persen.
Di atas 50 persen hingga 75 persen, bea keluarnya yang dikenakan sebesar 2,5 persen. Selanjutnya, jika progres pembangunan fisik sudah lebih dari 75 persen, maka pemerintah tidak mengenakan bea keluar alias 0 persen.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Zakki Amali