tirto.id - Pegiat Aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih tetap menagih jani penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur pengadilan Ad Hoc atau mekanisme yudisial.
Ibunda dari Wawan, korban penembakan tragedi Semanggi I mengingatkan bahwa dirinya tak akan menerima solusi non-yudisial yang pernah ditawarkan Jokowi.
Di antaranya, ada pembentukan Komite Gabungan Pengungkap Kebenaran dan Rekonsiliasi, Dewan Kerukunan Nasional, dan Tim Terpadu.
"Kalau Jokowi menang dan solusinya non-yudisial, kami menolak. Kalau mau dia buat pengadilan Ad Hoc sesuai komitmen 2014 lalu," ucap Sumarsih kepada reporter Tirto dalam Aksi Kamisan ke-582, di seberang Istana Negara, Kamis (18/4/2019).
Sumarsih mengatakan, penyelesaian kasus HAM berat melalui yudisial harus dilakukan.
Sebab, lanjut dia, hal ini telah diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, sehingga telah ada tugas masing-masing mulai Komnas HAM, Jaksa Agung, DPR, hingga Presiden RI.
Menurut Sumarsih, janji penyelesaian pelanggaran HAM berat secara Ad Hoc pernah disampaikan Jokowi dalam kampanye Pemilu 2014.
Oleh karena itu, kata dia, langkah untuk menuju jalur yudisial, sudah pernah direncanakan dan tinggal merealisasikan.
"Kalau ada pengadilan Ad-Hoc kan ini untuk membayar hutang memenuhi janji pemilu 2014," ucap Sumarsih.
Menurut Sumiarsih, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur non-yudisial tidak akan mampu menyelesaikan masalah.
Tanpa proses hukum yang tegas, kata dia, tak ada jaminan bila pelanggaran HAM serupa tak akan terulang kembali di masa mendatang.
"Kalau yang sudah meninggal tentu tidak akan kembali lagi. Tapi ini agar tidak terulang lagi," ucap Sumarsih.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali