tirto.id - Pegiat Aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih mengatakan, kemenangan pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin tak berdampak signifikan terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ibunda dari Wawan, korban penembakan tragedi Semanggi I ini mengatakan, visi dan misi capres petahana ini mencantumkan gagasan pada Pilres 2019 untuk melanjutkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu
Namun, dokumen visi dan misi itu, katanya, tak dituangkan dalam komitmen tertulis dan ditandatangani seperti Pilpres 2014 lalu.
"Sekarang janjinya tak sesempurna [dibandingkan] waktu dia mencalonkan diri pada 2014. Dulu ada hitam di atas putih," ucap Sumarsih kepada reporter Tirto dalam Aksi Kamisan ke-582, seberang Istana Negara, Kamis (18/4/2019).
Pegiat Aksi Kamisan, Ahmad Sajali akrab disapa Jali, juga menilai Jokowi dapat lebih berani bertindak, karena setelah periode 5 mendatang, tak lagi dapat mencalonkan diri.
Dari dokumen yang dibuka kepada publik, Jali menyoroti tak ada bukti komitmen tegas dari Jokowi untuk merealisasikan janjinya.
Dalam janji politik Pemilu 2019, kasus HAM masuk kategori penyelesaian umum di bidang hukum.
"Dari segi dokumen Jokowi-Ma’ruf menurun drastis. Tidak ada komitmen buat itu. Tidak disebutkan eksplisit hitam di atas putih," ucap Jali.
Menurut dia, pada 2014 ada dokumentasi dalam bentuk tulisan setiap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang bakal diperhatikan setelah memimpin.
Tidak hanya itu, ketika mencalonkan kali pertama sebagai presiden, Jokowi tercatat pernah aktif berkomunikasi dengan penggiat Aksi Kamisan.
Aksi Kamisan ini juga sempat menjadi salah satu bagian kampanye mendukung Jokowi yang melawan Prabowo Subianto dalam Pemilu 2014.
Namun tidak lagi berlanjut pada Pemilu 2019, karena Jokowi tak merealisasikan janji soal penanganan pelanggaran HAM.
Kala itu sejumlah penggiat Aksi Kamisan juga membuat celemek bertuliskan "Jangan Pilih Pelanggar HAM Berat".
"Dulu dia berani nyebutin dan aktif berkomunikasi. Tapi akhirnya kami jadi stakeholder yang dikecewakan," ucap Jali.
Sebaliknya, Jali mendesak agar presiden terpilih nantinya segera bertindak. Menurut dia, presiden memiliki hak prerogratif termasuk memilih Jaksa Agung yang dinilai menjadi salah satu hambatan penyelesaian kasus HAM berat masa lalu.
"Negara punya tanggung jawab. Presiden kan punya hak untuk menentukan siapa Jaksa Agung-nya," kata Jali.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali