Menuju konten utama

Jokowi Lempar Bola Panas RKUHP ke DPR demi Pencitraan?

Jokowi dinilai hanya cari panggung dan pencitraan karena melempar bola panas RKUHP ke DPR.

Jokowi Lempar Bola Panas RKUHP ke DPR demi Pencitraan?
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Mensesneg Pratikno, meninggalkan ruangan usai menyampaikan sikap tentang rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/9/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.

tirto.id - Presiden Joko Widodo meminta DPR RI menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Bekas Wali Kota Solo ini bahkan mengundang pimpinan DPR, fraksi, serta Komisi III ke Istana Negara, Jakarta, Senin (23/9/2019) kemarin khusus membahas aturan yang banyak dikritik masyarakat ini.

Usai pertemuan, Jokowi menegaskan kembali kalau pemerintah meminta DPR menunda pengesahan RKUHP yang sebetulnya telah selesai dibahas pada tahap pertama oleh Panitia Kerja (Panja) RKUHP. Dia ingin pembahasan dituntaskan DPR periode berikutnya saja.

“Sekali lagi, RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU KUHP, itu ditunda pengesahannya,” kata Jokowi, seperti dikutip dari Antara.

Sayangnya Jokowi tak mampu membendung hasrat DPR untuk tetap mengesahkan RKUHP pada periode ini, yang sebetulnya masa kerjanya tinggal sepekan.

Selepas rapat konsultasi dengan Jokowi, Ketua Panja RKUHP Mulfachri Harahap mengatakan pengesahan RKUHP memang tidak akan dilakukan pada rapat paripurna, Selasa (24/9/2019). Namun, kata politikus PAN ini, ada kemungkinan RKUHP tetap bisa disahkan sebelum masa tugas DPR periode 2014-2019 berakhir pada 1 Oktober.

“Mungkin tidak dalam paripurna terdekat, ya. Masih ada tiga kali paripurna lagi paling tidak sampai 30 September,” kata Mulfachri, seperti dikutip dari laman resmi Setkab.

Masih ada tiga rapat paripurna lagi sebelum DPR mengakhiri masa kerjanya: 24, 26, dan 30 September 2019.

Hal serupa diutarakan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/9/2019). Politikus Golkar itu memastikan lembaganya akan kembali membahas RKUHP di sisa waktu kerja DPR periode 2014-2019.

Bamsoet mengatakan DPR melalui Panja RKUHP akan fokus membahas 14 isu yang menurut Jokowi masih perlu pendalaman lebih lanjut. Isu itu di antaranya soal pasal perzinahan, pasal penghinaan presiden, serta pasal santet.

"Pasal-pasal itu akan kami perdalam lagi," kata Bamsoet, lalu mengatakan itu akan dilakukan panja selama satu pekan penuh. Dia optimis semua akan selesai.

Meski begitu, dia tidak kecewa jika misalnya pembahasan RKUHP tidak selesai pada periode kepemimpinannya. "Kalau enggak cukup waktu, nanti kami putuskan di ujung bahwa ini dilanjutkan DPR periode berikutnya," katanya.

Pencitraan

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin, Jokowi tengah pencitraan saja karena pernyataannya bertolakbelakang dengan ucapan-ucapan DPR. Jokowi dianggap tengah melempar bola panas RKUHP ke DPR.

Pun dengan DPR, yang meski bersikeras menuntaskan RKUHP tapi mengaku akan mendalami pasal-pasal kontroversial.

“Keduanya ingin meredam aksi demonstrasi, caranya dengan melakukan pencitraan," ujar Ujang kepada reporter Tirto, Senin (23/9/2019).

Berbagai elemen masyarakat memang menolak RKUHP, bersama sejumlah peraturan lain yang dianggap memukul mundur berbagai capaian reformasi dan kontroversial seperti revisi UU KPK, RUU PAS, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, hingga RUU Minerba.

Menurut Ujang, baik eksekutif maupun legislatif, seharusnya sama-sama mendengar aspirasi rakyat sejak awal, bukan membuat pernyataan-pernyataan tidak tegas.

Akibatnya, kata Ujang, masyarakat memandang antara DPR dan pemerintah tengah bersekongkol.

"Seandainya mereka benar-benar melanjutkan pembahasan RKUHP, berarti ada hal yang tak beres di antara DPR dan pemerintah. Jangan sampai DPR dan pemerintah dianggap tak aspiratif. Jangan sampai DPR dan pemerintah dianggap kongkalikong untuk menggolkan RUU KUHP," kata Ujang.

Peneliti LSI Denny JA Rully Akbar juga mengatakan hal serupa. "Jokowi berusaha untuk mendapatkan simpati publik terkait tuntutan masyarakat yang tinggi," jelas Rully. Jika misalnya RKUHP disahkan, maka yang akan disalahkan masyarakat hanya DPR.

Bagaimana cara agar Jokowi tidak disebut pencitraan? Direktur Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju memberi solusi: Jokowi sebaiknya membentuk Komite Ahli Pembaruan Hukum Pidana yang diisi berbagai ahli di luar anggota legislatif.

"Keberadaan komite penting untuk dapat menjaga kebijakan hukum pidana yang dibuat di dalam pemerintahan supaya selalu sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat," kata Anggara kepada reporter Tirto, Ahad (22/9/2019) pagi.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz