tirto.id - Blunder, menurut KBBI versi daring, adalah: "n kesalahan serius atau memalukan yang disebabkan oleh kebodohan, kecerobohan, atau kelalaian." Jika definisi ini yang dipakai, maka calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (dan tim kampanyenya, termasuk wakilnya Ma'ruf Amin) telah berkali-kali melakukan itu.
Beberapa blunder yang diciptakan Jokowi dan timnya seperti: pernyataan Jokowi soal 'Propaganda Rusia', pembebasan Abu Bakar Ba'asyir, remisi pembunuhan jurnalis, hingga cap budek-buta dari Ma'ruf Amin terhadap orang-orang yang terlalu sering mengkritik Jokowi.
Tambah lagi: janji Ma'ruf soal produksi massal Esemka akhir Oktober lalu.
Blunder Jokowi, Ma'ruf, dan tim seperti di atas jelas ada efeknya. Dalam konteks kiwari, ini berdampak terhadap naik turunnya popularitas di mata pemilih, demikian kata peneliti politik dari LIPI Wasisto Raharjo Jati.
"Saya pikir pernyataan-pernyataan dia berpotensi menurunkan suara pemilih, karena yang kami lihat, pernyataan tersebut kadang kontradiktif yang justru menimbulkan turunnya dukungan publik," ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (7/2/2019).
Harusnya kubu Prabowo memanfaatkan ini sebaik-baiknya, kata pria yang akrab disapa Wasis ini.
Cara memanfaatkannya beragam, dan media sosial bisa jadi corong utama. Sayangnya tim media sosial Prabowo kurang gesit memanfaatkan momentum-momentum seperti ini, setidaknya begitu temuan lembaga riset media sosial Politicawave.
"Masyarakat di sosmed sangat tergantung kepada time framing. Jadi harus responsif. Itu yang menyebabkan paslon 02 kalah. Mereka tidak mendapatkan respons apa-apa dari masyarakat," kata pendiri PoliticaWave, Yose Rizal.
Pernyataan Yose terkonfirmasi lewat sejumlah temuan lembaga survei. Kubu Prabowo terlihat kurang bisa memanfaatkan peluang blunder petahana karena faktanya survei-survei terkini menunjukkan tak ada perubahan signifikan dari tingkat kedipilihan kedua capres-cawapres.
Jokowi masih di atas angin, sementara Prabowo setia mengintip dari bawah.
Rilis Populi Center yang dirilis Kamis kemarin, misalnya, menunjukkan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf mencapai 54,1 persen, sementara Prabowo-Sandi 31 persen. Angka ini tak beranjak jauh dari hasil Agustus 2018. Ketika itu, Jokowi-Ma'ruf dipilih 55,1 persen responden, sementara lawannya 30,3 persen.
Pun dengan rilis LSI Denny JA pada hari yang sama. Selisih tingkat kedipilihan keduanya masih di angka 20 persen. Sementara Jokowi-Ma'ruf 54,8 persen, Prabowo-Sandi 31 persen. Kondisi tak begitu berbeda pada Agustus 2018. Saat itu elektabilitas Jokowi-Ma'ruf 52,2 persen, sementara Prabowo-Sandi 29,5 persen.
"Bukan Blunder" dan "Yakin Menang"
Kedua belah pihak sama-sama menyanggah anggapan soal blunder dan ketidakmampuan memanfaatkan peluang.
Kubu Jokowi-Ma'ruf ogah menyebut itu sebagai "blunder". Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf cum Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, mengatakan kepada reporter Tirto kalau "itu amatan yang salah."
"Itu [Jokowi blunder] memang dimainkan kubu sebelah," katanya. Raja Juli pun optimistis kalau semuanya tak akan mempengaruhi popularitas Jokowi.
Sementara Jubir Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Muhammad Syafi'i menganggap tanpa blunder pun, dia yakin Prabowo menang. Ia memalingkan muka terhadap semua survei yang hasilnya adalah Jokowi menang.
"Sebelum ada blunder pun sudah yakin bahwa aura kemenangan sudah ada di Prabowo-Sandi. Bahkan kami sudah sampai pada estimasi angka. Total Prabowo-Sandi akan menang 63 persen," katanya.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih