tirto.id - Joe Biden baru saja dilantik menjadi presiden Amerika Serikat. Kini, bersama wakilnya Kamala Harris, Biden resmi memimpin negara Paman Sam itu selama empat tahun ke depan.
Sebelum menjadi orang nomor satu di Amerika, Biden sudah menjadi wakil presiden selama dua kali berturut-turut mendampingi Barack Obama. Keduanya dilantik pada 20 Januari 2009 usai mengalahkan pasangan John McChain dan Sarah Palin.
Pada pemilu presiden AS 2012, Obama dan Biden kembali berpasangan, mereka berhadapan dengan calon Partai Republik Mitt Romney, seorang mantan gubernur Massachusetts dan berpasangan dengan Paul Ryan.
Obama dan Biden berhasil mengalahkan Romney dalam pemilihan 2012. Keduanya kembali dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Kala itu, Presiden Obama dan Biden berhasil mendapatkan 60 persen suara elektoral dan memenangkan suara populer dengan lebih dari 1 juta suara.
Absen selama empat tahun karena dipimpin Donald Trump, Biden justru kembali meraih tampuk kekuasaan. Bersama pasangannya, Kamala Harris, mereka memenangkan 306 suara electoral college, melebihi target 270 suara yang dibutuhkan untuk menang.
Tentu saja, ada banyak yang menunggu sepak terjang Biden, terutama saat menjadi orang nomor satu di negara adidaya itu. Apakah lebih baik dari rivalnya, Donald Trump, atau malah justru sebaliknya, terlebih soal bagaimana hubungan AS dengan Palestina selama ia memimpin nanti.
Nasib Hubungan AS dan Palestina
Seperti diwartakan NPR, pemerintahan Trump telah mengubah kebijakan Amerika Serikat terhadap konflik Israel dan Palestina. Sebab, Trump cenderung mendukung Israel. Ia juga menutup kantor utusan Palestina di Washington. Kemudian, Trump juga memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem, bahkan menghentikan bantuan kemanusiaan kepada Palestina.
Daniel Estrin, koresponden NPR di Yerusalem menyatakan, warga Palestina sangat ingin membuka lembaran baru karena Trump telah berulang kali menghina kepemimpinan Palestina. Kata Estrin, Biden pun berjanji mengembalikan bantuan kemanusiaan untuk Palestina. Selain itu, Biden juga menentang aktivitas pemukiman Israel di Tepi Barat yang mereka duduki.
Akan tetapi, sebagian warga Palestina kecewa karena tim Biden mengatakan bahwa mereka tidak akan memindahkan kedutaan keluar dari Yerusalem. Namun, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas memberi selamat kepada Biden dan dia berharap presiden AS itu bisa membina hubungan yang baik dengan Palestina.
Sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga mengucapkan selamat kepada Biden. Tetapi, kata Estrin, pejabat Israel bermain dua kaki. Di satu sisi, mereka berterima kasih kepada Trump dengan menyebutnya sebagai sahabat terbaik Israel di Gedung Putih. Di sisi lain, mereka mencoba memposisikan diri dengan memuji Biden sebagai teman lama Israel.
Seperti diwartakan Aljazeera, beberapa kantor berita Palestina memuat pernyataan pejabat Palestina tentang arti kemenangan Biden sebagai presiden terpilih.
Nabil Shaath, perwakilan khusus Presiden Mahmoud Abbas, mengatakan kepemimpinan Palestina tidak mengharapkan perubahan strategis dalam kebijakan AS terhadap Palestina, tetapi hanya ingin menyingkirkan rezim Trump--yang dia gambarkan sebagai "yang terburuk". Itu adalah keuntungan.
“Dari apa yang kami dengar dari Joe Biden dan wakilnya Kamala Harris, saya pikir dia akan lebih seimbang dan tidak terlalu tunduk pada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu - sehingga tidak berbahaya bagi kami dibandingkan Trump,” katanya.
Sementara Hanan Ashrawi, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mengatakan, langkah pertama mereka adalah "menyingkirkan Trump dan bahaya yang ditimbulkannya". Namun, dia menekankan bahwa Biden pun tidak akan menjadi penyelamat bagi Palestina.
Akan tetapi, kata dia, mereka sedang berdiskusi dan melakukan evaluasi untuk pemulihan hubungan Otoritas Palestina dengan AS setelah kemenangan Biden. Selama beberapa dekade, Ashrawi bilang, kebijakan AS pro-Israel telah menghasilkan kebijakan Trump.
“Apa yang dibutuhkan adalah mengubah apa yang telah dilakukan Trump dengan secara radikal mengubah rasisme dan politik yang dia wakili, dan membangun hubungan berdasarkan visi baru, keadilan, rasa hormat, dan kejelasan,” katanya.
Sementara itu, kepala biro politik Hamas, Ismail Haniyeh, meminta Biden untuk melakukan “koreksi historis atas jalannya kebijakan AS yang tidak adil terhadap rakyat kita, yang telah menjadikan Amerika Serikat sebagai mitra ketidakadilan dan agresi, dan merusak stabilitas di kawasan dan dunia.”
Haniyeh juga meminta Biden membatalkan keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Editor: Agung DH