tirto.id - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bergerak cepat mengumpulkan sejumlah perwakilan ormas Islam, kementerian, dan lembaga keamanan negara, pada Jumat malam (26/10/2018). Pertemuan ini menyikapi polemik soal pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid yang terjadi di Limbangan, Garut, Jawa Barat, pada 22 Oktober lalu.
Pertemuan yang digelar di rumah dinas JK ini hanya berselang beberapa jam dari aksi bertajuk “bela tauhid” yang digelar di Jakarta dan beberapa daerah. Sejumlah tokoh ormas yang hadir, antaranya lain: Ketua Umum PP Muhammadiyah Haidar Nasir, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, Ketua Umum Syarikat Islam Hamdan Zoelva, Ketua Umum PB Al Washliyah Yusniar Yusuf, Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin.
Selain itu, Ketua Majelis Penasihat Persis Maman Abdurrahman, Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Moh Sidik, Sekjen Dewan Masjid Indonesia Imam Addaruqutni, Tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan Cendekiawan Muslim cus Imam Besar Masjid Istiglal Nasaruddin Umar.
Akan tetapi, pertemuan yang digelar secara tertutup dan menyepakati sejumlah poin itu tidak dihadiri perwakilan dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, pentolan Persaudaraan Alumni 212, dan Front Pembela Islam (FPI). Padahal, beberapa pentolan dari tiga organisasi ini menjadi penggerak aksi bertajuk “bela tauhid” yang digelar secara serentak usai salat Jumat lalu.
Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin mengatakan pihaknya memang tidak mendapatkan undangan perihal pertemuan itu.
“Mungkin bagi mereka, posisi kami tidak menguntungkan, sebab kami tidak memberikan toleransi terhadap penghina agama yang membakar bendera tauhid,” kata Novel kepada reporter Tirto, Minggu (28/10/2018).
Novel menuturkan, kasus ini tidak bisa diselesaikan secara musyawarah, seperti yang dilakukan Jusuf Kalla bersama perwakilan ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis. Menurut dia, ormas tersebut belum mewakili semua unsur dan golongan, termasuk kelompok penentang penistaan terhadap agama yang seharusnya mereka bisa dilibatkan.
“Buat penista agama, kami tidak bisa toleransi karena kalau kami musyawarah, [artinya] mendukung pelaku penista agama. Apalagi tidak ada permintaan maaf,” kata Novel.
Karena itu, kata Novel, Persaudaraan Alumni 212 akan terus melakukan aksi sampai kelompok yang mereka tuding menistakan agama mengaku bersalah dan menyatakan permohonan maaf. “Serta yang bersalah diproses sampai ke pengadilan,” kata Novel.
Seharusnya Pemerintah Merangkul
Direktur Populi Center Usep S. Ahyar mengapresiasi langkah JK yang cepat merespons masalah ini dengan mengumpulkan perwakilan ormas Islam. Akan tetapi, Usep memberi catatan seharusnya pemerintah atau JK tetap merangkul ormas lain, termasuk mereka yang terlibat dalam aksi bertajuk “bela tauhid” yang digelar usai salat Jumat lalu.
Hal itu penting dilakukan agar kasus pembakaran bendera mirip HTI di Garut saat peringatan Hari Santri itu tidak dimanfaatkan sebagai “gorengan” politik identitas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Menurut Usep, pemerintah semestinya merangkul seluruh ormas Islam dan tidak mengaitkan pertemuan tersebut dengan politik elektoral.
“Ada yang lebih penting dari pemilu 2019, yaitu kepentingan rakyat. Jangan hanya kepentingan perolehan suara,” kata dia Usep kepada reporter Tirto.
Usep khawatir bila agama dijadikan alat politik, kasus seperti Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bisa terulang kembali, apalagi ada “jurang yang cukup dalam” antara ormas yang hadir dan tidak hadir. Karena itu, kata Usep, pertemuan antar-ormas secara berkelanjutan dapat diagendakan kembali untuk menghilangkan "jurang" tersebut.
Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Sa’adi yang juga hadir dalam pertemuan itu tak mau berspekulasi soal ketidakhadiran perwakilan dari GNPF dan FPI. Akan tetapi, Zainut memastikan pertemuan antara JK dengan perwakilan ormas, kementerian, dan institusi penegak hukum telah menyepakati sejumlah hal.
“Semua semangatnya sama yaitu, pertama menyampaikan rasa penyesalan atas terjadinya pembakaran bendera yang terjadi di Limbangan, Garut. Kedua, semua sepakat ingin mencari solusi yang maslahat dan terbaik untuk bangsa dan negara,” kata Zainut kepada reporter Tirto, pada Minggu (28/10/2018).
Zainut berharap, setelah pertemuan yang digelar di rumah dinas JK tersebut, masyarakat kembali tenang dan tidak terpengaruh oleh provokasi dan bujukan dari pihak yang ingin mengadu domba dan memecah belah umat dan bangsa.
Selain itu, berkaitan dengan demonstrasi atau menyampaikan aspirasi, kata Zainut, hal itu merupakan hak setiap orang yang dilindungi undang-undang. Namun demikian, kata dia, harus tetap mempertimbangkan hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan atau mafsadat.
Zainut kemudian mengutip kaidah fikih dar-ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih. “Dalam kaidah fikih, menolak kerusakan itu harus didahulukan daripada membuat kemaslahatan,” kata Zainut.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz