tirto.id - “Para santri yang aku sayangi. Barang-barang milik kiai, entah itu kelapa, ayam, buah-buahan, dan lain-lain, itu boleh diambil, boleh dicuri, halal,” kata Kiai Ali Maksum, pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir suatu kali.
Mendengar itu para santri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak girang, senang sekali. Apalagi melihat ayam-ayam Kiai Ali yang berseliweran di kompleks pesantren. Aturan ini malah membuat santri yang tadinya tidak ingin mencuri, jadi kepikiran ingin mencuri juga. Lumayan, sudah dihalalkan sama pemiliknya, kok.
“Asalkan tidak ketahuan,” lanjut Kiai Ali tiba-tiba.
Kiai Ali pun mengumumkan bahwa jika sampai ada santri yang ketahuan mencuri barang-barang miliknya, maka akan didenda sebesar Rp10 ribu, sedangkan bagi santri yang melaporkan kepada kiainya, maka akan mendapatkan uang Rp5 ribu.
“Wah, kalau begitu sama aja enggak boleh mencuri itu namanya,” kata seorang santri nakal kepada temannya yang merasa 'ditipu' oleh Kiai Ali.
Seperti diceritakan K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang diceritakan ulang oleh Ahmad Fikir A.F. dalam Tawashow di Pesantren (2005: 79-81) dan M. Solahuddin dalam Tawa Pesantren (2016: 68-70) ada dua orang santri nakal yang sangat berani. Dari keterangan Gus Mus, dua santri tersebut kelak di kemudian hari menjadi kiai terkenal, sekalipun tidak disebutkan siapa namanya.
Keduanya pun bersekongkol untuk liwetan (masak nasi di malam hari). Hari itu kebetulan keduanya sedang kelaparan dan tidak punya uang untuk membeli makanan. Dengan nekat mereka pun mengambil bahan-bahan pokok milik Kiai Ali.
Tidak tanggung-tanggung, semuanya adalah bahan-bahan milik dari Kiai Ali. Mulai dari beras, kelapa, sampai ayam. Setelah semua didapatkan dan prosesi memasak sudah selesai, salah satu santri nakal ini malah memberanikan diri untuk sowan kepada Kiai Ali.
“Assalamualaikum, Kiai,” kata santri nakal ini.
“Iya ada apa, Nak?” jawab Kiai Ali.
“Anu, saya sama teman sedang makan-makan. Mari Kiai, kalau berkenan bisa ikut makan-makan,” kata santri ini.
Pemandangan ini memang lumrah mengingat Kiai Ali sangat dekat dengan santrinya. Tak mau mengecewakan santrinya, Kiai Ali pun bersedia ikut makan dengan menggunakan piring besar dan makan bersama-sama.
Dengan santai Kiai Ali bertanya, “Wah tumben, ada acara apa ini?”
“Tasyakuran Kiai,” kata salah satu santri.
“Kalian ini banyak duitnya ya? Kok ada ayam segala?” tanya Kiai Ali.
Kedua santri ini pun hanya senyum-senyum saja.
“Ngomong-ngomong kalian beli ayamnya di mana?” tanya Kiai Ali seolah-olah sudah menaruh curiga.
Salah satu santri sudah begitu ketakutan mendengar pertanyaan Kiai Ali, karena merasa Kiai Ali sudah tahu perbuatan mereka.
Dari riwayat cerita yang lain, dari keterangan K.H. Buchori Masruri, sebelum dua santri ini memasak keduanya sudah lebih dulu ketahuan Kiai Ali saat mencuri kelapa. Saat akan naik pohon kelapa, kedua santri ini melakukan pembagian tugas. Satu santri memanjat pohon, yang satu lagi menunggu di bawah sambil membawa senter untuk berjaga-jaga.
“Jangan pernah nyorot ke atas, lho, ya? Nanti aku jadi kelihatan, bisa ketahuan kita,” kata si santri kepada temannya. Santri ini pun naik pohon begitu cepat, sedangkan temannya yang di bawah agak merasa ketakutan karena keadaan sangat gelap sedangkan ia tidak mungkin menyalakan lampu senter.
Saat sudah naik sampai pucuk pohon, tiba-tiba dari arah ndalem (rumah) Kiai Ali terdengar suara langkah kaki. Tentu saja santri yang berjaga di bawah langsung lari tunggang langgang meninggalkan temannya yang masih di atas pohon.
Saat Kiai Ali melewati pohon kelapa, tiba-tiba dari atas pohon terdengar suara “kresek… kresek”. Curiga ada sesuatu, Kiai Ali pun mengambil lampu senter di kediamannya dan menyalakannya.
“Guoblok, sudah dibilangin jangan nyenter ke sini, malah nyenter ke sini. Cepat matikan, nanti aku ketahuan,” kata santri ini di atas tanpa menyadari bahwa yang menyalakan senter adalah Kiai Ali.
Kiai Ali pun memilih tidak bersuara. Maklum, dari atas, keadaan di bawah memang sangat gelap karena begitu rindang. Membuat santri yang di pucuk pohon kelapa tidak tahu kalau sebenarnya ia sudah tertangkap basah.
Kiai Ali sendiri memilih diam saja dan kembali ke kediamannya. Sebab jika ia bicara sedikit saja, seperti misalnya bertanya, “Siapa, ya, di sana?” kemungkinan terburuk adalah santrinya yang sedang memetik kelapa itu bisa jatuh karena panik.
Kiai Ali pun menunggu di rumah. Sampai beberapa waktu kemudian salah satu santri mengunjungi rumahnya untuk mengajaknya makan-makan. Adegan yang kemudian diteruskan saat makan-makan sudah selesai
“Terima kasih ya sajiannya, Nak. Oh iya, satu lagi, jangan lupa untuk bayar dendanya,” kata Kiai Ali meninggalkan santrinya yang langsung pucat pasi dan menyadari bahwa mereka berdua benar-benar sudah ketahuan.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS