tirto.id - Cina, lewat dua perusahaannya COSCO dan Pelabuhan Lianyungan, baru-baru ini resmi memborong 49 persen saham perusahaan pengelolaan Pelabuhan Khorgos di Kazakhtan. Langkah ini termasuk dalam upaya menghidupkan kembali rute perdagangan dengan Barat era Dinasti Han (140 SM) yang dikenal sebagai"Jalur Sutra". Proyek Jalur Sutra Baru atau kini dinamakan Belt Road Initiative (BRI) menjadi kebijakan luar negeri utama rezim XI Jinping sejak dideklarasikan pada 2013 silam.
Kebijakan yang sebelumnya dikenal dengan nama “One Belt, One Road” ini amat ekspansif sebab jalur daratnya akan melewati Eropa Timur lalu berakhir di Eropa Barat, sementara jalur maritim akan melewati Vietnam, Malaysia, Indonesia, India. Dari Asia, Jalur Sutra Baru akan melewati Afrika Timur yaitu menuju Kenya, Somalia dan melewati Teluk Aden, dan Laut Merah. Setelah itu, dari Afrika Timur akan berlanjut ke Afrika Utara melalui Terusan Suez dan menuju ke Italia.
Proyek besar tentu perlu dana fantastis. Presiden Xi Jinping telah berjanji akan menyediakan gelontoran modal senilai $8 triliun untuk pembangunan infrastruktur di 68 negara. Kini menurut Cina, pihaknya sudah berinvestasi sebesar $50 miliar di 20 negara di sepanjang rute Jalur Sutra Baru.
Meski ekspansinya terasa hingga ke pemerintahan Joko Widodo, Cina rupanya tak sendirian. Dua raksasa Asia lain, Jepang dan India, punya proyek tandingan bernama Koridor Pertumbuhan Asia-Afrika (Asia-Africa Growth Corridor/AAGC). Gagasan AAGC muncul dalam deklarasi bersama yang dikeluarkan Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi dan PM Jepang Shinzo Abe pada November 2016.
Hanya berjarak beberapa hari saja usai Xi Jinping menggelar Belt and Road Forum pada bulan Mei kemarin di Beijing, India resmi meluncurkan AAGC pada acara African Development Bank, Rabu, 25 Mei 2017, di Gujarat. Jepang jadi gandengan utamanya, dan jabat erat tangan Abe dan Modi dinyatakan sebagai simbol penyatuan kekuatan ekonomi kedua negara dan kawasan yang diajak kerjasama.
AAGC akan mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi Asia Selatan, Tenggara, dan Timur dengan negara-negara kawasan Oseania dan Afrika agar terbentuk pusat pertumbuhan ekonomi dunia berikutnya. Mereka memprioritaskan proyek pembangunan di Asia dan Afrika di empat bidang utama, antara lain kesehatan dan farmasi, pertanian dan pengolahan agrobisnis, pengelolaan bencana, dan peningkatan keterampilan pekerja.
Baca juga: Pertemuan Jalur Sutra dan Poros Maritim
Ada tiga lembaga think-tank yang membantu merumuskan visi AAGC, yakni Research and Information System for Developing Countries (RIS) di New Delhi, India, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) yang berkantor di Jakarta, Indonesia, dan Institute of Developing Economics (IDE-Jetro) yang berbasis di Tokyo, Jepang.
Realisasi proyek raksasa AAGC adalah jalur laut yang mengubungkan kota-kota dan pusat produksi penting di kawasan segitiga ekonomi (Afrika, India, dan Asia Tenggara-Oseania). AAGC diharapkan bisa bersaing dengan Belt and Road Initiative Cina, yang kebanyakan disponsori negara, sementara AAGC lebih banyak melibatkan sektor swasta.
Dua Kubu
Jepang makin menunjukkan sikap bersaing dengan pelan-pelan melepaskan diri dari inisiatif yang dibawa dari negeri Tiongkok. Ada rekam jejak pahit dalam langkah investasi luar negeri Jepang karena kerap dikalahkan oleh Cina. Berbarengan dengan Amerika Serikat, misalnya, Jepang telah menolak bergabung dengan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang diprakarsai oleh Cina, demikian catatan Forbes.
Di Indonesia, rencana Jepang untuk membangun jalur rel kereta api kecepatan tinggi Jakarta-Bandung ditikung oleh Cina. Di Bangladesh, Jepang diberi kontrak pembangunan pelabuhan laut di Pulau Matarbari, tapi mesti merelakan proyek serupa di dekatnya yang lagi-lagi jatuh ke tangan Cina. Di Sri Lanka, Jepang dan India belajar dari kesalahan. Mereka merencanakan proyek pembangunan pelabuhan dan zona industri di Trincomalee setelah Cina diketahui telah berhasil mengambil alih proyek pelabuhan di Hambantota.
Jepang tak mau kalah berinvestasi di Kazakhstan. Jika COSCO dan Pelabuhan Lianyungan meraup 49 persen saham perusahaan pengelolaan Pelabuhan Khorgos, perusahaan logistik Nippon Express Japan juga menandatangani sebuah MoU dengan Kazakh Railways untuk meningkatkan arus lalu lintas kontainer darat antara wilayah Jepang/Korea Selatan dan Asia Tengah, Kaukasus, dan Eropa. Langkah ini adalah wujud kelanjutan persaingan Jepang dan Cina dalam memperebutkan pengaruh dan investasi di seluruh Eurasia dan Afrika.
Baca juga: Menghidupkan Jalur Sutra Lewat Kereta Barang Cina-London
Cenderung alotnya kerja sama ekonomi antara Cina dan Jepang ada akar sejarahnya. Keduanya pernah terlibat perang hebat dan meninggalkan trauma yang masih membekas hingga hari ini. Jika politik luar negeri punya pengaruh, ada apa dengan sikap menjaga jarak India dengan Cina? Jawabannya ada pada proyek Koridor Ekonomi Cina-Pakistan (CPEC).
CPEC diresmikan sejak 22 Mei 2013. Pakistan mendapat keuntungan banyak karena negeri dengan kebutuhan infrastruktur yang besar ini mendapat gelontoran bermacam proyek: jalan raya, jalur kereta api, produksi energi, dan lain sebagainya. Nilai awal kerja sama kedua negara awalnya “hanya” $46 milyar, tapi kini sudah mencapai angka $62 miliar.
Kemesraan kedua negara terkendala beberapa masalah menyangkut kedaulatan India-Pakistan (proyek CPEC berlangsung di daerah Kashmir yang menjadi sengketa teritorial antara India dengan Pakistan). Karena Cina mendekat dengan Pakistan, India pun mengambil jarak dengan Cina untuk kerja sama ekonomi, lalu merapatkan barisan dengan Jepang. Peta persaingan ekonomi Asia ke depannya akan mempertemukan duo Cina-Pakistan versus Jepang-India.
Ram Madhav, pemimpin berpengaruh Partai Bharatiya Janata (BJP) yang terlibat dalam pembentukan kebijakan luar negeri Modi berkata kepada Reuters, “Cina secara rutin mengancam negara-negara tetangga ketika menemukan masalah pelanggaran terhadap kedaulatannya sendiri. Tidak ada negara yang berkompromi dengan kedaulatannya hanya demi kepentingan perdagangan.”
Sebagaimana dikabarkan Times of India, Japan Bank of International Cooperation (JIBC) kemarin telah memutuskan akan mendukung penuh secara finansial proyek pembangunan di Afrika yang dilaksanakan oleh kolaborasi perusahaan India dengan perusahaan Jepang. Soal ini diumumkan dalam sebuah konferensi pers yang digelar oleh JBIC, Japan External Trade Organization (JETRO) dan Japan International Cooperation Agency (JICA) akhir Mei lalu.
Cina Manfaatkan BRICS agar AAGC "Berjalan Pelan"
Akhir minggu lalu Cina akhirnya bereaksi atas deklarasi AAGC: negara ini meminta proyeknya untuk berjalan pelan-pelan saja. Beijing kini masih membujuk India dan Afrika Selatan untuk tetap dalam agenda BRICS (asosiasi lima negara Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan). Tentu tanpa Jepang.
Cina melihat manuver AAGC ke depannya bisa jadi kompetitor raksasa yang akan mengurangi pengaruh ekonomi dan politik Cina di Afrika. Strategi pelemahan AAGC Cina mulai dengan kembali menyinggung soal komitmen India pada BRICS.
"Negara-negara BRICS seharusnya mempertimbangkan baik-baik bagaimana menanggapi peluang dan tantangan yang ada terkait antusiasme terhadap peluang ekonomi di Afrika dan memanfaatkan hal ini untuk meningkatkan kerja sama (antar anggota BRICS)," kata perwakilan pemerintah Cina sebagaimana dikutip Times of India.
Baca juga: Ambisi Cina dengan Proyek Jalur Sutra Abad 21
Cina juga mendorong New Development Bank, lembaga finansial yang berbasis di Shanghai dan diciptakan khusus untuk investasi BRICS, guna memperluas pinjamannya ke berbagai negara di Afrika meski bukan anggota BRICS. Cina benar-benar sedang kelimpungan menjaga keutuhan BRICS sekaligus kepentingan ekonominya di kawasan.
Demi ini semua, kebijakan aneh pun dilakukan Beijing saat menyelenggarakan pertemuan puncak BRICS di Xiamen, Cina, pada 3-5 September 2017. Mulai dari mengundang dua negara Afrika, Mesir dan Guinea, sebagai pengamat, hingga menyediakan meja khusus bagi perwakilan Thailand. Ketiganya jelas bukan anggota BRICS, tapi sudah dianggap Cina sebagai partner potensial di masa depan.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani