tirto.id - “...Perusahaan diberi kesempatan untuk menjual sebagian sahamnya kepada masyarakat. Dan masyarakat diberi kesempatan untuk membeli saham tadi. Dengan cara ini, maka kita mulai melangkah maju dalam usaha kita untuk membangun ekonomi kekeluargaan...”
Ini adalah petikan ucapan Presiden Soeharto saat membuka kembali pasar modal pada 10 Agustus 1977 setelah sempat vakum lebih dari dua dekade. Konteks pidato tujuh halaman kala itu tak terpisahkan pasca-satu dekade undang-undang penanaman modal asing dan dalam negeri yang ditelurkan Orde Baru. "Tumbuhnya perusahaan dan industri-industri swasta itu dibantu oleh pemerintah...oleh sebab itu adil dan layak apabila masyarakat diberikan kesempatan untuk memiliki perusahaan-perusahaan...cara itu adalah dengan membentuk pasar modal...," kata Soeharto dalam sambutannya.
Pada tahun yang sama, Soeharto mendirikan Badan Pembina Pasar Modal (Bapepam) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas sebagai pengawas dan pengelola bursa efek atau pasar modal, sedangkan Danareksa bertugas menyebarluaskan saham dan sertifikat saham kepada masyarakat. "Tujuannya agar masyarakat luas yang memiliki uang sedikit dapat ikut membeli saham." Namun, pembukaan kembali pasar modal saat itu menandai peran pemerintah yang masih dominan mengelola aktivitas pasar modal, sebelum masuk era swastanisasi setelahnya.
Menurut I Putu Gede Ary Suta—Ketua Bapepam periode 1995-1998—dikutip dari buku Menuju Pasar Modal Modern, pasar modal Tanah Air sepanjang satu dekade pertamanya ini mengalami masa-masa yang cukup suram. “Jangankan membuka diri agar sahamnya bisa dimiliki publik, memberikan sedikit sahamnya kepada satu dua orang pun terasa berat, bahkan mungkin tabu. Sikap perusahaan itulah yang harus dihadapi pasar modal kala itu,” katanya.
Bisa dibilang, pasar modal dalam satu dekade pertamanya itu sangat sepi. Harga saham dan indeks cenderung bergerak stagnan karena minimnya perdagangan. Masyarakat juga belum banyak mengenal pasar modal sebagai sarana investasi.
Namun, upaya perbaikan tetap dilakukan dengan melakukan improvisasi. Bapepam mengenalkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 1 April 1983. IHSG menjadi indikator pergerakan harga saham di BEJ. Indeks ini mencakup pergerakan harga seluruh saham biasa dan saham preferen yang tercatat. Hari dasar untuk perhitungan IHSG adalah pada 10 Agustus 1982.
Sayangnya, perkembangan indeks di awal-awal kemunculannya tak cerah. IHSG hampir selalu berada di bawah 100. Hanya pada 1983, IHSG sempat menyentuh di angka 104,53. Hingga 1988, jumlah perusahaan publik atau emiten yang terdaftar di bursa efek mencapai 20 emiten. Jumlah pialang pasar juga hanya 20 perusahaan. Adapun, rata-rata nilai transaksi perdagangan saham baru Rp20 juta per hari.
Pemerintah lalu mulai merombak sejumlah aturan yang menghambat minat perusahaan untuk masuk bursa. Deregulasi itu di antaranya dikemas dalam bentuk paket, yakni Paket Desember (Pakdes) 1987, Paket Oktober (Pakto) 1988, dan Pakdes 1988. Setelah itu, pemerintah Soeharto mulai melepas cengkeramannya untuk mengelola pasar modal. Sejak 13 Juli 1992, swastanisasi terhadap Bursa Efek Jakarta (BEJ) bergulir. Bapepam berubah menjadi badan pengawas pasar modal.
Kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia pun perlahan-lahan mulai menguat. Puncaknya terjadi ketika pemerintah menetapkan UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal yang berlaku efektif 1 Januari 1996. Hingga 1996, Bapepam sedikitnya telah mengeluarkan 102 peraturan sebagai petunjuk pelaksanaan teknis dari undang-undang tersebut.
Namun, perkembangan pasar modal setelah dua dekade diaktifkan kembali oleh Soeharto dianggap terlalu lambat. Dalam buku Pasar Modal di Ujung Pena, karya Abraham Runga Mali, Afriyanto, dan Lahyanto Nadie, menilai keterlambatan Soeharto ini juga disebabkan ia lebih senang memanfaatkan aliran modal langsung, melalui utang maupun investasi langsung dari perusahaan raksasa sekelas Freeport atau ExxonMobil.
Pada 1996, jumlah perusahaan yang melantai di bursa efek mencapai 295 emiten dengan total nilai emisi Rp61,4 triliun. Per 26 Desember 2016, nilai kapitalisasi pasar tercatat menembus Rp212,70 triliun. Berselang satu dekade, pada 1 Desember 2007 terjadi Penggabungan Bursa Efek Surabaya (BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Keluarga Cendana di Lantai Bursa
Di ujung periode Orde Baru, keluarga Soeharto makin dalam menancapkan kuku kerajaan bisnisnya di berbagai segala bidang termasuk di pasar modal. Dalam buku “Pasar Modal di Ujung Pena” mengungkapkan sedikitnya ada empat nama dari keluarga inti Cendana yang berkecimpung di pasar modal.
Nama Siti Hardiyanti Hastuti atau biasa disapa Tutut salah satu yang menonjol. Anak pertama Soeharto ini melepas saham perusahaannya yakni PT Citra Marga Nusaphala Persada sebanyak 122 juta saham, atau 24,4 persen dari total saham yang diterbitkan. Perusahaan yang bergerak di infrastruktur jalan tol ini resmi melantai di bursa efek pada 10 Januari 1995 dengan harga saham senilai Rp500 per saham. Adapun, kode emiten perusahaan adalah CMNP.
Langkah aksi korporasi IPO perusahaan yang dimiliki Tutut kemudian diikuti Bambang Trihatmodjo. Anak ketiga Soeharto ini melepas saham perdana PT Bimantara Citra sebanyak 200 juta saham, atau 20 persen dari modal disetor dengan harga Rp500 per saham pada Juli 1995.
Anak bungsu Soeharto yakni Hutomo Mandala Putera atau biasa disapa Tommy juga tidak ketinggalan mengikuti kedua kakaknya. Ia melepas saham perdana PT Humpus Intermoda, selaku perusahaan yang mengoperasikan pengapalan bahan bakar minyak dan gas. Dalam perjalanannya, Humpus Intermoda saat ini menjadi satu-satunya perusahaan keluarga inti Cendana yang masih eksis. Dua emiten sebelumnya, yakni Bimantara dan Citra Marga Nusaphala Persada saat ini sudah berpindah tangan.
Siti Hediati Hariyadi atau Titiek juga turut berkecimpung di pasar modal. Anak keempat Soeharto ini bisa dibilang masuk jauh lebih dalam ke pasar modal ketimbang saudara-saudaranya. Selain menjadi pemilik perusahaan sekuritas PT Pentasena Arthatama, Titiek juga pernah menjabat Ketua Masyarakat Pasar Modal (Capital Market Society/CMS) Indonesia. CMS adalah lembaga nirlaba yang bertujuan untuk menyosialisasikan pasar modal.
Editor: Suhendra