tirto.id - Adegan horor dalam video yang kini viral di Youtube itu bermula dari gambar yang agak buram dari gerombolan laki-laki Desa Salibubiro, Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat, di tengah hutan yang gelap. Cahaya senter menimpa tubuh ular sanca kembang yang sukses ditangkap warga dalam kondisi kelelahan.
Perutnya yang terlalu kembung dicurigai bukan karena makan babi hutan atau monyet, makanan alamiahnya, tapi dicurigai sebagai Akbar (25), pemuda tanggung yang sudah lebih dari 24 jam menghilang.
Seorang warga berinisiatif membelah perut si sanca dengan menggunakan sebilah parang. Sayatan bermula dari ujung ekor pelan-pelan ke arah kepala. Sepanjang 50 cm sayatan pertama warga mulai curiga melihat isinya yang serupa kaki manusia. Kecurigaan mereka akhirnya terbukti benar saat perut ular sepanjang empat meter itu terbuka seluruhnya. Mayat Akbar tertelungkup dilapisi lendir isi perut sanca. Perburuan malam itu berakhir.
Sanca kembang adalah salah satu ular jenis Pythoniadae (piton) dengan nama latin Malayopython reticulatus. Indonesia jadi salah satu negara habitat sanca kembang selain negara Asia Tenggara lain, terutama Malaysia dan Myanmar. Ular dengan panjang rata-rata 1,5-6,5 meter dan berat 1-75 kg ini juga lazim ditemukan di hutan tropis, padang rumput, maupun perairan air tawar Cina, Sri Lanka, Nepal, Australia, hingga sepanjang sub-Sahara Afrika.
Guinnes World Record tahun 2011 sempat mendaulat Sanca Kembang sebagai ular terpanjang di dunia saat ditemukan satu ekornya di Kansas, Amerika Serikat, sepanjang 7,6 meter. Sementara itu, dalam catatan akademik, sanca kembang terpanjang pernah ditemukan oleh Institute for Biodiversity and Ecosystem Dynamics Universitas Amsterdam di pedalaman Balikpapan, Kalimantan Timur. Panjangnya mencapai 6,95 meter.
Manusia bukanlah mangsa alamiah sanca kembang. Ular dari marga Malayopython ini lazimnya memakan burung, tikus, babi hutan, monyet, atau rusa. Sementara jika tinggal di dekat hunian manusia mereka memburu ayam, kucing, atau anjing. Gaya berburu sanca kembang khas ular besar: menangkap dan melilit kuat mangsanya hingga kehabisan nafas atau hingga tulang dada serta panggulnya remuk sehingga akan lebih mudah saat ditelan bulat-bulat. Prosedur tragis inilah yang kemarin menimpa Akbar.
Tubuh Akbar masih utuh karena sanca kembang (dan ular besar lain) rata-rata perlu waktu minimal satu minggu hingga 6 bulan bulan untuk mencerna mangsanya, tergantung usia si ular dan besar mangsa. Sanca remaja biasanya memerlukan waktu seminggu saja, sedangkan yang dewasa perlu sampai satu hingga enam bulan. Semakin kecil ukuran mangsanya semakin cepat ia makan lagi.
Sanca dewasa yang memakan mangsa besar, termasuk seorang manusia dewasa, bisa bertahan tak makan lagi hingga berbulan-bulan lamanya.
Buntut Pembabatan Hutan
Meski bukan mangsa alamiah/lazimnya, tetap ada kemungkinan manusia menjadi mangsa sanca kembang karena ular ini memiliki mulut dan ukuran perut yang memungkinkan untuk dilewati tubuh manusia dewasa—apalagi anak kecil atau bayi. Persoalannya kadang pada tulang bahu orang dewasa yang terlampau kokoh, sehingga kadang perlu dipatahkan dulu. Jikapun bisa tertelan, si ular biasanya jadi relatif lebih sulit bergerak. Alhasil, ia gampang tertangkap warga.
Di Indonesia, pertemuan antara hewan liar dan manusia menjadi fenomena yang tak lagi istimewa. Pertemuan, dan kemudian berakhir dengan persaingan persaingan bertahan hidup, berawal dari manusia sendiri yang “menjajah” habitat asli hewan liar—termasuk sanca.
Hutan tropis yang seharusnya dilindungi dibabat atas nama ekspansi bisnis yang luar biasa masif terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Hutan hujan sebagai ekosistem terkaya di dunia musnah digantikan barisan tanaman komoditas, terutama kelapa sawit.
Menurut data dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, luas lahan perkebunan kelapa sawit nasional pada tahun 2013 seluas 10,465 juta hektar. Pada 2014 bertambah menjadi 10,956 juta hektar, dan pada 2015 sudah menembus angka 11,444 juta hektar. Kalimantan pada 2013 memiliki lahan sawit seluas 3,306 juta hektar, tapi masih kalah dengan Sumatera yang dengan perkebunan sawit seluas 7,2 juta hektar. Selanjutnya ada Sulawesi (349.464 hektar), Maluku dan Papua (135.303 hektar), dan Jawa (36.163 hektar).
Kepada The New York Times, Ketua Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HakA) Farwiza Farhan menyatakan kekhawatiran akan kerusakan alam Indonesia makin besar tiap tahunnya.
“Semakin dalam manusia berekspansi ke alam liar, konflik habitat semacam ini akan lebih sering terjadi sebab baik manusia maupun hewan liar sama-sama butuh ruang untuk hidup,” imbuhnya.
Akbar berprofesi sebagai pekerja sebuah perkebunan kelapa sawit. Profesi yang paling rawan dimangsa sanca dan hewan liar lain. Laporan Eyes on the Forest, koalisi organisasi lingkungan di Sumatera, mencatat selama 12 tahun terakhir 60 persen serangan harimau di Provinsi Riau terjadi di lahan konsesi tempat pengembang membabat hutan.
Serangan ini mengakibatkan kematian 27 manusia dan delapan harimau. Nasib malang yang sama juga dialami spesies gajah maraunding di sepanjang Pulau Sumatera.
Jejak Berdarah Sanca
Akbar bukan korban pertama. Dalam sebuah narasi yang disusun F. Kopstein di awal 1920-an silam bertajuk “On the swallowing of humans by P. reticulatus”, ada dua kejadian serupa. Kejadian pertama bertempat di Pulai Salibabu, Sulawesi Utara, saat seorang remaja berusia 15 tahun terbunuh dan hampir dimakan bulat-bulat oleh sanca sepanjang 5,17 meter. Tak ada cerita rinci untuk kejadian kedua, tapi intinya ada seorang perempuan dewasa yang dimakan oleh sanca raksasa.
John C. Murphy dan rekan-rekannya pada tahun 1997 mempublikasikan sebuah buku berjudul Tales of Giant Snakes: A Historical Natural History of Anacondas and Pythons. Di dalamnya ada cerita tertanggal 4 September 1995 saat Ee Heng Chuan, penyadap karet berusia 29 tahun asal Johor, Malaysia Selatan, dilaporkan tewas dimangsa sanca raksasa.
Korban dilaporkan ditangkap sang ular tanpa sadar dan segera dililit dengan kuat. Korban mati akibat kehabisan nafas dan tulangnya remuk. Si ular sempat menelan kepala korban sebagai fase awal menelan seluruh tubuhnya bulat-bulat. Namun, upayanya gagal akibat ketahuan warga setempat. Polisi menembaknya empat kali hingga si ular tewas. Kepala korban masih tersangkut di mulut ular sepanjang 7 meter dan berat 135 kg itu saat sang ular meregang nyawa.
Di Filipina, setidaknya tercatat dua kasus matinya manusia akibat sanca. Cerita pertama dinarasikan pemburu binatang AS Franck Buck tentang seorang remaja yang dimakan sanca peliharaan sepanjang 7,6 meter. Sanca itu lolos dan saat ditemukan ada juga mayat bayi manusia di dalam perutnya. Rupanya bayi tersebut adalah anak si pemilik ular. Sedangkan cerita kedua, dialami Suku Aeta negritos di Filipina yang tercatat pernah kehilangan enam anggotanya akibat dimakan sanca dalam kurun waktu 40 tahun.
Myanmar adalah rumah bagi sanca Myanmar (Burmese python) alias Python bivittatus, salah satu jenis sanca terpanjang dan terberat di dunia. Masih dalam buku John C. Murphy dan kawan-kawan, Franz Werner mereportase kasus terkait sanca sejak rentang awal 1920-an.
Salah satu kasusnya melibatkan seorang perempuan bernama Maung Chit Chine yang dimakan oleh sanca sepanjang 6 meter saat sedang berburu dan mencari perlindungan dari hujan di bawah pohon. Tubuh Chine remuk sebelum akhirnya ditelan bulat-bulat mulai dari kaki hingga kepala.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani