tirto.id - Serial Feud dari produser dan sutradara Hollywood Ryan Murphy mendapat respon baik. Debut tiga episode pertamanya ditonton 5,17 juta pemirsa. Membuat serial mendapatkan rating tertinggi di stasiun televisi FX. Murphy memang dikenal sebagai pembuat sinetron bertangan dingin. Sebelumnya ia sukses dikenal karena karya-karya besarnya: Nip/Tuck, Glee, American Horror Story, dan Scream Queens.
Salah satu faktor kesuksesan besar Feud adalah batang utama naskahnya. Sinetron itu mengangkat kisah nyata perseteruan paling panas yang pernah terjadi di Hollywood, antara Bette Davis dan rival sejatinya, Joan Crawford. Kedua aktris ini memang dikenal sebagai bahan utama pergosipan Hollywood pada 1940 hingga 1960-an. Berawal dari masalah cinta segitiga hingga perseturuan karier, seteru keduanya berlomba-lomba membuktikan siapa yang paling tenar menjadi konsumsi penggemar gosip.
Perseteruan antar-selebritas hampir tak pernah gagal jadi kepala berita di media hiburan. Bagi infotainment, perseteruan kelas tersebut bahkan jadi bahan dagangan utama yang selalu dicari-cari. Kebiasaan manusia bergosiplah yang menjadi alasan industri ini tumbuh subur.
Selain Davis versus Crawford, dunia hiburan juga mencatat banyak sekali perseteruan selebritas yang bisa berujung damai, tapi lebih sering kekal abadi. Misalnya Chelsea Handler versus Angelina Jolie, Nicki Minaj versus Taylor Swift, Nicki Minaj versus Remy Ma, Nicki Minaj versus Mariah Carey, dan Nicki Minaj versus selebritas lainnya. Di Indonesia sendiri, perseteruan selebritas juga bukan barang asing. Nama-nama seperti Ayu Ting Ting, Jessica Iskandar, Dewi Persik adalah salah satu di antara mereka yang sering dibahas akun-akun gosip.
Gosip nyatanya memang jadi salah satu konsumsi wajib manusia sehari-hari. Menurut psikolog, dalam sehari, 60 persen isi percakapan antar-orang dewasa membicarakan orang lain. Studi yang berbeda mengafirmasi kalau otak manusia memang lebih senang merespon informasi-informasi negatif, ketimbang yang positif. Membuat rating acara-acara infotainment cenderung bagus, dan punya masa setianya sendiri. Alasan sama juga berlaku mengapa akun gosip macam Lambe Turah di Instagram punya pengikut sampai angka 2,6 juta dan kolom komentarnya selalu diisi ratusan hingga ribuan respon.
Salah satu topik yang paling laku memang cerita kehidupan selebritas, terutama kisah perseteruan mereka. Menurut Nathan Heflick, ahli psikologi, di Psychology Today, alasan manusia menyukai kisah-kisah selebritas adalah sebagai tanda merayakan kebudayaan. Ketakutan manusia pada kematian, membuat mereka lebih senang membahas hal-hal tentang merayakan hidup, salah satunya kebudayaan populer. Lalu, keterkenalan para selebritas mempermudah mereka jadi objek pergunjingan semua orang.
Namun, kendati dilakukan semua orang, bergosip tentu saja punya dampak buruk. Lewat gosip, stigma dan streotip juga mengalir dan mengakar.
Menjadi Misoginis Lewat Perseteruan Selebritas
Seteru di dunia hiburan memang tak melulu terjadi antar-selebritas perempuan. Kadang para pria juga bentrok, dan jadi bahasan media. Kadang yang berseteru justru pria lawan wanita. Tapi menurut ahli psikologi Seth Meyers, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan memang lebih keras pada perempuan lain, ketimbang pria pada sesamanya. Hal ini yang kemudian membuat perseteruan antar-selebritas perempuan lebih sering terdengar. Alasan lain, karena perseteruan perempuan dianggap lebih seru dan negatif dibanding perseteruan sesama pria.
Dalam tulisannya berjudul Women Who Hate Other Women: The Psychological Root of Snarky, Meyers menjelaskan banyak faktor yang bisa jadi penyebab hal di atas. Misalnya faktor kegelisahan. Umumnya, perempuan dituntut lebih banyak hal ketimbang laki-laki di dunia yang amat ditentukan nilai-nilai patriarki ini. Seperti harus selalu tampil cantik, bisa merawat anak sekaligus jadi wantia karier, dan lain-lainnya. Tuntutan itu akhirnya menimbukan kegelisahan untuk bisa tampil lebih unggul, terutama dari perempuan lain.
“Yang ketemukan, mayoritas dari kritisisme perempuan timbul dari perasaan tidak pantas dalam area hidup yang tidak dikuasainya,” ungkap Meyers. Ia mencontohkan seorang pasiennya yang terkenal kritis pada gaya mengasuh orang tua di lingkungan sekitarnya. Di saat yang sama, ternyata sang pasien punya masalah kesuburan yang membuatnya sulit hamil.
Sikap kritis yang tak jarang berujung jadi seteru tersebut bisa jadi cikal bakal tindakan-tindakan yang tak hanya menyakiti lawan, tapi juga merendahkan perempuan lain di saat yang bersamaan.
Misalnya, dalam kasus perseteruan Kelly Osborne dan Christina Aguilera. Keduanya mengatai lawannya gendut. Sebagai selebritas, keduanya justru melakukan fat shaming, seolah-olah mengamini stereotip bahwa perempuan yang ideal adalah mereka yang tidak gemuk.
Contoh lain adalah kebencian mutlak Chelsea Handler pada Angelina Jolie. Handler mengganggap Jolie perusak rumah tangga dan wanita jahat, secara terang-terangan . Ia bahkan menyebut Jolie dengan makian “fucking lunatic” saat membahas kabar perceraian Brad Pitt dan Jolie.
Handler memang membantah kalau kekesalannya pada Jolie bermula dari keretakan rumah tangga sang sahabat Jennifer Aniston dan Brad Pitt. Tapi kebencian Handler mengafirmasi bahwa ia benar-benar menyalahkan Jolie secara penuh dalam skandal Jolie-Pitt. Seolah satu-satunya pihak yang berhak disalahkan dalam kasus perselingkuhan adalah “wanita lain”-nya; seolah-olah pria yang berslingkuh sama sekali tidak bersalah.
Padahal, Handler dikenal sebagai salah satu komedian-feminis paling vokal menyuarakan isu kesetaraan gender. Ia sering tampil telanjang dada untuk merayakan gagasan membebaskan puting perempuan dari sensor.
Tapi, nyatanya memang masih banyak perempuan belum kafah memahami feminisme. Tak hanya Handler, Taylor Swift adalah salah satu contoh selebritas lain yang sering mengoar-ngoarkan feminisme, tapi memperlihatkan tingkah yang sebaliknya.
Meyers dalam tulisan lain yang membahas perseteruan selebritas perempuan, mengkritik sikap Taylor Swift yang menganggap konfliknya dengan Minaj sebagai adu perempuan lawan perempuan.
“Saya akan menganjurkan Swift, khususnya, untuk membaca lebih banyak tentang feminisme dan hubungannya dengan ras dan kelas sehingga dia mengerti—dan tidak menyalahgunakan ajaran pokok feminisme untuk keperluan pribadinya belaka,” tulis Meyers.
Sebelumnya, seteru Minaj dan Swift bermula dari perang cuitan di Twitter. Meyers juga meragukan pemahaman Swift tentang feminisme dalam pembuatan musik video “Bad Blood”, yang mempertontonkan pertarungan antar-perempuan sebagai aksi seru. “Poin utama feminisme adalah agar para perempuan saling menyokong dan menyemangati satu sama lain,” tulis Meyers.
Di Indonesia, praktik tersebut justru lebih sering lagi terjadi. Mulan Jameela misalnya, selalu jadi bulan-bulanan warganet karena dianggap sebagai perempuan “perebut suami orang”. Belakangan, nama Ayu Ting Ting juga terseret dalam label tersebut.
Padahal dalam istilah “perebut suami orang”—yang jelas lebih populer dibandingkan “perebut istri orang”—pesan-pesan misogini kental terselip. Istilah tersebut merujuk bahwa perselingkuhan dalam perayaan hubungan monogami di Indonesia selalu disebabkan kesalahan-kesalahan perempuan: bisa jadi perempuan yang ditinggalkan, atau perempuan yang jadi alasan meninggalkan.
Padahal, pria juga aktor dalam kasus tersebut. Namun budaya patriarki—yang merayakan laki-laki sebagai raja duniawi—mengajarkan bahwa perempuan memang harus berusaha keras dalam segala hal di hidupnya, termasuk menjaga prianya.
Hal ini membuktikan bahwa perseteruan-perseteruan antar-perempuan—terutama selebritas perempuan, yang kehidupannya jadi tontonan publik—sadar atau tidak jadi panggung pesan-pesan misogini tersiarkan. Tentu saja hal ini akan berdampak buruk bagi masa depan perempuan, yang sekarang saja masih: tidak digaji setara dengan pria untuk pekerjaan yang sama, jadi korban kekerasan seksual paling banyak, dan tak punya kesempatan yang sama besar dengan pria.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS