Menuju konten utama

Java Nacht Expres, Pionir Kereta Api Malam Jarak Jauh di Indonesia

Java Nacht Expres adalah pionir kereta malam jarak jauh di era Kolonial. Masih beroperasi sampai masa awal Pendudukan Jepang pada 1942.

Java Nacht Expres, Pionir Kereta Api Malam Jarak Jauh di Indonesia
Ilustrasi kereta uap. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Pernah sekali aku pergi dari Jakarta ke Surabaya,

untuk menengok nenek di sana dengan mengendarai kereta malam.

Juk, gijak, gijuk, gijak, gijuk, kereta berangkat.

Juk, gijak, gijuk, gijak, gijuk, hatiku gembira.”

Sebagian dari Pembaca tentu mengenal lirik tersebut. Itulah penggalan lagu “Kereta Malam” yang dipopulerkan oleh Elvy Sukaesih. Tak sekadar lagu, ia juga jadi tengara bahwa kereta api merupakan salah satu sarana transportasi favorit bagi masyarakat Indonesia.

Tengok saja ketika musim liburan atau mudik tiba, banyak tiket kereta api yang ludes dibeli para calon penumpang.

Kereta api telah hadir di Indonesia sejak pertengahan abad ke-19. Butuh proses birokrasi dan perdebatan panjang hingga jalur kereta api pertama di Jawa dibangun.

“Akhirnya dengan adanya kebutuhan yang saling mengait, maka pada tahun 1862 untuk pertama kalinya pemerintah memberikan konsesi kepada beberapa orang pengusaha swasta yang kemudian mendirikan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschapppij (NISM) yang dipimpin oleh J.P. Bordes,” tulis Tim Telaga Bakti Nusantara dalam Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1 (1997, hlm. 53).

Empat tahun kemudian, tepatnya pada 1864, NISM memulai pembangunan jalur kereta api pertama di Hindia Belanda yang membentang dari Kemijen hingga Tanggung sejauh 25 km. Jalur ini kemudian mengular hingga wilayah Vorstenlanden—sebutan bagi wilayah Surakarta dan Yogyakarta pada saat itu.

Pada tahun-tahun awal, kereta api difungsikan sebagai sarana pengangkut hasil perkebunan sebelum kemudian dikomersialkan untuk transportasi warga.

Batavia-Surabaya, Dua Hari Perjalanan

Sejak 1875, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga ikut campur dalam pembangunan kereta api dengan mendirikan Staatsspoorwegen (SS). SS lalu membangun jalur kereta api yang menghubungkan beberapa kota di Jawa, seperti jalur Surabaya menuju Madiun, Surakarta, Yogyakarta, Cilacap, Maos, hingga sampai ke Bandung dan Buitenzorg. Jalur penting yang menghubungkan Surabaya dan Batavia itu berhasil dirampungkan SS pada 1894.

Sejak saat itu, perjalanan Batavia-Surabaya dapat ditempuh dalam dua hari dengan kereta api—lebih cepat dibandingkan melalui Grote Postweg atau Jalan Raya Pos.

Meski terkesan lebih cepat pada mulanya, pelanggan kereta api dan pelancong segera saja merasa waktu tempuh itu masih lambat. Terlebih, tempo dua hari itu ditempuh dengan tidak praktis karena penumpang harus berpindah kereta beberapa kali.

“Bermula orang naik kereta api SS dari Priok ke Betawi, lantas pindah kereta api milik NISM sampai Bogor, lalu pindah kereta api SS lagi sampai Yogya. Di Yogya mesti ganti kereta api pula sampai Solo. Di Solo orang mesti pindah lagi ke kereta SS sampai Surabaya. Jikalau orang bepergian dari Surabaya ke Betawi dan sebaliknya, maka tempat bermalam ada di Maos yang banyak terdapat penginapan,” tulis manajemen SS sendiri dalam Boekoe Peringatan dari Staatspoor en Tramwegen di Hindia Belanda 1875-1925 (1925, hlm. 19).

Ketidakpraktisan lainnya adalah soal kecepatan yang dibatasi dan larangan kereta api beroperasi pada malam hari. Kecepatan kereta api dibatasi kala melintasi daerah Priangan yang secara geografis berada di dataran tinggi.

Terkait larangan beroperasi di malam hari, salah satu penyebabnya bisa disimak melalui tuturan Eliza R. Scidmore dalam Java the Garden of the East (1897, hlm. 52), “Kereta tidak berjalan di malam hari. Padahal hal itu akan menjadi keuntungan besar karena kondisi cuaca Jawa yang panas di siang hari. Pemerintah tidak mempercayai para pegawai bumiputera untuk menjalankan kereta api setelah gelap.”

Alasan lain juga dikemukakan oleh H.W. Ponder dalam Javanese Panorama, a Further Account of the World’s Richest Island (1942, hlm. 239). Menurut Ponder, larangan itu berkait dengan “Adanya kepercayaan pegawai yang berasal dari kalangan bumiputera mengenai roh-roh nenek moyang yang keluar pada malam hari sehingga kereta tidak dioperasikan karena khawatir akan mengganggu roh-roh tersebut.”

Maka sampai saat itu, kereta malam masih sekadar berwujud gagasan.

Usaha Mempercepat Waktu Tempuh

SS tentu saja berupaya untuk mengatasi kelemahan-kelemahan itu, terutama soal mempercepat waktu tempuh. Salah satu cara yang ditempuh SS adalah dengan membangun jalur kereta api baru yang melewati dataran rendah. Dengan begitu, SS berharap kereta apinya dapat digeber hingga kecepatan maksimal.

Awalnya, SS membangun jalur baru dari Cikampek hingga Padalarang yang selesai dibangun pada 1906. Jalur baru ini membuat perjalanan lebih efisien karena kereta api tujuan Bandung tidak lagi harus memutar melewati Buitenzorg dan Cianjur. Namun, usaha ini belum dapat memotong waktu tempuh untuk rute Batavia-Surabaya.

“SS lalu memutuskan untuk membangunan jalur lain, yaitu dari Cikampek menuju Cirebon”, tulis S.A. Reitsma dalam Indische Spoorweg-politiek, Deel I (1916, hlm. 62).

Pembangunan jalur tersebut dimulai pada 1910 dan selesai pada 1912. Secara umum, jalur ini berada di daerah dataran rendah sehingga kereta api dapat dipacu hingga kecepatan maksimal. Jalur ini kemudian diperpanjang hingga Kroya dan mulai dioperasikan pada 1916. Namun, upaya ini nyatanya belum juga dapat memotong waktu tempuh ke Surabaya.

Meski belum dapat menyelesaikan masalah utamanya, pembangunan jalur antara Cikampek hingga Kroya itu berhasil membuat gaung gagasan kereta api cepat Batavia-Surabaya semakin menguat. Kereta api cepat Batavia-Surabaya kemudian berhasil diwujudkan pada 1929.

“Setelah uji coba dianggap berhasil, SS memastikan bahwa kereta api cepat Eendaagsche Expres akan dioperasikan pada 1 November 1929,” tulis koran De Locomotief (21 Februari 1929).

Sebagaimana namanya, Eendaagsche Expres berhasil memotong waktu tempuh dari Batavia hingga Surabaya dan sebaliknya menjadi hanya satu hari saja. Kereta ini berangkat dari Batavia ataupun Surabaya pada pagi hari dan tiba di kota tujuan pada petang harinya, sebelum matahari terbenam. Selain cepat, Eendaagsche Expres juga dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang dapat memanjakan para penumpangnya.

Hadirnya Java Nacht Expres

Keberhasilan Eendaagsche Expres kemudian membuat gagasan menghadirkan kereta malam kembali mengemuka. Sebelumnya, wacana ini juga sempat muncul pada 1918.

“Rencana untuk pengoperasian kereta api pada malam hari sudah pernah dibahas oleh Volksraad pada tahun 1918”, tulis S.A. Reitsma dalam Indische Spoorweg-politiek, Deel VIII (1926, hlm. 249).

Cukup lama gagasan itu diproses hingga benar-benar siap diwujudkan pada 1936. Terkait hal ini, koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch Indie (31 Oktober 1936) memberitakan, “Setelah melakukan penyelidikan dan persiapan yang panjang, SS siap menjalankan Java Nacht Expres, kereta cepat yang dioperasikan pada malam hari.”

SS mengundang beberapa wartawan untuk ikut dalam uji coba pengoperasian Java Nacht Expres. Rencananya, perjalanan dimulai dari Batavia saat malam hari dan dijadwalkan bakal tiba di Surabaya keesokan paginya. Meski baru sebatas uji coba, masyarakat rupanya menaruh antusiasme yang besar.

“Banyak masyarakat yang penasaran dengan kereta ini. Di Cirebon dan Purwokerto, Polisi harus bekerja keras mengamankan jalur dan stasiun dari kedatangan orang-orang yang ingin melihat kereta api yang berjalan di malam hari untuk pertama kali di daerah mereka,” tulis De Indische Courant (28 Oktober 1936).

Perjalanan uji coba tersebut dianggap sukses dan Java Nacht Expres siap untuk melakukan perjalanan komersial perdananya pada 1 November 1936. Sama seperti Eendaagsche Expres, Java Nacht Expres juga memiliki berbagai macam fasilitas untuk membuat penumpangnya merasa nyaman sepanjang perjalanan.

Terkait fasilitas itu, koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie (31 Oktober 1936) melaporkan, “Gerbong Java Nacht Expres mempunyai semacam kabin atau kompartemen. Di dalamnya terdapat berbagai macam fasilitas untuk membuat nyaman para penumpang. Fasiltas-fasilitas itu antara lain tempat tidur, wastafel, dan sistem ventilasi dengan kipas hisap yang membuat penumpang tidak harus membuka jendela karena faktor keamanan.”

Penumpang yang ingin menggunakan fasilitas kabin tersebut bakal dikenakan biaya tambahan.

“Penumpang kelas 1 yang ingin menggunakan kabin tidur akan dikenakan biaya 10 gulden per orang. Jika ada dua orang dalam satu kabin, per orang akan dikenakan biaya 6 gulden. Penumpang kelas 2 akan dikenakan biaya 6 gulden per orang. Sementara itu, penumpang kelas 3 tidak diperkenankan menggunakan kabin. Namun, mereka dapat menyewa tempat tidur lipat dengan biaya 3 gulden,” tulis koran De Locomotief (28 November 1936).

Koran yang sama juga menulis mengenai adanya petugas keamanan yang bakal menjaga perjalanan Java Nacht Expres. Mereka dilengkapi dengan alat pemukul yang akan membuat penumpang selalu merasa aman sepanjang perjalanan. Namun, keberadaan petugas keamanan rupanya tidak serta-merta membuat kondisi selalu aman karena masih didapati laporan soal penumpang yang kehilangan barang.

“Dilaporkan adanya laporan kehilangan dari seorang penumpang perempuan. Penumpang tersebut mengaku kehilangan gelang dan 25 berlian berukuran besar dan kecil yang bernilai 400 gulden,” tulis koran Bataviaasch Nieuwsblad (27 November 1941).

Terkait jam keberangkatan Java Nacht Expres di awal pengoperasiannya, penulis belum menemukan sumber yang pasti. Namun, dari pemberitaan De Indische Courant (1 November 1941), kita dapat memperkirakan bahwa Java Nacht Expres berangkat dari Stasiun Weltevreden dan Surabaya Gubeng pada pukul 18.00 petang. Lalu, kereta asal Batavia dijadwalkan tiba di Surabaya pukul 07.25 pagi, sedangkan keberangkatan dari Surabaya bakal tiba di Batavia pukul 07.40 pagi.

Deru suara lokomotif Java Nacht Expres masih terdengar setidaknya sampai masa awal Pendudukan Jepang yang dimulai pada 1942. Namun seperti yang diwartakan Soerabaijasch Handelsblad (15 April 1942), Java Nacht Expres tidak lagi digunakan sebagai sarana pengangkutan penumpang, melainkan sebagai sarana kepentingan militer Jepang.

Baca juga artikel terkait KERETA API atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi