Menuju konten utama

Java Jazz 2017: Merayakan Keberagaman

Java Jazz telah menjelma sebagai festival musik terbesar di Indonesia. Tontonan inipun sering dituding kurang "ngejazz" karena musisi yang tampil dari beragam genre.

Java Jazz 2017: Merayakan Keberagaman
Penyanyi asal Bandung, Yura Yunita saat tampil di Jakarta Internasional BNI Java Jazz Festival 2017 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (4/3). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kasino Montreux adalah tempat bersejarah. Di sana, Montreux Jazz Festival, salah satu festival jazz terbesar dunia bermula pada 1967. Ia menjadi salah satu penanda leburnya batasan gagrak musik. Festival jazz kemudian menjadi sebuah perayaan musikal, terlepas dari apapun genrenya.

Pada 1969 misalkan. Festival ini mengundang Deep Purple, band heavy metal asal Inggris. Band ini kemudian jadi favorit penyelenggara. Total jenderal, mereka sudah 9 kali tampil di festival jazz yang biasanya diadakan pada bulan Juli ini. Setahun kemudian, giliran Led Zeppelin, band kompatriot Deep Purple, dan Jethro Tull tampil. Pada 1971, Frank Zappa juga tampil sebagai bintang tamu di festival ini.

Suasana Montreux yang sejuk dan berpemandangan indah Danau Geneva, membuat banyak musisi menggemari tempat ini. Pada Desember 1971, Deep Purple pergi ke tempat ini untuk merekam album baru mereka. Piranti rekamannya terletak di studio dalam mobil milik The Rolling Stones yang diparkir di arena kompleks kasino Montreux. Di saat bersama, Frank Zappa and the Mothers of Invention juga sedang bermain di kasino.

Saat lagu "King Kong" sedang masuk bagian solo synth, seorang penonton imbisil menyalakan pistol flare dan diarahkan ke atap yang terbuat dari rotan. Wusssh. Tak perlu waktu lama api melahap atap kasino, dan dengan segera menyebar. Vokalis Howard Kaylan awalnya hanya menanggapinya dengan santai, "Wah api," katanya. Zappa kemudian menyadari bahayanya, dan langsung menyuruh penonton untuk menyingkir.

Claude Nobs, direktur Montreux Jazz Festival yang kebetulan juga menonton konser ini, dengan segera lari ke luar gedung dan membantu para penonton untuk keluar dari kasino.

"Para penyelenggara konser ini sangat terorganisir," kata Frank Zappa dalam sebuah wawancara pendek setelah tragedi ini. "Untungnya banyak penonton yang bisa berbahasa Inggris, karena aku tak bisa bahasa Perancis."

Tak ada korban jiwa dalam kejadian ini. Sisi baiknya, Deep Purple menyaksikan tragedi ini dan membuatnya jadi lagu yang kemudian menjadi legendaris: "Smoke on the Water". Lirik lagunya naratif dan sama sekali tak bersayap. Kisah heroik Claude Nobs juga masuk dalam lirik lagu Deep Purple paling populer ini.

Funky Claude was running in and out

Pulling kids out the ground

Sebuah Festival Merayakan Musik

Tahun ini, Java Jazz hadir lagi untuk ke 13 kalinya. Ia sudah menjelma sebagai festival musik terbesar di Indonesia, bahkan menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Festival ini sudah serupa dengan banyak festival jazz di seluruh dunia, termasuk yang di Montreux. Sejak 1970-an, Festival Montreux Jazz menjadi lebih lebur. Lebih-lebih saat Quincy Jones menjadi bagian dari festival ini pada akhir dekade 80, dan membawa banyak nama yang jelas jauh dari ladang jazz. Sebut saja David Bowie, Eric Claptopn, Green Day, Korn, Johnny Cash, Lenny Kravitz, Muse, hingga Radiohead.

Namun di Indonesia, pertanyaan sama terus diajukan tiap tahun, walau sudah dijawab pula setiap tahunnya. Yakni: kenapa ada artis (isi saja nama band bintang tamu yang sama sekali tidak jazz), di mana letak jazznya?

Menghadapi pertanyaan yang sama tiap tahun, jawabannya jelas tidak akan berubah. Sebuah festival jazz tidak melulu harus mengundang musisi jazz. Dalam kasus Java Jazz, penyelenggara selalu memberikan jawaban bahwa ada berbagai pertimbangan dalam memilih bintang tamu. Misalkan ada jazz name, alias musisi-musisi yang memainkan musik jazz. Lalu ada pop name, alias musisi yang sedang populer. Ada pula legend name, alias legenda-legenda yang tak harus berasal dari ranah musik jazz. Untuk legend name, kita pernah menyaksikan James Brown di helatan pertama Java Jazz 2005 silam. Lalu ada pula Santana pada 2011. Pada 2009, Java Jazz mengundang Slank, nama legenda dari Indonesia.

Apakah lantas festival Java Jazz menjadi tidak jazz? Oh tentu tidak. Kita bisa menyaksikan nama-nama keren di musik jazz, mau gagrak acid, fusion, atau pure jazz. Nyaris semua ada. Tahun ini, ada Incognito yang dianggap nama besar dalam genre acid jazz. Juga Chick Corea yang bolehlah dianggap sebagai sinonim dari jazz itu sendiri.

INFOGRAFIK Java Jazz 2017

Sebuah festival musik memang harus luwes dan lentur. Apalagi festival yang bertumbuh besar dan menjadi industri tersendiri. Seperti Java Jazz. Seperti Montreux Jazz Festival. Seperti nyaris semua festival jazz besar di dunia.

Yang patut dirayakan dari festival seperti ini adalah keberagaman. Ada artis-artis yang akan susah ditonton orang Indonesia kalau tidak diundang dalam Java Jazz. Misalkan Buena Vista Social Club. Band asal Kuba ini tampil di Java Jazz tahun lalu, sekaligus menjadi salah satu konser terakhir mereka. Atau Seun Kuti & Egypt 80, band asal Nigeria. Band ini dipimpin oleh Seun, anak lelaki Fela Kuti, musisi multi-instrumentalis dahsyat yang namanya dicatat dalam tinta emas musik. Lalu tahun ini ada Richard Bona, musisi fusion kelahiran Kamerun, yang mengusung nama Richard Bona and Mandekan Cubano. Band beranggotakan 7 orang ini memainkan musik yang menguarkan aroma Afro-Kuba. Musik yang membuatmu tak tahan untuk tak berjoget. Rancak. Lengkap dengan perkusi yang ritmik dan departemen tiup yang eksotis.

Band-band seperti itu menghadirkan musik yang bisa dibilang sama sekali asing bagi kuping dan mata kita. Menonton mereka tampil adalah sebuah pengalaman baru yang mengayakan indera pendengar dan pengelihatan. Meski demikian, musik ini jelas tidak begitu popular di Indonesia. Bagaimana bisa kita menonton mereka kalau tidak di Java Jazz? Tentu promotor akan berhitung seribu kali sebelum mengundang nama internasional dengan genre musik yang tidak popular, pun tidak punya begitu banyak penggemar. Maka ini yang membuat Java Jazz jadi penting. Ini inti dari sebuah festival musik: merayakan keberagaman. Biar saja banyak orang memaksakan kehendak dan ngotot ingin semua seragam. Yang penting festival musik tetap beragam.

Minggu malam, akan ada satu nama legenda yang tampil: Iwan Fals. Siapa yang berani menyangkal kalau dia adalah legenda, manusia setengah dewa? Tentu menarik menonton Iwan berkolaborasi dengan musisi jazz seperti Maurice Brown dan Kirk Whallum.

Baca juga artikel terkait JAVA JAZZ 2017 atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti