tirto.id - Artikel sebelumnya: Jaz, Musik yang Berkembang Bersama Perang
Pada awal paruh kedua abad ke-20, tatanan geopolitik dunia memasuki babak baru: perseteruan ideologis sengit antara blok komunis Uni Soviet dan blok kapitalis Amerika Serikat. Dalam rangka menyaingi propaganda budaya dari Soviet, industri musik jaz Amerika—yang sudah mapan dan populer—pun turut dimanfaatkan oleh elite Washington. Melalui program bertajuk Cultural Presentations sejak 1954, Departemen Luar Negeri (Deplu) mulai mensponsori konser-konser jaz ke luar negeri.
Dukungan pemerintah terhadap musisi jaz, terutama yang berkulit hitam, tidak bisa dipisahkan dari konteks gerakan antikolonial di negara-negara Asia dan Afrika bekas jajahan Eropa. Di dalam Amerika sendiri, geliat kemerdekaan tersebut tercermin lewat gerakan hak-hak sipil: perjuangan minoritas kulit hitam untuk mengakhiri segregasi dan menuntut hak pilih suara, akses pendidikan berkualitas, serta berbagai layanan publik yang manusiawi.
Diskriminasi sistematis terhadap warga keturunan Afrika di AS ini pun jadi sasaran empuk untuk dikritisi oleh komunitas internasional, terutama otoritas Soviet, yang dalam siaran propagandanya gencar mengangkat isu rasisme dan ketidakadilan pada warga minoritas di Amerika.
Dengan menyokong penampilan musisi jaz kulit hitam di penjuru dunia, otoritas AS yakin akan mampu menangkal narasi-narasi yang menyudutkan mereka—sebagai bangsa penindas. Selain itu juga mereka berharap bisa memoles citra sebagai negara progresif—karena mau menyokong warga minoritas untuk berprestasi di tingkat global.
Akan tetapi itu hanya slogan. Pengalaman diskriminatif dialami peniup terompet kulit hitam Dizzy Gillespie dan rombongannya pada 1956. Kala itu mereka jadi grup jaz pertama yang disponsori Cultural Presentations untuk konser di luar negeri: Iran, Lebanon, Suriah, Pakistan, Turki, Yunani, Yugoslavia, sampai Amerika Latin. Ketika konser di Argentina, mereka dilarang menginap di hotel milik pengusaha AS yang masih mengimani paham segregasi.
Tentu saja para musisi juga berupaya melawan diskriminasi rasial dengan cara masing-masing. Pianis kulit putih Dave Brubeck, misalnya, memilih merekrut anggota baru untuk melengkapi kuartetnya, seorang pemain bas kulit hitam bernama Eugene Wright dalam konser-konser di Eropa dan Asia pada 1958 yang disponsori pemerintah.
Tahun itu juga Brubeck menolak tawaran konser menggiurkan di Afrika Selatan karena aturan segregasi di sana melarang Wright tampil sepanggung dengannya. Tak berapa lama kemudian, dengan alasan sama, Brubeck membatalkan 23 dari 25 konser di dalam negeri, tepatnya di negara-negara bagian selatan. Meskipun penikmat musik Brubeck dilaporkan senang-senang saja dengan penampilannya bersama Wright, panitia penyelenggara dan pemilik gedung konser cenderung keberatan untuk menampilkan pentas oleh band dengan integrasi rasial.
Seperti Brubeck, pada 1957 Louis Armstrong menolak pentas di Uni Soviet—padahal negosiasinya sudah dilakukan dengan sulit oleh Washington. Sebabnya, Armstrong kecewa pada gubernur Arkansas yang mendukung praktik diskriminatif dalam krisis Little Rock Nine. Pada insiden tersebut, segelintir pelajar kulit hitam dilarang masuk ke SMA yang memberlakukan segregasi rasial. Mereka baru diizinkan bersekolah di sana setelah Presiden Dwight D. Eisenhower turun tangan.
Sikap hipokrit pemerintah—mengirim musisi kulit hitam ke luar negeri sebagai perwakilan negara yang bermartabat namun mengebiri hak-hak mereka di dalam negeri sebagai warga kelas dua—tentu membuat gusar para musisi jaz. Pada tahun 1962, Dave Brubeck dan istrinya, Iola, memutuskan untuk mengkritik praktik tersebut dengan menyutradari musikal jaz satir berjudul The Real Ambassadors. Dalam pementasan yang sayangnya hanya berlangsung sekali tanpa ada rekaman itu, Armstrong menjadi aktor utamanya.
Di balik kritik terhadap Washington, para musisi jaz tetap merasa program pemerintah tersebut sudah mendorong mereka semakin terlibat dalam gerakan hak-hak sipil. Melalui konser-konser di luar negeri yang menampilkan musisi kulit hitam dan kulit putih di satu panggung, mereka berjuang melawan prasangka rasial sekaligus mempromosikan integrasi rasial. Maka dari itu dapat dipahami kenapa mereka konsisten dan serius menjalankan mandatnya sebagai duta budaya dengan, sekali lagi, dukungan penuh dari pemerintah.
Pada 1960, Louis Armstrong melawat ke 27 kota di Benua Afrika dan lima tahun kemudian di Berlin Timur. Selain Armstrong, musisi lain yang paling banyak disponsori pemerintah ke luar negeri adalah Duke Ellington. Tahun 1963, Ellington dan orkestra jaznya pentas di Timur Tengah dan Asia Selatan (Suriah, Yordania, Afghanistan, India, Sri Lanka, Pakistan, Iran, Irak, Lebanon, Turki). Penampilannya yang dianggap paling berkesan di mata Washington berlangsung di Uni Soviet pada Puncak Perang Dingin pada 1971. Ellington mengakhiri turnya dua tahun kemudian di kawasan Eropa Timur, Etiopia dan Zambia.
Meskipun dielu-elukan sebagai pahlawan di luar negeri, para musisi jaz di atas tidak imun dari kritik di dalam negeri. Dipetik dari buku Danielle Fosler-Lussierberjudul Music in America’s Cold War Diplomacy(2015), sejak dekade 1960-an, mengadvokasikan hak-hak sipil dengan cara bekerja pada orang-orang kulit putih yang mendominasi pemerintahan justru dianggap sebagai kegagalan moral alih-alih kesuksesan.
Tahun 1961, akademisi-aktivis W.E.B. Du Bois bahkan mendeskripsikan musisi jaz kulit hitam yang bekerja sama dengan Washington seperti “menjual jiwanya pada setan.” Sampai dekade 1970-an, kritikus selalu melirik konser jaz yang disponsori pemerintah dengan penuh curiga. Semenjak itu pula, tur-tur jaz era itu semakin tidak diperhitungkan dalam sejarah perkembangan musik jaz.
Jaz, Cerminan Demokrasi?
Masih dilansir dari buku Fosler-Lussier, jaz kemudian diinterpretasikan sebagai seni yang “demokratis”. Konsep tersebut sebenarnya sudah pernah disinggung pada 1923 oleh sejarawan Amerika kelahiran Jamaika, J.A. Rogers. Kata dia, jaz adalah alat “penyetara” sosial yang “membangun demokrasi” karena membebaskan pemainnya dari aturan atau formalitas bermusik. Barulah pada tahun 1950-an semakin banyak diskursus yang mengaitkan jaz Amerika dengan demokrasi dan kebebasan, dua prinsip utama yang dipandang bertentangan dengan citra pemerintahan Soviet yang mengekang dan totaliter.
Asosiasi jaz dengan demokrasi juga pernah disuarakan oleh pemerhati seni di Jerman, Olaf Hudtwalcker. Menurut dia, musik jaz adalah “miniatur demokrasi” karena instrumen di dalamnya tidak terikat aturan. Yang mempersatukan mereka hanyalah “toleransi dan pertimbangan terhadap pemain musik lain.” Hudtwalcker juga menganggap semua instrumen dalam pentas jaz statusnya “setara”.
Anggapan Hudtwalcker tentu saja romantisasi belaka. Permainan jaz, meskipun memberikan ruang yang luas bagi pemusiknya untuk berimprovisasi, tetap punya aturan-aturan mengikat yang sudah disepakati antarmusisi. Beberapa instrumen juga lebih dominan dan mendapat porsi main lebih lama.
Di balik itu, pendapat Hudtwalcker bisa dimaklumi karena dia sendiri adalah penggemar musik jaz yang pernah merasakan pahitnya kehidupan di bawah tekanan pemerintah totaliter Nazi yang membatasi dan memusuhi musik jaz.
Masih mengutip Fosler-Lussier, narasi tentang jaz dan demokrasi di AS pada awal dekade 1950-an digaungkan oleh aktivis jaz terutama akademisi Marshall Stearns dan kritikus musik dari New York Times John S. Wilson. Wilson mengurus program khusus sejarah jaz di radio New York (1954-1970) kemudian menyumbang materi bahasan untuk siaran radio Voice of America di luar negeri. Stearns, melalui studi-studinya, berusaha memopulerkan jaz sebagai seni musik dengan sejarah khas. Keduanya menjabat sebagai penasihat dalam kepanitiaan di Departemen Luar Negeri yang menyeleksi artis untuk program Cultural Presentations.
Sedininya pada 1951, Stearns sudah menyorot jaz sebagai alat propaganda potensial. Kata dia, asal mula dan permainan jaz mengandung unsur “demokratis”. Tambahnya, “Tidak mengherankan apabila orang Rusia merasa gugup pada jaz.” Kelak Stearns rutin mendampingi para musisi jaz saat tampil di luar negeri, dan ide-idenya tentang jaz sebagai cerminan demokrasi kian menyebar luas.
Pendapat yang sama juga disuarakan musisi dan media. Dalam satu artikel, pianis Dave Brubeck dan istrinya menyebut jaz sebagai “perwujudan ide demokratis tentang persatuan dalam keberagaman” serta “ekspresi bebas dari setiap individu.” Jurnalis kulit hitam George E. Pitts menulis di Pittsburgh Courier, “Jaz adalah produk jiwa yang bebas, kebebasan yang tidak sejalan dengan Uni Soviet yang suka mengatur ketat segala hal.”
Argumen bahwa jaz mengandung unsur-unsur demokratis, kebebasan, dan egalitarian tentu terdengar semakin meyakinkan di mata pendengar luar negeri seiring konser-konser jaz kerap menampilkan musisi kulit putih dan hitam berdampingan di atas panggung.
Narasi tersebut memang menguntungkan propaganda Washington yang ingin memoles citra AS sebagai negara lebih progresif daripada Soviet. Namun, pada waktu sama, ia lebih tepat disebut omong kosong. Karena, sampai lewat pertengahan abad ke-20, demokrasi dan kebebasan itu sendiri masih belum bisa dirasakan oleh setiap warga AS.
Segregasi rasial yang bertahan selama nyaris satu abad baru resmi dihapuskan lewat goresan tanda tangan Presiden Lyndon B. Johnson pada UU Hak-hak Sipil tahun 1964. Empat tahun kemudian, setelah insiden pembunuhan terhadap aktivis hak sipil Martin Luther King, undang-undang tersebut diperluas lagi cakupannya dengan larangan diskriminasi kepemilikan rumah atau sewa tempat tinggal berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, sampai status keluarganya.
Memasuki dekade 1970-an, konser-konser jaz sokongan pemerintah tidak terdengar gaungnya lagi karena Kongres menyunat anggarannya. Terlepas dari itu, dukungan pemerintah untuk diplomasi musik ternyata masih ada sampai sekarang. Baru-baru ini, mereka mengalokasikan dana khusus untuk “pertukaran kegiatan musikal”. Anggarannya diambil dari jatah belanja Departemen Pertahanan tahun 2023 yang total mencapai 800 miliar dolar AS atau Rp12 ribu triliun.
Program ini disahkan lewat undang-undang bertajuk “Promoting Peace, Education, and Cultural Exchange through Music Diplomacy Act”. Sesuai judul, kegiatan ini akan fokus pada resolusi konflik ke penjuru dunia yang melibatkan musisi-musisi muda Amerika. Programnya akan dibantu oleh Harvey Mason Jr., produser musik R&B yang pernah bekerja dengan Michael Jackson, Britney Spears dan Beyonce.
Mungkinkah kampanye perdamaian lewat musik—ironisnya dibiayai oleh Departemen Pertahanan AS yang lekat dengan kebrutalan perang—akan disambut dengan antusiasme tinggi oleh publik dunia sebagaimana respons terhadap diplomasi jaz sebagai cerminan “demokrasi” di era Perang Dingin? Mari kita saksikan dalam beberapa tahun ke depan.
Editor: Rio Apinino