tirto.id - Hari itu tiba. Enam orang lelaki dengan setelan kemeja berdasi dan jas hitam berjalan menuju lantai 16 Gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Jakarta, Rabu (8/3/2006).
Seperti yang sudah diperkirakan banyak pengamat, Ari Hernanto Soemarno dipilih menjadi Direktur Utama PT Pertamina (Persero). Ari menggeser Widya Purnama, pria yang lebih muda tapi dikenal galak bicara nasionalisasi sumber daya alam Indonesia.
Pelantikan dilakukan oleh Menteri BUMN kala itu, Sugiharto. Ari dan rekan-rekannya diangkat berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No 29/MBU/2006 tertanggal 8 Maret 2006.
Pergantian pucuk pimpinan dilakukan di tengah negosiasi alot PT Pertamina dan perusahaan Amerika Serikat (AS), ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI). Keduanya berebut posisi sebagai operator utama ladang minyak legendaris Blok Cepu di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Harian Kompas edisi Kamis (9/3/2006) menulis bahwa penunjukan Ari sebagai direktur utama sudah santer terdengar sejak 3 pekan sebelumnya. Ari menargetkan pembenahan di tubuh Pertamina sebagai prioritas 100 hari kerja usai dilantik.
Tindak lanjut pembahasan Blok Cepu termasuk dalam fokusnya saat itu. "Direksi sudah memiliki data-data tadi, termasuk tentang Karaha Bodas dan Cepu. Kami akan mencari jalan keluar terbaik," ujar Ari.
Benar saja. Hanya selang sepekan setelah Ari menduduki kursi barunya, Joint Operating Agreement (JOA) pengembangan Blok Cepu akhirnya diteken oleh anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dan ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) pada Rabu (15/3/2006).
Keduanya resmi berbagi saham dengan porsi yang sama, yakni 45% untuk Pertamina dan 45% untuk ExxonMobil. Sisa 10% dibagikan kepada sejumlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di wilayah tersebut.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk ExxonMobil selaku operator utama. Pertamina terlibat dalam pengoperasian, tetapi terbatas. Keputusan ini pun menuai kritik di kemudian hari sebab Pertamina diyakini layak memegang peran lebih besar.
Lima hari jelang kesepakatan, Ari sempat menebar angin segar kepada publik. Dengan penuh percaya diri, Ari menyatakan bahwa Pertamina mampu mengelola Blok Cepu.
"Kami mampu sebagai pengelola Cepu. Namun, direksi sedang mengkaji kemampuan sumber daya yang kami miliki, karena saat ini masih banyak lapangan yang harus dikelola dan dikembangkan," kata Ari dikutip dari Antara, Jumat (10/3/2006).
Sumber Minyak Sejak Zaman Kolonial
Potensi Cepu sebagai surga minyak telah tersohor sejak dulu kala. Lokasi ini telah menjadi titik perhatian saat zaman kolonial Hindia Belanda.
Menurut Chaeruddin dalam buku 100 Tahun Perminyakan di Cepu (1994), ladang minyak ini pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan asal Belanda Andrian Stoop pada 1880. Selain minyak, ada pula cadangan gas yang terpendam di Cepu.
Pengeboran minyak pertama dilakukan secara tradisional pada 1893. Setahun berikutnya, De Dordtsche Potroleum Maatschappij membangun kilang minyak modern di situ. "Pengelolaan crude di sekitar lapangan sekitar Cepu dengan proses distilasi atmosfer," tulis Chaeruddin.
Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, ladang minyak Cepu dinasionalisasi pada zaman Presiden Soekarno dan sempat dijadikan sebagai lokasi pendidikan Lembaga Minyak dan Gas Bumi pada 1965.
Partisipasi investor asing di blok tersebut muncul lagi saat Orde Baru berkuasa. Pada 1990, pemerintah memberi izin Technical Evaluation Study kepada Humpuss Patragas, perusahaan milik anak bungsu Presiden Soeharto, Tommy Soeharto.
Rupanya itu hanya basa-basi. Tommy tak mampu mengoperasikan Blok Cepu sendiri. Dia lalu menggandeng perusahaan asal Australia, Ampolex. Tommy menawari mereka 49% saham dengan syarat Humpuss Patragas tetap berstatus sebagai operator.
Dalam perjalanannya, Ampolex diakuisisi oleh Mobil Oil, perusahaan asal AS yang kemudian kita kenal sebagai ExxonMobil. Lalu, Tommy terdepak. Humpuss Patragas dicaplok ExxonMobil saat krisis moneter 1998 melanda.
Setelah keruntuhan rezim Orde Baru, ExxonMobil menemukan cadangan minyak sebanyak 450 juta barel di Blok Cepu pada 2001. Dari sinilah cikal bakal negosiasi alot bermula.
Setelah Joint Operating Agreement (JOA) terjalin antara Pertamina dan ExxonMobil, realita ternyata berbeda jauh dari perkiraan. Proses produksi molor dari jadwal yang semula ditargetkan pada 2008.
Kondisi ini lantas menjadi sorotan Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Airlangga Hartarto, yang kini menjabat Menteri Koordinator Perekonomian. Dia menilai keterlambatan produksi berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga US$150 juta.
"Keterlambatan produksi ini telah mempengaruhi pendapatan negara," kata Airlangga dikutip dari Hukumonline.
Setelah melalui banyak kendala, ladang minyak Blok Cepu di Lapangan Banyu Urip akhirnya mulai produksi pada Agustus 2009 dengan kapasitas 20.000 barel per hari.
Ujung penantian Pertamina di Blok Cepu itu tidak sempat dinikmati Ari Soemarno. Pasalnya, enam bulan sebelum itu, Ari terlanjur diganti. Posisinya digeser Karen Agustiawan pada Kamis (5/2/2009).
Hadapi Defisit Minyak
Ari, anak kandung Soemarno--mantan Gubernur Bank Indonesia sekaligus menteri era Soekarno--menanggapi santai pencopotan tersebut. Kakak kandung eks Menteri BUMN Rini Soemarno ini mengaku legowo.
Pada acara pisah sambut direksi lama dan direksi baru di Kantor Pusat Pertamina, pria berperawakan besar itu mengaku sama sekali tidak sedih. "Malah saya sangat plong karena beban itu sudah hilang sekarang," kata Ari dikutip Kompas, Jumat (6/2/2009).
Berkarier 31 tahun di Pertamina, Ari tentu mengetahui beban-beban yang dihadapi di sektor energi, khususnya minyak dan gas. Ari menduduki kursi tertinggi Pertamina saat konsumsi minyak nasional melampaui kemampuan produksi di negeri ini, alias defisit.
Total pada 2005 konsumsi minyak nasional menembus 1,3 juta barel per hari (bph) minyak, sementara produksi hanya 1,1 juta bph. Dengan kapasitas kilang Pertamina yang hanya 1 juta bph, impor BBM dan minyak mentah pun tidak terelakkan.
Selama masa kepemimpinannya, Ari yang pernah menjadi Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina ini tak membangun kilang. Impor BBM (yang harga jualnya lebih mahal dari minyak mentah) memburuk dan mencapai puncaknya di 2013 (sebesar 700.000 bph).
Di situasi demikian, peran Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), di mana Ari pernah menjadi direktur utama pada 2003, sangatlah penting. Maklum saja, anak usaha Pertamina di Singapura ini memang bertugas mencari pemasok BBM dari sana.
Petral akhirnya dibubarkan pada 2019 karena dinilai menjadi sarang mafia migas, yang mengutip margin keuntungan di tiap liter minyak yang diimpor Indonesia. Sebelum itu, Ari dipercaya Joko Widodo menjadi ketua kelompok kerja (pokja) bidang energi pada masa transisi 2014.
Meski sudah tidak aktif di Pertamina, Ari masih vokal. Dalam beberapa kesempatan, dia mengritik rencana pemerintah membangun kilang minyak di dalam negeri, yang dinilai mahal sementara marginnya kecil. Dia lebih mendorong ekspansi kilang yang sudah ada.
Menutup kisah hidupnya, pria kelahiran Yogyakarta 14 Desember 1948 ini mengembuskan nafas terakhir pada Minggu (13/11/2022). Lulusan Teknik Kimia Aachen University Jerman ini dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
"Kami memohon doa, agar almarhum diterima amal ibadahnya di sisi Allah," ucap Pjs. VP Corporate Communication PT Pertamina Heppy Wulansari dalam pernyataan resmi kepada media.
Ari meninggalkan Ruci Nurwardani Soemarno bersama dua anaknya, Yuri Aryorachmanto Sumarno dan Andarina Kusumawardani Soemarno.
Dia juga meninggalkan Blok Cepu yang kini menjadi sumber minyak penting di Indonesia, dengan produksi 500 juta barel pada 2021. Angka ini melampaui target awal yang dipatok pada 2008, ketika angka produksi hanya ditargetkan sebesar 450 juta barel.
Meski kurang berjasa dalam membangun kilang minyak, Ari turut berjasa membantu mendongkrak produksi minyak di Bumi Pertiwi lewat Blok Cepu.
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono